Insiden Anies dan Piala Presiden Mengingatkan, Sejak Dulu Sepak Bola Memang Erat dengan Politik

[MOJOK.CO] “Kasus di Piala Presiden kemarin adalah satu mata rantai dari sejarah keterkaitan sepak bola di seluruh dunia yang sering mengait dengan politik.”

Media sosial tiba-tiba ramai membicarakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang dicegah pasukan pengamanan presiden turun ke lapangan mendampingi Presiden Joko Widodo menyerahkan Piala Presiden 2018 kepada Persija Jakarta di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Ketua Panitia Piala Presiden tak sedikit menerima kecaman publik. Tiba-tiba sepak bola dibawa ke ranah politik. Eh, apakah tiba-tiba? Apakah sebelumnya sepak bola bebas dari politik?

Membicarakan sepak bola tak mesti membahas soal bagaimana 22 pemain merebut 1 bola dan memenangkan pertandingan. Tidak itu saja. Sepak bola adalah budaya, bahkan agama kalau di Amerika Latin. Gereja semakin sepi, sementara stadion kian penuh. Menurut Gus Dur, sepak bola adalah kehidupan manusia. “Bukankah kita akan diperkaya dalam pemahaman kita tentang kehidupan manusia, oleh sesuatu yang terjadi di lapangan sepak bola? Sepak bola merupakan bagian kehidupan, atau sebaliknya, kehidupan manusia merupakan sebuah unsur penunjang sepak bola?” tulis Gus Dur di Kompas edisi 18 Juli 1994.

Masih tentang Gus Dur, ketika ia dijamu Ratu Beatrix di Belanda pada Februari tahun 2000, dalam pidatonya yang disiarkan Journal TV, ia menyatakan permintaan maaf. Lho, buat siapa? Ditujukan kepada kesebelasan Ajax dan Feyenoord. Atas apa? Karena selama ini dirinya mendukung PSV Eindhoven.

Pernyataan Gus Dur di atas sepertinya nyambung dengan humor yang beredar di masyarakat tentang sepak bola di Tanah Air. Kenapa kesebelasan nasional kita tak banyak berbicara di tingkat internasional, bahkan ASEAN? Semua orang Indonesia paham, itu ada akar sejarahnya, mengapa sepak bola negeri kita tidak maju, “Itu karena dulu yang pertama datang dan menjajah kita VOC, bukan Ajax Amsterdam!”

Guyonan soal sepak bola toh banyak yang politis. Misalnya yang satu ini. Apa persamaan dan perbedaan antara Guus Hiddink, Gus Dur, dan Gusmao. Persamaannya: ketiganya gila sepak bola. Guus Hiddink pelatih sepak bola asal Belanda, Gus Dur atau K.H. Abdurrahman Wahid adalah kolumnis yang piawai mengalisis peristiwa sepak bola, sementara Xanana Gusmao adalah mantan kiper kesebelasan Academica di Dili sebelun TNI menduduki negeri itu tahun 1975. Lalu, apa perbedaan dari tiga Gus ini? Negara Guus Hiddink pernah menjajah negara Gus Dur, negara Gus Dur pernah menjajah negara Gusmao!

Coba simak kisah di sebuah kafe di Dili, Timor Leste saat acara nonton bareng sepak bola Piala Eropa beberapa tahun lalu. Ketika itu kesebelasan Belanda melawan Portugal. Dua orang, Timor Leste dan Indonesia ikut menonton. Mereka mendukung kesebelasan yang berbeda. Anehnya, orang Timor Leste mendukung kesebelasan Portugal, sementara orang Indonesia mendukung kesebelasan Belanda. “Masak kamu mendukung bekas penjajah?” kata orang Indonesia. “Lha, kamu juga mendukung bekas penjajah!” jawab orang Timor Leste.

Sepak bola memang tak lepas dari politik. Di Amerika Tengah pada Pra-Piala Dunia 1970, Honduras dan El Salvador tak hanya berlaga di lapangan hijau, tetapi juga menurunkan pasukan militer alias perang. Ya, perang gara-gara sepak bola. Pada 14 Juli 1969, Angkatan Udara El Salvador menyerang Honduras. Armada militer El Salvador lebih dominan, sehingga pasukan Honduras mundur sampai 8 kilometer dari perbatasan

Tidak ada klaim kemenangan dari dua negara yang berperang itu. Yang pasti, lima ribu jiwa melayang dalam pertempuran seratusan jam ini (bukan 2 x 45 menit). Layanan penerbangan kedua negara juga terganggu hingga satu dekade. Ketegangan baru mencair pada 2006 saat kedua presiden kedua negara berjabat tangan di perbatasan.

Ketika dua kesebelasan dari negara yang mempunyai konflik masa lalu bertemu di lapangan hijau, politik selalu dibawa ke olahraga paling populer itu. Sampai tahun ’70-an atau ’80-an, jika timnas Belanda bertemu Jerman, para suporter Belanda selalu berteriak, “Kembalikan sepeda kakek kami!” Pernyataan iu tak lain terkait saat Perang Dunia II kala Jerman pernah menduduki Belanda selama beberapa tahun.

Begitu juga saat Kesebelasan Inggris bertemu Argentina. Media acap menulis judul yang bombastis, “Perang Malvinas di Lapangan Hijau”. Media seolah membawa pertandingan antara Messi dan Rooney itu ke ranah politik. Tentu kita mengetahui konflik politik yang dimaksud adalah perang antara Argentina dan Inggris memperebutkan Pulau Malvinas (nama versi Argentina) atau Pulau Falkland (nama versi Inggris) pada 1982. Dalam perang ini, Inggris menang. Tercatat ada 649 orang tentara Argentina tewas, sementara di pihak Inggris 258 tentara tewas.

Di Indonesia, saking eratnya hubungan antara sepak bola dan politik, PSSI pernah diberi sanksi oleh FIFA karena pemerintah dianggap terlalu campur tangan terhadap organisasi sepak bola tertinggi itu. Politik di negeri ini bahkan dianggap mirip permainan sepak bola, saling oper bola, tapi tidak berani mengeksekusi sehingga tidak pernah membuat gol. PSSI ditengarai dikuasai oleh mafia yang berkolusi dengan sebuah partai politik. Hasilnya adalah perseteruan antarpengurus tak ada habisnya. Di sini, para pengurus PSSI yang berkonflik jadi lebih terkenal ketimbang para pemain sepak bola yang ia urus. Kini, bahkan Ketua PSSI tengah non-aktif dalam rangka merebut jabatan politik sebagai gubernur di Sumatra Utara.

Sepak bola adalah olahraga paling populer di negeri ini. Sepak bola bisa jadi panggung politik. Karena itu, semua politisi ingin tampil di sana. Dengan segala cara.

Exit mobile version