Jika Umat Islam Sudah Bersatu di Acara Muslim United, Lantas Apa?

MOJOK.CO – Ikhtiar acara Muslim United rasanya patut diapresiasi. Setidaknya ada umat Islam di Indonesia mau berbesar hati belajar dari ulama beda harokah atau yang beda madrasah pemikirannya.

Saya kerap mendengar nasihat; “kembalikan kepada Al-Quran dan As-Sunnah” setiap kali menemui perbedaan pendapat ulama (mazhab) terhadap suatu hal. Meski sungguh kalimat itu terdengar begitu indah dan sangat puritan, sejujurnya sebagai orang awam saya masih sering gagal paham: emang bisa ya kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah tanpa melewati ulama mazhab?

Faktanya, mazhab justru lahir sebagai ikhtiar kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah melalui panduan school of thought siap pakai. Sebab orang awam seperti saya ini nggak cukup canggih buat kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah sendiri tanpa “penunjuk jalan” terpercaya.

Nah, karena mazhab adalah metodologi berpikir, sangat biasa bagi ulama mazhab untuk berselisih pandang. Tapi perbedaan itu nggak menutup kemungkinan mereka buat saling belajar dan menghadiri majelis masing-masing. Sayangnya spirit belajar macam beliau-beliau itu nggak awet ditiru para pengikutnya, terutama muslim di Indonesia.

Sependek pengetahuan saya yang sempit ini, spirit mazhab di masyarakat kita cenderung berbeda. Bukan lagi dilihat sebagai madrasah pemikiran, tapi “identitas” kelompok (yang sebenarnya bahkan persoalan harokah, bukan mazhab).

Parahnya, beberapa muslim justru terjebak fanatisme pada suatu kelompok. Perkembangannya kemudian, yang terjadi melihat penganut kelompok lain sebagai kelompok yang tidak benar, yang sesat, bahkan menolak ikut kajiannya. Padahal kan gimana bisa kenal kalau diajak ketemu aja nggak mau? Ya kan?

Jadi ingat dulu tiap ngajak ngaji bareng susahnya udah kayak ngajak hidup bareng saja: maunya cuma sama yang sealiran.

Ikut kajian Ustadz Felix yuk? Nggak mau ah, itu kan pengajian HTI.

Besok datang kajian Ustaz Salim nggak? Kan dia Tarbiyah PKS, musim pemilu gini pasti mbahas politik sih?

Maiyah-an, yuk? Iih… Cak Nun kan liberal!  

Terus akhirnya nggak ngaji semuanya. Hedeh.

Receh banget gitu fanatisme kelompok kita. Padahal organisasi-organisasi itu, ya meskipun dalam pengambilan keputusan memakai metodologi masing-masing yang khas, cakupannya masih beda jauh sama standar metodologi ulama mazhab terdahulu. Sementara mereka saja saling belajar, kenapa kita yang bukan apa-apa ini justru hobi menutup diri?

Tapi, itu dulu…

Sekarang ngajak ngaji bareng udah lebih mudah daripada ngajak hidup bareng, berhubung belakangan ini spirit persaudaraan umat Islam memang makin tampak.

Meskipun dimulai dengan kasus personal yang problematis lalu berakhir ke kasus komunal yang sangat politis. Paling tidak—harus diakui—rangkaian aksi di Jakarta tahun lalu dengan massa ratusan ribu manusia tapi dibilang jutaan itu merupakan salah satu starting point pertemuan beragam karakter umat Islam di Indonesia dalam satu wadah besar.

Nah, tiga hari kemarin, vibes itu kembali dihadirkan melalui acara Muslim United di Jogja. Jauh-jauh hari poster digital acara Muslim United dan teaser video-nya tersebar.

Para ulama (laki-laki) dari berbagai kelompok dihadirkan dengan narasi ala superhero Marvel. Para pahlawan yang menyatukan hati umat yang sudah lama memendam rindu persatuan di bawah bendera Islam semata.

Sungguh trailer yang menggugah ghirah dakwah dan ukhuwah setiap akhi ukhti yang melihat, termasuk saya yang jauh-jauh ke Jogja hanya demi acara Muslim United.

