Saya membaca berita sepekan terakhir bahwa Indonesia mengimpor singkong selama semester pertama tahun ini dengan jumlah ribuan ton. Dari sebuah laman berita online saya dapatkan angka 3.200 ton dengan total impor US$613,2 ribu (Rp8,3 miliar). Berita senada juga ada pada Mei tahun ini, bahwa di kuartal pertama 2017 Indonesia impor komoditas serupa sebanyak 1.200-an ton.
Kemudian, seperti biasa, ramai di media sosial mengenai “ketidakbecusan” negara mengatur pertanian. Singkong saja kok impor. Negara gagal. Jokowi nggak becus. Dasar pemerintah tahunya hanya impor. Antek asing aseng. Pantesan singkong di dalam negeri tidak laku. Dasar rezim yang tidak propetani!!! (Yang terakhir ini sih ada benarnya, hehehe.)
Sebagai (((pengamat komoditas))) saya tergerak menulis tentang fenomena ini. Impor itu fakta, tapi cuma secuplik, tidak menggambarkan seluruh cerita tentang singkong. Saya menyebutnya tell the truth but not the whole truth. Bisa saya Indonesiakan sih istilah itu, namun demi kesan intelek saya gunakan istilah dalam bahasa Inggris.
Media seharusnya mampu menggali lebih dalam tentang singkong dan menulis dengan data yang lebih komprehensif sehingga pembaca mendapat gambaran relatif utuh dan jernih. Bukan sekadar memainkan unsur emosi “swasembada harga mati”. Syukurlah ada media alternatif yang sangat bagus seperti Mojok.co *pesan sponsor*.
Indonesia berada di kisaran ranking 3 sampai 5 produsen singkong terbanyak di dunia. Sudah 10 tahun terakhir ini produksi komoditas nasional ini terus berada di atas 20 juta ton per tahun. Saya ulangi ya, 20 JUTA TON. Berapa impor? 1.200 ton pada kuartal I 2017. Katakanlah impor stabil, berarti setahun 4.800 ton, saya jadikan 5.000 ton deh. Itu hanya 0,025 persen dari produksi dalam negeri. Keciiiiiiiiil sekali … tapi fakta ini tak pernah dibuka dalam satu berita utuh. Mengapa? Saya tidak tahu.
Yang ditulis adalah impor sekian lalu ditambahi cangkeman sana sini yang memberi pernyataan tanpa data. Yang penting kritis, coy. Benar salah urusan belakang. Menjadi vokal adalah kunci. Pokoknya bisa menjadi bahan bakar untuk saling hina di medsos, cukuplah.
Indonesia juga melakukan ekspor singkong dalam bentuk gaplek, pellet, dan bahkan keripik. Ada juga data yang saya baca dari materi outlook ubi kayu Kementerian Pertanian yang menyatakan Indonesia ekspor ratusan ribu ton singkong dan turunannya ke beberapa negara, terutama China, dan sempat menyentuh angka 400 ribu ton pada 2004. Potensi ekspor juga cukup besar. Sayangnya harga dunia sedang buruk sehingga informasi volume ekspor jarang sekali muncul.
Singkong di Indonesia selain digunakan untuk pangan, untuk konsumsi industri juga besar, terutama dalam bentuk tepung tapioka, sorbitol, MSG, dll. Tapioka dikonsumsi lagi oleh industri pulp hingga batik. Penggunaannya sangat banyak.
Permasalahannya adalah skala tanam dan skala industri pengolah singkong. Ini sepertinya juga jarang jadi bahasan. Thailand yang produksi singkongnya 28 sampai 30 juta ton per tahun bisa mengekspor produk turunan hingga 60% lebih, sedangkan Indonesia mungkin baru 3 sampai 5%.
Wajar. Sebab, konsumsi dalam negeri Indonesia cukup tinggi dan tertinggal dalam hal standardisasi. Produksi nasional masih bisa ditingkatkan karena rata-rata panen 20 ton per hektare bisa ditingkatkan hingga 40 ton. Masalahnya, balik lagi: apakah skala industrinya saat ini mampu menyerapnya? Apakah skala tanam sudah efisien? Apakah kualitas dan standarnya sudah sesuai dengan kebutuhan industri? Jika belum, bagaimana mengejarnya?
Beberapa tahun terakhir, harga tepung tapioka dunia turun. Industri yang mengonsumsi tapioka memilih impor produk turunan karena harganya sangat murah. Produsen tapioka dalam negeri agar tetap kompetitif akhirnya menekan harga beli komoditas ini di level petani. Alhasil, banyak petani singkong boncos rezekinya.
Harusnya pemerintah punya peta tanam singkong, prediksi panen, kapasitas industri yang menyerapnya, dan tentu pula situasi harga dunia seperti apa. Jika sudah tahu tren harga dunia turun, pemerintah seharusnya hadir dengan mengajak petani singkong diversifikasi tanam komoditas lain untuk satu hingga tiga siklus tanam sampai ada tendensi harga tapioka membaik.
