FPI dan Toleransi: Boleh Saling Benci Asal Saling Menghormati

MOJOK.CO Bagimu FPI, bagiku begini. Boleh saling benci, asal saling menghormati. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda akhirnya dibubarin jua.

Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Itu kata Koes Plus. Lagu jadul.

Tapi semua orang tahu. Dunia bukan surga. Juga Indonesia. Kenyataan dan kemauan lebih sering tak sejalan. Yang diinginkan kerap tak terjadi. Yang tak diinginkan justru tak terhindari.

Dul Gepuk maklum. Kita harus bisa hidup di tengah orang-orang yang tak sepaham. Nggak apa-apa saling membenci. Asal hormat-menghormati. Itulah toleransi. Kalau sudah suka sama suka, mana perlu ada toleransi? Bhinneka Tungal Ika. Walau saling nyinyir tapi tetap satu jua.

Dul Gepuk adalah seorang pedagang. Tak ada yang lebih dia kenal selain pasar. Dul Gepuk paham seluk-beluknya. Dia tahu gerak-geriknya. Tapi itulah yang membuatnya prihatin.

Kini kehidupan masyarakat jadi persis pasar. Bukan karena Presiden dan banyak menterinya adalah kaum juragan. Dul Gepuk prihatin karena untung-rugi jadi patokan semua urusan. Kamu jual, aku beli. Banyak orang hidup dalam kotak-kotak sempit. Di luar kotak semua dilihat sebagai ancaman.

Lihat itu Abu Jambul. Hidupnya nyaris tak pernah keluar dari kotak yang sengaja dibikin sendiri. Dari lahir sampai mati.

Istrinya hanya boleh melahirkan di rumah sakit Islam. Anaknya hanya boleh sekolah di sekolah Islam. Dari PAUD sampai kuliah. Bank, koran, radio, toko, partai, perkumpulan, semua harus Islam. Kulkas, deterjen dan cat tembok pun harus halal. Kecuali shampoo. Itu beda. Sebab kalau tak pakai Sunsilk rambutnya langsung ketombean.

Tak ada yang salah. Memang. Tapi bagi Dul Gepuk, semua itu kurang pas. Bener tapi nggak pener. Sederhana saja. Di negeri ini, muslim adalah mayoritas. Kalau mayoritas saja merasa nggak nyaman bergaul dengan yang lain, apalagi yang minoritas?

Abu Jambul juga tinggal di perumahan muslim. Bersama tetangga yang menerima kos hanya khusus muslim. Kalau mati nanti, mereka hanya mau dikubur di makam khusus muslim.

Kok segitunya? Apa kalau dikubur bersebelahan dengan makam non-muslim nanti takut mayat berposisi saling berhadapan, lalu omong-omongan? Takut imannya goyah meski sudah di dalam kuburan?

Dunia bukan surga. Kenapa takut hidup di tengah orang yang berbeda? Ketika terpaksa berinteraksi yang terjadi hanya ketegangan dan saling curiga.

Di pasar, kios Dul Gepuk berseberangan dengan kios Abu Jambul. Barang jualan Abu Jambul serba islami. Sorban, gamis, kopiah, minyak wangi, syiwak, jilbab, sajadah, CD ceramah dan lagu-lagu nasyid.

Sedang jualan Dul Gepuk adalah barang-barang sekuler. Celana jins, T-Shirt, DVD film Hollywood dan Bollywood, blangkon, berbagai perlengkapan kosmetika, BH, celana cawet dan sekitarnya.

Pelanggan mereka beda, selera mereka beda. Orientasi mereka beda. Bagimu daganganmu, bagiku daganganku.

Abu Jambul juga jualan T-Shirt. Tulisannya “Hidup Mulia atau Mati Syahid”. Selama pilpres tahun lalu, T-shirt itu laris diborong kaum kampret. Beda dengan T-Shirt yang dijual Dul Gepuk. Tulisannya “Mbel Gedes” atau, “Hidup Biasa Saja, Nggak Perlu Mikir Mati Syahid”.

Dari barang dagangan saja sudah terasa ada perang dingin antar lapak. Sekali lagi, nggak apa-apa saling benci, yang penting saling menghormati.

Selain jualan, Abu Jambul adalah aktivis muslim. Tepatnya anggota FPI. Kini kiosnya tutup sudah beberapa hari. Sejak FPI dinyatakan sebagai organisasi terlarang, Abu Jambul tak kelihatan. Mungkin ia sedang ikut konsolidasi.

Ketika Menteri Mahfud Md memberi pengumuman, hati Dul Gepuk bersorak kegirangan. Sukor!!! Dia seperti mengalami katarsis. Sensasi yang hanya dia rasakan ketika bintang kesebelasan liga dunianya membobol gawang lawan.

Tapi hati kecil Dul Gepuk bertanya-tanya. Dia pun menelpon temannya waktu SMA. Yang kini jadi seorang ahli. Kata temannya itu, pemerintah sesungguhnya salah langkah.

