Tak lama lagi Pilkada serentak gelombang kedua akan digelar. Bulan Februari 2017, di 101 daerah tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Meski semua lebih suka berisik bicara Pilkada DKI, jangan lupa, banyak daerah lain juga akan menyelenggarakan coblosan, salah satu ritual agung di altar demokrasi, yang di zaman sekarang ini pastinya dilengkapi dengan liturgi berupa selfie-selfie.
Sembari selfie dengan jari yang tercelup tinta, kita membayangkan para pemimpin junjungan umat bakal membawa perubahan dan kemajuan di daerah kita. Pemimpin dengan karakter yang klop dengan apa yang tertera di baliho-baliho sudut kota: jujur, bersih, tegas, amanah, siap berkorban demi rakyat.
Pemenang Pilkada pun dilantik, dan mulai menjalankan pemerintahan. Demikian besar harapan kita akan perubahan, di bawah sosok-sosok penuh wibawa itu.
Lalu tiba-tiba, setelah sekian waktu, semua kecewa. Kenapa? Ternyata Pak Gubernur atau Pak Bupati atau Pak Walikota ketahuan korupsi! Bedebah!
Lantas banyak orang (tentu maksud saya adalah yang kelas menengah) ingin ganti gubernur, ganti bupati, ganti walikota. Lalu Pilkada lagi. Lalu si tokoh yang terpilih itu korupsi lagi. Lalu masyarakat kecewa lagi. Ngambek, dan berharap Pilkada segera datang lagi. Begituuu terus siklusnya sampai kiamat nanti, atau minimal sampai khilafah berdiri kembali, Ups…
Menurut data KPK, hingga akhir 2015, ada tak kurang dari 64 kasus korupsi menjerat para kepala daerah se-Indonesia, sejak 11 tahun sebelumnya. Itu baru kasusnya, belum jumlah orangnya yang terlibat hingga jumlah uang yang lenyap. Data Kementerian Dalam Negeri bikin lebih klir lagi. Hingga akhir 2014 (kasih tahu di kolom komen ya Dek, kalau ada data yang lebih baru), 343 dari total 524 kepala daerah di Indonesia bermasalah dengan kasus penyelewengan anggaran. Dhuerrr, jauh di atas separuh! Jos to?
Kita benci sama koruptor. Apalagi kalau yang korupsi itu orang yang semula kita sirami puja-puji. Begonya, kita ini ibaratnya dari Jogja kepingin jalan ke Semarang, tapi dengan sadar naik bis jurusan Solo. Eee begitu bisnya tiba di Terminal Tirtonadi, kita ngamuk-ngamuk ke sopirnya. Pekok, to?
Intinya, sudah jelas mekanisme demokrasi kita penuh biaya tinggi, lha gimana mau nggak korupsi? Ngimpi!
Sekarang coba lihat. Untuk maju jadi bakal calon bupati saja, Anda sudah harus bayar mahar ke partai politik pengusung. “Mahar itu ilegal!” Ilegal gundulmu, emangnya para pengurus yang jadi sekrup penggerak partai tapi tidak nyambi jadi anggota dewan itu kau suruh makan apa? Makan cinta?
Itu baru mahar untuk pengajuan bakal calon. Belum ketika positif jadi pasangan calon. Masih ditambah ongkos bikin ratusan spanduk, baliho berikut retribusinya, bendera, kaos, juga ribuan lembar stiker. Belum lagi ongkos rapat-rapat tim pemenangan, biaya pulsa untuk tim, juga honor konsultan politik dan pencitraan. Ketambahan lagi bensin dan amplop untuk peserta pawai bermotor. Oiya satu lagi, pentolan-pentolan masyarakat yang menjanjikan limpahan suara warganya, tentu mereka juga butuh anggaran kasih sayang.
Banyak. Banyak sekali biaya kampanye Pilkada itu, Sodara. Itu pun belum selesai. Usai si calon menang, pasti akan disusul dengan gelar syukuran di mana-mana, lalu konsekuensi lanjutan proposal kecil-kecil kelas kampung yang tak semua bisa ditutup dengan anggaran Pemda.
Masih belum cukup. Bagaimana dengan tuntutan sosial? Contoh kecil, sebagai pejabat publik, Pak Gub atau Pak Bup pasti akan dapat ratusan undangan hajatan tiap tahunnya. Mulai nikahan hingga sunatan. Tentu seorang bupati apalagi gubernur tak mungkin nyemplungi celengan di depan helatan manten dengan duit ceban. Emangnya kamu, yang datang bawa amplop kosong tapi ngembat semua menu sajian? Buat Pak Gub atau Pak Bup, nyumbang 500 ribu sampai jutaan, itu soal biasa. Nah, coba kalikan saja.
