Jatuh-Bangun Kehidupan Penyandang Autis yang Terlihat “Normal”

Saya pernah dipanggil “gila” oleh seseorang yang hendak menjemput siswa di parkiran MI di Malang. Saya juga pernah di-bully di tiga jenjang pendidikan.

Jatuh-Bangun Kehidupan Penyandang Autis yang Terlihat "Normal" MOJOK.CO

Ilustrasi Jatuh-Bangun Kehidupan Penyandang Autis yang Terlihat "Normal" (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO – Banyak yang memandang saya tidak seperti penyandang autis kebanyakan, malah lebih mirip “orang normal” dan ini kisah saya.

Ketika usia saya mencapai satu setengah tahun, tak ada angin tak ada hujan, saya mulai menjadi seperti anak bisu-tuli. Saya jadi sangat cuek dengan semua jenis rangsangan. Butuh waktu lama bagi ibu saya untuk mendapatkan diagnosa akurat atas kondisi tersebut. Apalagi saat itu pengetahuan yang kami punya sangat terbatas.

Namun, syukurlah, kami akhirnya mendapatkan diagnosa yang akurat lebih cepat. Setelah itu, saya dibawa ke pusat terapi autis dengan berbagai tantangan yang harus saya dan keluarga hadapi. 

Saya menjalani terapi pertama di Surabaya, kota asal ibu saya. Walaupun hanya menjalani terapi selama tiga bulan, saya mulai menunjukkan kemajuan pesat. Khususnya dalam kemampuan wicara. Namun, kemampuan kognitif saya yang lainnya masih belum berkembang.

Setelahnya, saya menjalani terapi di Denpasar, kota kelahiran saya. Alhamdulillah, ternyata terapi kali ini mampu memberikan perkembangan kognitif yang jauh lebih pesat dari sebelumnya. (Kedua pusat terapi tersebut menggunakan metode Lovaas)

Dinamika kehidupan penyandang autis

Sebagai seorang penyandang autis yang pernah menjalani terapi di usia dini, saya baru belakangan menyadari lika-liku tersendiri dari kehidupan saya. Banyak yang memandang saya tidak seperti penyandang autis kebanyakan, malah lebih mirip “orang normal”. Mulai dari sahabat ngampus, kerabat, hingga kenalan jauh keluarga memandang saya begitu.

Dimulai dari fakta tersebut, saya dan ibu saya menjelaskan bahwa ada banyak macam penyandang autis. Semuanya tergantung dari penanganan keluarga dan lingkungan sepanjang tumbuh kembangnya mereka.

Setelah terapi, salah satu kemampuan yang disorot orang adalah kemampuan saya berbahasa Inggris. Banyak orang mengatakan bahwa Bahasa Inggris saya lebih fasih dari anak-anak sebaya, bahkan orang dewasa. 

Kemampuan ini masih menjadi daya tarik saya di depan sejumlah orang. Bahkan di tengah maraknya penggunaan Bahasa Inggris di lingkungan pergaulan zaman kiwari. Hingga kini, saya sering membantu ayah saya menerjemahkan email maupun pesan WhatsApp untuk komunikasi dengan klien kerjanya.

Kehidupan selepas terapi

Tentu saja tantangan hidup kami tidak serta-merta happy ending di situ. Salah satu sifat buruk saya adalah nggak sabaran. Salah satu sifat umum penyandang autis yang salah satu ekspresinya berupa amukan atau tantrum. 

Tantrum dapat dibagi menjadi dua, yaitu tantrum amarah dan tantrum akibat sensory overload. Sensory overload yaitu rasa tidak nyaman akibat stimulasi berlebih pada pancaindra yang tidak dapat diproses otak secara baik. 

Tantrum sendiri sebenarnya tak terbatas pada penyandang autis saja. Bahkan, tantrum dapat dialami orang-orang normal. Namun, penggunaan istilah ini, setidaknya dalam Bahasa Indonesia, kerap digunakan untuk merujuk pada kasus para penyandang autis.

Akibat sifat nggak sabaran ini, saya jadi sering berkelahi atau sekadar memukul karena berbagai alasan. Misalnya mulai dari masalah sepele seperti nggak suka dengan anak tersebut hingga bentuk kerisihan atas kenakalan, yang saya rasa perlu mendapatkan koreksi tersendiri.

Pada 2009, keadaan ekonomi mengharuskan keluarga saya pindah dari Denpasar ke Kota Malang. Ayah saya memutuskan tetap di Bali untuk mencari nafkah. Saat itu saya masih duduk di kelas 3 MI. Sebagai anak pindahan, tantangan yang saya terima lebih hebat lagi.

Hidup itu memang berat

Saya pernah dipanggil “gila” oleh seseorang yang hendak menjemput siswa di parkiran MI di Malang. Saya juga pernah di-bully di tiga jenjang pendidikan. Alasannya hanya karena ketidakmampuan dalam sejumlah bidang (seperti sepak bola) dan perilaku saya sebagai penyandang autis yang terkadang “aneh”. Misalnya dari gaya bicara yang terlalu “kaku” dan cepat tetapi kurang fasih, hingga hobi yang dipandang nggak banget bagi anak-anak seusia saya.

