Giring dan Pasha ‘Ungu’ Memang Perlu Belajar dari Ariel ‘Noah’

MOJOK.CO – Ada kualitas komunikasi Ariel “Noah” yang jarang diperhatikan orang. Hal yang perlu dipelajari juga oleh Giring dan Pasha “Ungu”.

Berulangnya banjir yang terjadi di Jakarta membuat sebagian kalangan mempertanyakan kapabilitas Anies Baswedan sebagai Gubernur ibukota. Salah satu tokoh politik yang melancarkan kritik pada Anies adalah Giring Ganesha Djumaryo, alias Giring ex-“Nidji”, Plt Ketum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

“Mas Gubernur @aniesbaswedan jangan cuma melempar kesalahan pada curah hujan dan banjir kiriman. Pada banjir kemarin, status pintu air di Bogor dan Depok normal. Artinya banjir terjadi karena Mas Gubernur Anies tidak punya rencana dan cara yang jelas untuk mengatasinya,” tulis Giring lewat akunnya.

Sontak, postingan Giring memantik beragam reaksi dari para fans maupun haters. Tak ketinggalan, tokoh politik pun ikut bereaksi. Salah satunya adalah Sigit Purnomo Said, alias Pasha “Ungu”, yang baru saja pamit dari jabatannya sebagai Wakil Walikota Palu.

“Saudaraku bro @giring yang terhormat.. saya izin komen di laman pa Plt.ketum psi.. judgement bro ketum terkait kapabilitas pa gub @aniesbaswedan yang bro anggap tidak mampu mengelola Jakarta saya kira terlalu naif dan kerdil.. mengelola Jakarta tidak semudah bro mengkritik di medsos,” tulis Pasha.

Mungkin begitulah akibatnya bila para vokalis sudah terjun ke dunia politik. Berbeda pendapat dalam politik, suaranya terdengar ke mana-mana. Semua orang jadi ingin men-“dengar”.

Akhirnya apapun yang keluar dari mereka, selalu mudah untuk didengar dan diperhatikan. Kalau perkara setuju atau nggak sama yang disuarain sih ya beda soal.

Suara vokal Nidji yang melengking tinggi, mungkin memang rawan kalau nyentil-nyentil kebijakan lawan politik. Bisa banyak yang nggak terima. Apalagi kalau lawan politik yang disentil ketinggian posisinya.

Ini belum dengan gaya enerjik Giring waktu nyanyi masih kebawa sampai dunia politik. Hal yang bikin dia suka asyik aja gasak sana, gasak sini. Cocok memang sama PSI.

Sebaliknya, suara cengkok Pasha “Ungu” pun juga makin kelihatan banyak kelokannya sejak jadi walikota. Nggak cuma soal nada, tapi sekarang juga jago soal cengkok kata-kata. Ngeles ala pejabat sudah dipelajari, bela mitra-politik dari kritik sudah dikuasai.

Masalahnya, keduanya tak selalu mampu menarik simpati. Bahkan cenderung banyak yang antipati, terutama mereka yang sejak awal nggak suka vokalis band terkenal dimanfaatkan partai untuk jadi politisi.

Pernyataan-pernyataan mereka cenderung ofensif dan defensif dalam satu waktu. Udah gitu yang dibahas itu orang lain lagi (baca: Anies Baswedan). Udah kayak ghibah antar-vokalis-band yang ngomentari penyair. Aneh.

Nah, sebelum Giring dan Pasha mulai bikin kecewa fans-nya dulu (yang waktu jadi vokalis ya, bukan yang jadi politisi), ada baiknya mereka belajar dari cara Ariel “Noah” berkomunikasi ke publik. Ini langkah penting terutama karena keduanya kan udah jadi politisi sekarang.

Bukan apa-apa Ariel Noah ini kalau ngomongin sesuatu bakal viral, tapi di satu sisi juga “aman”. Salah satu topik yang terakhir misalnya, ketika Ariel menjelaskan soal vaksin Covid-19 di YouTube channel-nya Sule.

Dari sekian penjelasan soal vaksin, barangkali penjelasan Ariel Noah ini salah satu yang paling memberi dampak. Sudah lah viral, disuarakan dengan merdu, plus… memberi informasi yang cukup mudah dimengerti pula.