Padahal, resminya, gaji seorang bupati tidak lebih dari 9 juta rupiah perbulan. Ditambah insentif dari pajak dan retribusi daerah (tentu beda-beda tergantung PAD masing-masing), memang bisa membengkak berlipat jadi katakanlah Rp 80 juta perbulan. Dalam setahun, sebutlah seorang bupati dapat penghasilan legal 1 Miliar. Artinya, dalam satu periode kepemimpinan, ia dapat mengumpulkan fulus 5 Miliar.
Masalahnya, ongkos persiapan dan kampanye pilkada Pak Bupati habisnya 15 Miliar. Hahaha.
“Lho jangan fitnah dong! Jago saya itu ustadz, ulama, bukan juragan mebel atau konglomerat! Mana punya dia duit 15 miliar? Tabayun dulu, Mas!”
Mungkin sampean mau membantah demikian. Oke, oke. Sekilas tampaknya benar. Tapi harap diingat, kempesnya dompet pasangan calon yang populer adalah magnet bagi para investor. Maka berebutanlah para saudagar itu titip modal. Kalau si jago menang, modalnya akan dikembalikan berlipat-lipat dalam bentuk proyek, proyek, dan proyek. Nikmat sekali, Sodara. Nikmat sekali.
Dan tiba-tiba, ketika seorang kepala daerah dicokok karena ketahuan korupsi, semua panik. Kelompok bertipe rasional-sentimentil-tapi-naif akan mencabut dukungan sambil teriak-teriak di medsos, “Eike nyesel pilih dia! Ternyata benar apa kata tetangga!”. Kaum loyalis-sekuler akan jadi denial, “Nggak mungkin beliau begitu! Ini akal-akalan media! Ingat, orang Kejaksaan juga bisa dimainkan!”. Sedangkan umat loyalis-religius akan mengusung tausiyah, “Astaghfirullah, ini cuma konspirasi untuk menjatuhkan Islam…”
Padahal, korupsi ya korupsi. Dan entahlah, tinggal tersisa nol-koma-nol-berapa-persen kemungkinan seorang kepala daerah bisa menjalankan kekuasaan tanpa korupsi.
Sedikit cerita, di tahun 1960-an, Presiden Soekarno mengangkat Kolonel Ibnu Sutowo sebagai pengawas industri perminyakan yang baru didirikan oleh pemerintah Republik Indonesia. Mendengar hal tersebut, seorang politisi mengingatkan Bung Karno, kira-kira begini: “Dia itu terkenal sebagai koruptor parah lho Pak,”
Bukannya membatalkan pengangkatan Sutowo, Soekarno justru menimpali, “Saya tahu itu. Tapi selama dia dapat memasukkan ke kas negara 10 juta dolar Amerika, saya akan mengizinkan dia mencuri untuk dirinya satu juta dolar Amerika. Amerika Serikat menjadi kaya melalui para gangsternya, karena para koruptor itu kreatif, dan Indonesia membutuhkan orang-orang yang kreatif.”
Dari kacamata sekarang, tampaknya kata-kata Bung Karno itu mengerikan sekali. Mengerikan bagi orang awam yang tak mengerti realitas politik. Bagi yang paham, suaranya akan lebih mirip suara kawan saya, mantan caleg dari sebuah-partai-dengan-tanda-gambar-biru-tua. “Ibaratnya ya Bro,” katanya dengan logat Batak yang kental, “kita itu minta izin ke rakyat buat korupsi aja bakalan diizinkan. Syaratnya satu: kita benar-benar bikin perubahan!”
Dari situ, saya kira sekarang ini hanya ada dua macam kepala daerah. Pertama, yang korupsi dan tidak bikin perubahan. Kedua, yang korupsi dan bikin perubahan. Untuk komponen korupsi, kategorinya masih dibagi dua lagi: yang ketahuan, dan yang nggak ketahuan.
Whott? Penulis Mojok yang satu ini mendukung koruptor! Dia bilang tak masalah seorang kepala daerah korupsi asal bikin perubahan!
Sabar, Mase. Tentu yang namanya maling itu maling. Pertanyaannya, sampai kapan kita akan berkutat pada problem di pucuk pohon, jika akarnya saja tidak pernah kita beresi? Kalau sistemnya terus begini, sampai Dajjal dan Imam Mahdi datang pun Kejaksaan dan KPK masih akan terus sibuk dengan para gubernur dan bupati. Dan kita, dengan naifnya, masih akan terus-menerus mewek-mewek menangisi.
“Lha trus solusinya gimana dong, Mas? Kasih solusilah, jangan cuma komplain melulu!”
Wooo ya kalau perkara solusi mending jangan tanya saya. Ingat, Mojok itu tempat orang cari nyinyir, bukan cari solusi.