Jika kebencian terhadap mereka yang dianggap komunis atau PKI sudah sedemikian hebatnya, tak ada penjelasan apa pun yang dapat mencegahnya. Apalagi jika semua ini digerakkan untuk tujuan politik dan perebutan kekuasaan dengan mengorbankan siapa saja yang dianggap pantas dikorbankan.
Tapi, ada cara sederhana untuk sedikit memahami apa yang terjadi pada isu ‘65, menggunakan padanan dengan apa yang terjadi di Rohingya saat ini.
Pemerintah Myanmar berdalih bahwa yang mereka lakukan di Rakhine adalah bagian dari memerangi “terorisme”. Dipicu oleh tiga serangan ke pos polisi yang menewaskan 9 petugas pada 9 Oktober 2016 lalu.
Siapa pelakunya? ARSA, Arakan Rohingya Solidarity Army atau sebelumnya dikenal dengan nama Harakatul Yakeen.
Apakah ARSA mengakuinya? Iya.
Melalui video berdurasi 18 menit pemimpin ARSA, Ataullah Abu Amar Jununi, menyatakan mereka melakukannya (hanya) dengan senjata tajam untuk membela diri.
“Selama 75 tahun ada berbagai kejahatan terhadap warga Rohingya … karena itu, serangan 9 Oktober 2016 ingin mengirim pesan, jika kekerasan ini tidak dihentikan, kami punya hak membela diri.”
Setelah peristiwa itu operasi militer digelar, kelompok garis keras dari etnis dan agama lain ikut terlibat, dan terjadilah tragedi kemanusiaan ini. Warga Rohingya dikeroyok oleh sesama warga negara dan instrumen militer negara.
Militer Myanmar mengklaim menewaskan 400 orang yang sebagian besar disebutnya sebagai pemberontak. Sementara laporan lain menyebut 1.000 jiwa lebih, belum termasuk penyiksaan dan pemerkosaan.
Peristiwa ini juga memaksa 270.000 warga Rohingya mengungsi menghindari genosida itu.
Genosida? Betul. Masyarakat dunia tak lagi ragu menggunakan istilah itu, karena yang disasar bukan hanya pengikut ARSA, tapi siapa saja dengan identitas etnis Rohingya. Pejabat HAM PBB sudah menyatakan sebagai “ethnic cleansing” (pembersihan etnis), bukan lagi “counter insurgency” atau memerangi pemberontak.
Di sisi lain pemerintah Myanmar bersikukuh tindakan mereka adalah memadamkan pemberontakan, bahkan perang melawan terorisme. Sebab, ARSA juga dikait-kaitkan dengan jaringan terorisme internasional. Sesuatu yang kali ini mereka bantah.
Singkat cerita, tindakan ARSA harus dibayar oleh warga Rohingya lain yang bukan anggota, tidak tahu-menahu, bahkan mungkin juga banyak yang tidak setuju dengan metode kekerasan.
Inilah yang menggerakkan empati kemanusiaan kita. Mengapa mereka yang tidak berdosa ikut dibantai dan terusir?
Sampai di sini, mari kita padankan dengan apa yang terjadi pada 1965.
30 September 1965 tengah malam, sekelompok pasukan menculik dan membunuh perwira TNI AD. Berbeda dengan ARSA yang bersenjata tajam, pasukan ini bersenjata api standar militer. Bahkan memakai seragam.
Siapa mereka? Tjakrabirawa. Pasukan kawal presiden (sekarang paspampres) yang dipimpin Letkol Untung Samsuri.
Siapa dia? Mantan Komandan Batalion Banteng Raiders yang pernah bersama-sama Jenderal Ahmad Yani menghadapi PRRI di Sumatra Barat dalam Operasi 17 Agustus 1958. Betul, sama-sama dari unsur Angkatan Darat.
Setelah melakukan aksinya itu ia menduduki RRI dan mengumumkan Dewan Revolusi lewat radio.
Seperti dalam kasus serangan ARSA, peristiwa ini lalu menjadi alasan utama penumpasan dan pembantaian anggota PKI, ormas, pengikut, simpatisan, bahkan siapa saja yang dapat dikaitkan dengan mereka.
Tak ada pengadilan. Begitu namanya pernah tercatat ikut rapat-rapat, menerima pembagian tanah dalam program karena penerapan UU Pokok Agraria 1960, atau sekadar sentimen antar-tetangga, siapa saja bisa diciduk dan dibunuh. Yang sedikit beruntung disiksa di penjara-penjara lalu dibuang ke Pulau Buru.
Berapa jumlah korbannya?
Desember 1965 ada Komisi Pencari Fakta yang dipimpin Menteri Dalam Negeri Mayjen Soemarno. Hasilnya, jumlah korban 80 ribu jiwa.