Meskipun masih banyak banget kekurangannya, saya tetap mengapresiasi ikhtiar tim Muslim United untuk menyatukan majelis umat. Setidaknya sekarang beberapa umat Islam di Indonesia mau berbesar hati belajar dari ulama beda harokah atau yang beda madrasah pemikiran dengannya.

Yang anti demokrasi, mau duduk satu majelis sama yang pro demokrasi. Mau mendengar dan mencoba memahami mereka yang berbeda: Kok dia gitu sih? Oh, ternyata gitu. Ya meskipun nggak lantas setuju, setidaknya mau bertemu dulu.

Bukti nyata kalau Muslim United berhasil mewujudkan persatuan umat bahkan sudah tampak dari hari pertama saya menghadirinya.

Persatuan jamaah para asatidz (beberapa ustaz laki-laki) antar-harokah melimpah memenuhi kompleks Masjid Kauman dan alun-alun selatan Yogyakarta. Saking lelahnya berpisah dan ingin segera berjamaah (seperti tagline Muslim United), para jamaah bahkan nggak lagi memedulikan usia dan jenis kelamin dalam mengisi shaf kajian.

Tua, muda, laki-laki, perempuan, bersatu, bercampur, bahkan berdesak-desakan dalam mencari ruang. Eh ini persatuan atau ikhtilat, ya? Entahlah.

Bisa jadi memang antusiasme itu karena saking lelahnya berpisah dan kini bisa berjamaah satu majelis dengan saudara beda harokah—paling tidak itu yang saya rasakan. Atau karena umat singlelillah begitu lelah sendiri dan ingin segera mencari makmum untuk diajak berjamaah (seperti para akhi-ukhti yang kutemui sangat tidak menjaga pandangan). Yang jelas para asatidz yang duduk manis di dalam masjid mungkin tidak mengetahui keberhasilan persatuan di luar masjid ini.

Keberhasilan persatuan muslim di luar area masjid lain terjadi ketika layar LCD tidak kunjung berfungsi sementara di dalam masjid akan terjadi prosesi syahadat. Maka demi bisa menyaksikan momen bersejarah itu, setiap ajakan “Takbir!” dari Syekh (di dalam masjid) disambut dengan teriakan “Layaar! Layaar!”

Apakah teks takbir sudah berubah? Tentu tidak. Tapi entah kekuatan apa yang membuat perintah takbir justru secara kompak dijawab “Layaar! Layaar!” oleh para jamaah di luar masjid.

Tentu saja improvisasi kekompakan ini hanya bisa terjadi atas berkah persatuan umat. Untungnya (meskipun lama) panitia berhasil menjawab tuntutan umat atas tidak berfungsinya layar LCD. Hmmm seandainya kekuatan suara persatuan umat seperti itu juga digunakan untuk protes terhadap tidak berfungsinya moralitas pejabat muslim yang korup.

Meskipun belum semua “warna” muslim bisa dikumpulkan di Muslim United, tapi alhamdulillah banget diskursus persaudaraan umat seperti ini kembali digaungkan di tengah polaritas cebi-kempi. Apalagi di forum-forum seperti ini realitas beragama justru tersaji dalam pemandangan yang seringkali jauh dari kegarangan media sosial. Seperti melihat abang-abang Go-Jek ikutan kajian dan pulangnya menerima banyak order dari para peserta kajian. Iya, Go-Jek yang belakangan katanya ramai-ramai diboikot umat Islam itu.

Akhirul kalam, semoga acara beginian nggak cuma jadi nama lain festival jualan hijab, herbal, dan produk “gaya hidup islami” lainnya saja ke depannya. Alias setelah tiga hari hedon syar’i sambil ngaji, acara lalu diakhiri dengan deklarasi: Pilih yang ini ya untuk Pilpres nanti!

Mendadak muncul pertanyaan dalam benak saya jika keteduhan dan keakraban dari perbedaan antar umat Islam ini bisa terus dipertahankan secara berkesinambungan pada masa mendatang: setelah umat Islam bisa bersatu lantas mau apa ya?

Eh, kejauhan ding, untuk saling bertemu begini saja nggak setiap hari bisa dan nggak semua orang suka kok. Lah kok jauh-jauh ngomong bersatu, memang bisa?

Tentu pertanyaan tersebut juga untuk kamu, iya kamu.

Exit mobile version