Tapi, negara tidak hadir. Pemerintah lebih sibuk menangkis pertanyaan-pertanyaan tak berbobot seperti mengapa harus ada impor singkong, walau cuma seiprit.
Negara, juga pengamat, kadang lebih fokus pada produktivitas singkong per hektare. Padahal, yang perlu dipikirkan adalah singkongnya dijual ke mana dengan harga berapa dan petani bisa untung atau tidak. Tidak usah disuruh, petani Indonesia sudah meningkatkan produktivitas singkongnya kok. Adakah yang tahu bahwa tahun 1980-an, lahan tanam singkong Indonesia mencapai 1,4 juta hektare? Saat ini lahannya turun dan jumlahnya lebih kurang 1 juta hektare, tapi produksi Singkong Indonesia terus meningkat secara nasional.
Produksi singkong per hektare tahun 1980-an masih 10 sampai 11 ton. Beberapa tahun terakhir panen per hektare sudah 21 sampai 24 ton. Kalau produktivitas digenjot hingga menyamai raja singkong dunia, yaitu Nigeria dengan 40 ton per hektare, produksi dalam negeri akan melonjak dua kali lipat. Siapa yang akan serap semua itu dalam jangka pendek? Cukupkah kapasitas industri tapioka dan seberapa besar daya serap industri konsumen tapioka berikut produk turunan singkong?
Sebagai catatan, di luar singkong segar dan turunan, Indonesia mengimpor ratusan ribu ton tapioka. Tahun ini mungkin bisa 1 juta ton dari total kebutuhan 8,5 juta ton. Mengapa demikian tinggi? Harga tapioka dunia sedang sangat murah. Selisih harganya dari yang saya baca cukup lumayan. Tapioka impor Rp4000 per kilo, produksi dalam negeri Rp5000 per kilo. Selisih Rp1000 per kilo untuk skala industri tentu signifikan.
Bagaimana strategi negara menghadapi tantangan harga tapioka dunia yang turun ini? Industri tapioka mulai sekarat karena tidak kuat menghadapi kompetisi dunia. Harusnya ini yang ditekan kepada pemerintah. Strategi industri penyerap singkong dalam negeri yang berkelanjutan seperti apa, strategi standardisasi untuk ekspor dan turunannya seperti apa, jika terjadi over supply bagaimana, dll. Ini harusnya yang dijadikan basis untuk kritis dan bersama cari komisi, eh solusi. Bukan cuma nyinyir, halahpret pokoke Jokowi goblok lalu habis perkara. Lambe … lambe ….
Sampai hari ini saya masih penasaran loh, impor singkong itu jenis apa dan untuk apa. Dari berita yang saya baca, tertulis untuk industri makanan dan pakan ternak. Industri makanan bisa jadi butuh jenis yang spesifik. Industri pakan ternak ini yang membingungkan. Biasanya untuk pakan ternak digunakan jagung atau gandum yang proteinnya lumayan tinggi. Protein dalam singkong hanya 1 sampai 2%. Mungkin buat campuran bisa juga?
Ini sama dengan impor beras. Ada beberapa jenis beras yang RI harus impor karena susah diproduksi di dalam negeri. Beras tersebut antara lain untuk masakan Jepang, Eropa, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Yang akrab dengan sushi, risotto, beras basmati, nasi briyani, dll. tentu tahu. Sebagai sosok yang bergaul di kalangan jetset internesyenel, saya tahu beras spesifik ini memiliki rasa yang berbeda. Sepertinya alasan impor singkong sama dengan beras premium. Spesifik.
Saya tadi juga iseng berhitung. Coba ikutan iseng dan cek matematika sederhana ini. Impor 3.200 ton dengan nilai US$613,2 ribu. Gunakan kurs Rp13.400 per dolar. Maka, akan ketemu harga per kilo singkong impor sebesar Rp2.567. Coba tanya petani singkong se-Indonesia, adakah yang panenannya dihargai setinggi itu? Harga panen di petani kerap di bawah Rp700 per kilo. Kemarin ada yang memberi info, harga di petani Rp930 sampai 970 per kilo saja petani sudah senang.
Sekarang bayangkan, Anda seorang pengusaha, ada singkong murah di sekitar Anda, lalu Anda pilih impor produk dengan harga yang lebih mahal, masuk akal tidak? Yang ada di bayangan saya, produk yang diimpor adalah komoditas dengan standar, kualitas, atau varietasnya belum dikembangkan di Indonesia.
Atau bisa juga pabrik butuh tambahan stok karena itu kebutuhannya kecil sekali dibandingkan produksi nasional. Kok sampai ada yang bicara impor singkong segar merusak harga petani dalam negeri? Merusaknya bagaimana? Weslah. Ra kabeh kabeh aku kudu ngerti.