Lha….

“FPI memang organisasi bermasalah. Ia adalah bentuk vigilantisme. Kelompok gerudukan yang suka main hakim sendiri. Banyak anggotanya suka melakukan intimidasi, bahkan persekusi.

Tak sedikit yang terseret dugaan tindakan radikalisme, bahkan terorisme. Bukan cuma intoleransi. Mereka suka membubarkan kegiatan ritual agama lain. Rajin menutup rumah ibadah yang tak disetujui. Termasuk masjid-masjid Syi’ah dan Ahmadiyah.

Pemimpinnya bergelar imam besar. Tapi tindak-tanduknya kasar. Omongannya vulgar. Suka memanipulasi keistimewaan silsilah keturunan Nabi. Tapi di depan khalayak tak canggung melakukan caci-maki dan provokasi.

Ia berkali-kali terbukti melanggar hukum dan masuk bui. Kini ia ditahan karena tuduhan pelanggaran protokol kesehatan. Berderet kasus lain yang ia tinggalkan waktu kabur ke Saudi konon juga sudah siap dibongkar lagi.

Banyak tokoh menyebut FPI sebagai kelompok preman berjubah. Gus Dur menyebutnya organisasi bajingan. Sudah lama FPI punya banyak musuh dan mengundang kebencian.

Ia adalah organisasi yang tak peduli demokrasi dan HAM ketika menyangkut kepentingan orang lain. Tapi selalu memanfaatkan demokrasi dan HAM untuk menyelamatkan kepentingan diri sendiri.

Bagi pemerintahan Jokowi FPI adalah sarang kampret yang perlu dibasmi. Ia bau dan mengganggu. Gerakan 212 bukan cuma menjatuhkan Ahok, tapi sukses mengirimnya masuk penjara. Gara-gara kelompok ‘Bela Islam’ produk makanan seperti “Sariroti” pun jadi politis. Di belakang semua itu siapa lagi kalau bukan FPI?

Saat yang ditunggu-tunggu itu rupanya kini datang. Ketika para induk kampret sudah benar-benar jinak dan berkumpul rukun di bawah satu naungan.

Apalagi, satu per satu, para jenderal yang dulu jadi simpatisan pun kini kian kehilangan barisan. Deliknya lemah. Tapi posisi tertuduh lebih lemah. Keberpihakan publik ada di tangan pemerintah.

Betapa pun tindakan pemerintah tetap salah. Membuat perkumpulan adalah hak setiap warga negara. Hanya karena tak terdaftar suatu perkumpulan tak bisa dianggap sudah bubar. Pemerintah tak bisa melarang kegiatan sebuah organisasi hanya karena ada anggotanya yang melanggar peraturan.

Yang melanggar adalah individu. Yang dihukum harus individu. Jika ada 50 pelanggar, 50 kepala itu yang diadili. Jika ada 100 pelanggar, 100 orang itu yang dihukum. Kecuali jika AD/ART organisasi itu terang-terangan mengancam keamanan publik atau sengaja bikin onar, baru pemerintah bisa memaksa mereka bubar.

Pelarangan sewenang-wenang tanpa proses pengadilan adalah preseden buruk bagi demokrasi. Ini yang disebut rule by the law, menjaga kekuasaan dengan menggunakan ‘permainan’ hukum. Tapi bukan rule of the law, penegakan supremasi hukum untuk menciptakan keadilan. Hukum dibuat bukan untuk melayani kekuasaan.

Kalau hari ini pemerintah dibiarkan memanipulasi hukum untuk melarang FPI tanpa proses pengadilan, besok siapa lagi?

Sekarang kita memilih diam hanya karena sasarannya kita benci. Jika esok lusa kita ditimpa hal serupa, siapa yang mau bersuara melakukan pembelaan?

Orde lama melarang Masyumi. Orde Baru melarang PKI. Orde terkini telah melarang HTI dan FPI. Saya tak pernah setuju HTI dan FPI. Tapi saya tak bisa membenarkan perlakuan tak adil hanya karena yang jadi sasaran adalah kelompok yang saya benci. I may disapprove of what you say, but I will defend to the death your right to say it.

Sang ahli mengakhiri jawabannya dengan mengutip ungkapan penulis biografi Voltaire, Evelyn Beatrice Hall.

Uraian yang panjang, lebar, dan tak sepenuhnya bisa dipahami. Tapi Dul Gepuk manggut-manggut coba mengerti.

Dul Gepuk kini sadar. Tindakan salah tak bisa dianggap benar, hanya karena yang jadi sasaran adalah kelompok yang tak dia sukai. Boleh saja saling benci asal saling menghormati. Bagi Dul Gepuk, itu toleransi. Esensi dari demokrasi.

BACA JUGA Yang Bisa Dilakukan Anggota FPI usai Dipaksa Pensiun Dini dan tulisan Achmad Munjid lainnya.

Exit mobile version