Pengalaman pahit ini lantas memunculkan hasrat bunuh diri di dalam benak saya dalam usia yang relatif dini. Alhasil, saya sering menghebohkan MI dengan ancaman bunuh diri dengan cara melompat dari lantai dua. 

Namun, hasrat tersebut tak terlaksana karena satu penyebab yang ternyata sangat sepele; takut rasa sakit! Boleh percaya boleh nggak, kalimat “Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati” tak selalu terbukti pada Generasi Z, yang kata orang sukanya “cinta-cintaan mulu”.

Hal ini terus berlanjut hingga bangku SMP. Saya sering diejek atau bahkan di-bully, tanpa pandang tingkatan kelas pelakunya. Di SMP tersebut memang dulu banyak anak nakal. Begitu memasuki bangku SMK, saya mulai memantaskan diri, mengingat peraturan yang begitu ketat di sana, mulai dari urusan potongan rambut hingga diskors atas perilaku buruk.

Hidup di luar sekolah

Sebagai penyandang autis, saya juga menjalani kehidupan sehari-hari dengan sejumlah hobi. Misalnya membaca segala jenis buku (dari komik dan manga hingga ensiklopedia dan topik-topik akademis), menulis puisi, mengakses internet, bermain game (khususnya retro game), dan mendengarkan musik.

Kegemaran saya membaca segala jenis buku berevolusi berkat akses internet. Tanpa pandang bulu, saya melahap berbagai jenis tulisan, mulai dari postingan media sosial hingga artikel akademis. Hal ini membuat saya tanpa sadar menyukai bidang humaniora yang luas tetapi saling berkaitan antara satu sama lain.

Berkat akses internet yang lebih bebas membuat saya mulai tertarik dengan bidang bahasa. Memang, saya sudah cukup fasih berbahasa Inggris sejak kecil. Di kelas 4 MI saya sempat sedikit belajar Bahasa Jepang. Namun, di jenjang SMP, saya mulai menggunakan sejumlah platform untuk belajar bahasa asing lainnya.

Perubahan terjadi di jenjang kampus

Namun, sepanjang pengalaman hidup saya, pengalaman pergaulan terbaik adalah pada bangku S1 Bahasa dan Kebudayaan Jepang UGM. Di situlah, saya mendapatkan sejumlah sahabat dekat yang hingga kini masih akrab. Di jenjang kampus jugalah saya yang awalnya introvert perlahan-lahan berubah menjadi extrovert, dengan pengalaman bertemu sejumlah kenalan lainnya dari sahabat-sahabat saya.

Namun, ada juga pengalaman pahit lainnya sebagai penyandang autis, yaitu kesulitan mencari kos. Ibu saya adalah tipe yang lebih suka berterus terang. Setiap mencari kos, saya diharuskan menjelaskan kondisi psikis saya kepada pemilik untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. 

Sebagai penyandang autis, reaksi yang saya dapatkan beragam (walaupun tidak pernah di depan mata saya). Namun yang pasti adalah saya agak kesulitan mencari kos. Alhasil, saya jadi sering berpindah-pindah tempat tinggal, mulai dari kos, ngontrak rumah bersama sahabat-sahabat kampus, hingga rumah kontrakan yang ditempati kakak kedua dan ibu saya.

Di bangku kuliah sendiri, saya tidak begitu blak-blakan mengatakan bahwa saya adalah penyandang autis. Kecuali dengan sahabat-sahabat dekat saya. Namun, faktor utama yang menjadi kenyamanan saya dalam berbaur di lingkungan kuliah antara lain perkembangan mental para mahasiswa, yang jauh lebih dewasa dibandingkan murid-murid sekolah sebelumnya. 

Selain itu, pengelompokan mahasiswa sesuai klaser, fakultas, dan prodi turut menyaring mahasiswa. Saya rasa, kondisi ini turut membantu kemudahan dalam berbaur di masyarakat. Saya juga lebih sabar dibandingkan ketika masih di MI ataupun SMP.

Di sisi lain, kebanyakan waktu saya, khususnya sejak SMK, dihabiskan di depan laptop untuk menjelajahi internet (dulu medsos pada umumnya, sekarang hanya YouTube dan forum-forum retro game) ataupun sekadar bermain game. Hal ini masih menjadi kebiasaan saya, lebih-lebih sejak tidak ada orang sebaya di tempat tinggal saya sekarang. Akibatnya, saya sering dinasehati ibu saya agar tidak melulu pakai laptop tanpa melakukan hal-hal bermanfaat.

Setelah bangku kuliah

Pandemi yang telah memengaruhi berbagai sektor kehidupan turut berimbas kepada keluarga saya. Mau tidak mau, saya pindah dari Yogyakarta ke Bangil (Jawa Timur) untuk tinggal bersama ibu saya. Hal ini mengingat kondisi keuangan yang sulit dan saya masih belum punya pendapatan.

Sementara kami berdua berusaha bertahan hidup, saya masih mencari-cari pekerjaan dan beasiswa S2 ke Jepang untuk mewujudkan mimpi saya sebagai seorang penerjemah. Entah di mana rejeki saya nantinya, saya yakin jalan yang Allah berikan adalah yang terbaik bagi saya dan seluruh keluarga saya.

Penulis: Taufan Atalarik

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Saatnya Hapus Stigma! Kenali Jenis-jenis Spektrum dalam Autisme dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version