Hikayat Penjahat Bermotor yang Baik Hati dari Makassar

Hikayat Penjahat Bermotor yang Baik Hati dari Makassar

Hikayat Penjahat Bermotor yang Baik Hati dari Makassar

Jika yang kamu ketahui tentang Makassar sebatas masyarakatnya terkenal kasar, bersuara besar, banyak makan, dan pemudanya sering gagal move on, maka kamu harus membaca hikayat penjahat bermotor ini agar terhindari dari stereotipikal. Itu semua hanya buatan media, Daeng!

Memahami hikayat penjahat bemotor di kota Makassar, sama pentingnya dengan memahami perasaan perempuan Makassar. Dua kerumitan yang sepadan tapi resikonya berbeda.

Berikut hikayat penjahat bermotor di Makassar. Cekidot!

Penjahat Bermotor Generasi Revolusi

Pada masa itu, daging Coto Makassar masih diambil dari sapi lokal. Sapi ini memakan rumput lokal. Rumput yang tumbuh itu mengandung zat hara lokal. Jeruk nipis, dan rempah-rempahnya juga lokal. Kecuali sendok, itu buatan Cina–hingga lahir guyonan, di dunia ini hanya ada dua pencipta, Tuhan dan Cina.

Lah, apa hubungannya penjahat bermotor dengan coto Makassar? Banyak. Banyak sekali. Orang Bugis-Makassar percaya kalau apa yang manusia makan dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang.

Konon, makanan favorit pemimpin penjahat bermotor generasi revolusi adalah coto Makassar. Bahkan, sebelum beraksi, ia menyantap coto bersama pasukannya. Ini semacam ritual. Setelah makan, pemimpin itu membaca Sure’ La Galigo dan menutupnya dengan pappaseng–pesan moral kepada anggotanya. Penjahat punya moral? Iyalah!

Tidak heran ketika masa itu, penjahat bermotor memiliki idealisme yang kuat dalam melakukan aksinya. Mereka tidak menyerang warga sipil dan hanya menyerang simbol-simbol kapitalis. Seperti Alfamart, Indomart, dan mart-mart lain.

Selain karena coto Makassar, pertemuan pemimpin penjahat bermotor itu dengan Karl Marx, Ahok, Robin Hood, Nietzsche, Biksu Eustace, dan I Tolok di Hutan Sherwood memiliki andil besar mempengaruhi pemikiran pemimpin penjahat bermotor.

Penjahat Bermotor Generasi Demokrasi

Dinasti penjahat bermotor generasi revolusi selesai, tumbuhlah generasi demokrasi. Era ini ditandai dengan kian banyaknya Junk Food berdiri di Makassar—makanan cepat saji, tidak sehat, bergizi rendah. Tapi mengapa orang lebih bangga menyantapnya dari pada Songkolo Bagadang? Entahlah, nakke kadang heran tong saya.

Pemimpin penjahat bermotor generasi ini menjadikan Pizza sebagai makanan favoritnya. Dia bahkan bekerja sama dengan Raffaele Esposito di Italia agar dikirimi Pizza perawat perjuangan.

Pemimpin ini sebenarnya berusaha mengembalikan Pizza pada khitah awalnya sebagai makanan rakyat jelata. Sayangnya, makanan yang populer pertama kali di Napoli itu sudah terlanjur menjamur dan dianggap makanan kelas menengah ke atas sampai puncak.

Penjahat bermotor generasi ini memang senang mengadopsi teori asing, sehingga menganggap dirinya lebih cerdas dari pendahulunya. Mereka mulai meninggalkan pappaseng dan menyerang warga sipil, wartawan, penyair, jomblo, tapi tidak dengan perempuan.

Saya sendiri pernah terselamatkan dari hantaman balok penjahat bermotor ketika membonceng mantan saya, “Jangan tawwa, ada cewek dia bonceng.” Padahal pengendara lelaki di depan saya sudah jatuh terkulai hantaman balok sebesar leher Mike Tyson.

Satu hal yang patut dipelajari dari generasi ini karena menjunjung harkat dan martabat perempuan. Alasan tidak melukai perempuan bukan karena menganggap perempuan lemah. Bukan. Mereka memandang ini hanya urusan lelaki. Jika melibatkan perempuan, mereka merasa membunuh siri’ na pacce dalam dirinya.

Penjahat Bermotor Generasi Khilafah

Generasi terakhir dari penjahat bermotor ini ditandai dengan banyaknya warga sipil yang menjadi korban. Mereka tidak lagi melihat jenis kelamin dalam menyerang. Jam beraksi mereka juga semakin sulit ditebak. Jika dua generasi sebelumnya melakukan aksi pada tengah malam. Yang terakhir ini sudah berani di awal malam, sore hari, bahkan kadang subuh hari.

Pemimpin pasukan ini mengeluarkan titah, semua orang di luar kelompoknya kafir dan hartanya halal untuk dirampas. Ia dibutakan kekayaan demi kejayaan kelompoknya. Itu membuatnya lupa makna penting dari kata sipakatau–memanusiakan manusia.

Hal ini tidak terlepas dari dibukanya perdagangan bebas. Itu membuat banyak buku bacaan luar masuk ke Makassar dan mempengaruhi perkembangan anak mudanya. Beberapa nilai lokal mulai menghilang.

Beruntung, masih banyak anak muda kreatif yang terus menjaga nilai A’bulo sibatang. Didirikanlah taman baca dan komunitas seperti Katakerja, Kedai Buku Jenny, Rumata’  atau media alternatif seperti Makassarnolkm.com dan Revi.us. Tidak lupa kegitan rutin juga diselenggarakan untuk menjaga semangat ma’gau baji, salah satunya Makassar International Writers Festival.

Itulah tadi ringkasan hikayat penjahat bermotor di Makassar. Untuk membantu kamu memahami karakter orangnya, datanglah dan rasakan bagaimana kota ini dapat membuatmu menjadi romantis–cara lain, cobalah pacaran dengan pemuda Makassar. Karena Makassar tidak setipis koran dan sekecil televisi di rumahmu.

Oh iya, ada kabar terbaru, belasan penjahat bermotor baru-baru ini mengadakan musyawarah di warung kopi Cancer. Mereka merumuskan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dan menamai kelompok mereka Penjahat Bermotor yang Baik Hati. Kelompok ini ingin pemerintah kota sadar bahwa masalah penjahat bermotor tidak selesai hanya dengan bantuan kuasa polisi dan tentara. Kita butuh cara-cara kebudayaan.

Maka sebelum kota Makassar hilang dan menggadaikan kenangan kita, mari lestarikan semangat Kuru Sumange seperti negara yang selalu merawat Pancasila.

Exit mobile version