Uniknya, justru karena Ariel Noah selalu ngaku tidak mengerti, dia jadi menjelaskan sesuatu dengan bahasa-bahasa awam.

Ini hal yang barangkali (di ranah Giring dan Pasha) dianggap sebagai kelemahan. Dan di ranah Ariel Noah, hal ini justru jadi kekuatan terbesar seorang komunikator, yakni: mencitrakan diri nggak lebih jago dari yang diajak ngomong. Jadi yang diajak ngomong (dalam hal ini pemirsa) jadi seneng karena merasa nggak digurui.

Padahal ya, kalau seseorang bisa menjelaskan sesuatu dengan sederhana tanpa perlu sampai ngomongin orang lain (buat dicacat—misalnya), itu tandanya yang bersangkutan sangat menguasai topik pembicaraan.

Ya mungkin Ariel Noah orangnya gitu sih di hadapan kamera, bilang “nggak ngerti”, bilang “nggak paham”, padahal aslinya ngerti dan paham. Heleh, agak nyebelin juga sih sebenarnya lama-lama.

Kemudahan Ariel dalam memahamkan orang ini juga terbukti dengan konten-kontennya yang lain. Tentang merakit PC misalnya. Ada label “pemula”-nya juga. Padahal kita juga tahu, soal rakit PC, Ariel ini lumayan juga lah.

Dan isi dari konten Ariel Noah ini ternyata bukan kaleng-kaleng. Kamu bisa juga ngecek. Bahkan, Aditya Rizki (@buluhijau), webmaster Mojok aja sampai komentar.

“Kalo bikin lagu, liriknya suka mengawang-awang… tapi kalo jelasin hal-hal yg dikuasai bisa detail dan mudah dipahami, eksekusinya pun bagus…”

Bila seorang webmaster aja sampai komentar demikian, ya itu artinya Ariel memang memahami dan menguasai apa yang dikatakannya. Nggak yang cuma asal ngemeng yang penting viral kayak selebritis lainnya.

Dan hal ini kalau kamu mau memperhatikan, sebenarnya Ariel Noah yang sekarang ini ada prosesnya. Bagaimana seorang Ariel Noah bisa se-komunikatif kayak sekarang. Ini juga menandai transformasi seorang Ariel.

Perhatikan aja lagu-lagu di album awal Peterpan yang lirik-lirik lagunya mbulet dan nggak jelas ngomongin apa. Di album Taman Langit Peterpan misalnya, kamu bisa baca cara komunikasi Ariel zaman dulu. Ruwet. Kalau kata Ahmad Dhani zaman dulu sih liriknya nggak jelas mau ngomong apa.

Uniknya, kritik dari Ahmad Dhani dan orang-orang yang nggak suka Peterpan nggak bikin Ariel perlu klarifikasi kayak Pasha Ungu yang balesin kritik Giring ke Anies. Di album kedua Bintang di Surga, Ariel mengubah cara komunikasinya dengan bahasa yang lebih dimengerti. Mendengar kritik dan cela untuk memperbaiki diri.

Dan apa yang terjadi?

“Booom!” album kedua itu jadi salah satu dari sedikit album di Indonesia yang mampu terjual sampai lebih dari satu juta copy. Serta jadi salah satu album legendaris di Indonesia.

Itu yang terjadi kalau seseorang mau dengerin kritik, belajar dari kesalahan di masa lalu. Wajar kalau sekarang Ariel Noah kalau nongol dikit di media sosial suka hati-hati kalau ngomong. Seperlunya kalau komentar. Kayak political correctness-nya udah terbentuk dari kesalahan-kesalahannya di masa lalu.

Anehnya, ketika Ariel bergerak dari arah yang “tak mudah dipahami” menjadi “sebisa mungkin bikin orang paham”, Pasha dan Giring malah bergerak ke arah sebaliknya. Dari vokalis yang mainan nada-nadanya, jadi politisi yang mulai mainan kata-kata.

Dan itu pun, pada telat prosesnya, karena Ariel mah udah kenyang mainan kata-kata mbulet sejak dahulu kala.

BACA JUGA Daya Lenting Seorang Ariel dan tulisan Yesaya Sihombing lainnya.

Exit mobile version