Presiden Soeharto sendiri dalam salah satu pidato pada 1971 tidak menyebut angka pasti, namun menjelaskan seperti ini:
“Ribuan korban jatuh di daerah-daerah karena rakyat bertindak sendiri-sendiri, juga karena prasangka-prasangka buruk antargolongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktek-praktek politik yang sangat sempit.”
Pernyataan Soeharto sendiri ini memberi gambaran kita lebih terang bahwa memang ada konflik antargolongan, yang juga menyebabkan pembunuhan-pembunuhan. Konflik antara PKI dengan Masyumi, PKI dengan NU, atau PSI dengan PNI, PNI dengan Masyumi dan seterusnya.
Sama dengan sentimen antargolongan di Myanmar antara mayoritas Bamar yang Buddha, Rohingya yang muslim, atau Karen dan Chin yang Kristen. Ada setidaknya 19 kelompok yang juga bersenjata dalam konflik panjang di negara itu.
Saat mewawancarai para pelaku sejarah PRRI di Sumatra Barat yang menjadi basis Masyumi, saya tentu mendengar cerita bagaimana pasukan paramiliter PKI ikut memerangi mereka dan terjadi pembunuhan-pembunuhan.
Di pedalaman Jawa, konflik dengan para pemilik tanah terkait penerapan UU Pokok Agraria yang sebagian kebetulan adalah pemuka agama juga terjadi.
Kini pertanyaannya, apakah itu semua dapat kita jadikan alasan pembenaran untuk membantai siapa saja yang dianggap komunis?
Setelah mewawancarai 349 saksi, Komnas HAM pada 2008 mengeluarkan laporan korban peristiwa ‘65 mencapai 500 ribu hingga 3 juta jiwa. Pembantaian ini disebut-sebut sebagai terburuk dalam sejarah umat manusia setelah genosida warga Yahudi oleh Nazi.
Seperti halnya kita tak bisa menerima alasan serangan ARSA sebagai dalih pembersihan etnis Rohingya, mestinya logika yang sama kita berlakukan secara adil dalam melihat kasus ‘65.
Bahkan dalam kasus ‘65, pelaku penculikan jenderal adalah tentara profesional, bukan sekelompok orang memakai senjata tajam seperti ARSA. PKI sebagai partai sah yang pernah ikut Pemilu 1955 dan masuk empat besar tak dapat begitu saja disangkutpautkan, sebab faktanya memang hanya sebagian elite saja yang terlibat, yang oleh Presiden Sukarno disebut “keblinger” (kelewatan).
Belum lagi menghitung konteks perang dingin antara blok Amerika dan blok Soviet, bahkan blok China, yang tak dapat begitu saja dilepaskan perannya dalam plot 30 September ini.
Pendek kata, dalam kasus Rohingya dan ARSA yang mengakui terlibat serangan (dengan berbagai latar belakang dan alasannya) saja kita tak dapat membenarkan pembantaian warga Rohingya yang lain, bagaimana mungkin kita bisa bersikap yang berbeda dalam kasus pembantaian ‘65, yang jauh lebih kelam dan gelap.
Tak ada media sosial, koran hanya boleh dua yang terbit. Itu pun semua punya tentara (harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha). Tak ada pelapor PBB seperti di Rohingya. Tak ada relawan-relawan internasional yang berusaha masuk perbatasan dan ikut menjadi saksi dan mengabarkan kepada warga belahan dunia yang lain.
Lalu kepada ratusan ribu atau jutaan korban peristiwa ‘65 yang masih tersisa, atau keluarganya yang kini berusaha menuntut keadilan dan kejelasan sejarah, represi tetap berlanjut.
Represi itu bahkan dibingkai sebagai counter pada PKI, kegiatan PKI, atau kebangkitan PKI, partai yang jelas-jelas telah bubar dan selama 50 tahun dinyatakan terlarang. Pengikut-pengikutya telah dibantai, dikucilkan, tak bisa pulang di luar negeri, atau dibuang ke Pulau Buru. Bahkan lebih banyak lagi yang menyembunyikan identitas dan jatidirinya untuk menghindari persekusi. Baik oleh golongan lain, maupun negara.
Peristiwa di gedung LBH Jakarta, 17 September 2017, yang dibumbui fitnah berantai, kabar burung, dan hoax tentang “kegiatan PKI” atau “terdengar sayup-sayup lagu ‘Genjer-Genjer’ dinyanyikan”, mestinya mengusik akal sehat dan rasa kemanusiaan kita.
Dan seperti halnya konteks politik global antara blok Barat dan blok Timur pada 1965, atau konteks perebutan kekayaan alam di Rakhine, kita juga merasakan bahwa propaganda kebangkitan Komunisme dan apa yang terjadi di gedung LBH semalam tak dapat dilepaskan dari konteks politik dan perebutan kekuasaan pada pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019. Isu ini bahkan telah dipakai sejak pilpres 2014.
Tapi, lupakan semua argumen dalam tulisan ini. Sisakan satu pertanyaan saja untuk diri kita: benarkah kita telah adil sebagai manusia?