Filosofi ‘Cotton Bud’ untuk Presiden Jokowi

MOJOK.COYah, harus diakui, ada kemistri antara saya dengan cotton bud. Dan besar harapannya, agar kemistri punya saya itu juga dimiliki oleh Presiden Jokowi.

Entah sejak kapan saya mulai sulit terlepas dari cotton bud atau korek kuping. Bahkan ia lebih—secara tidak sadar saya butuhkan ketimbang barang-barang lain dalam hidup saya. Kalau stok cotton bud akan habis, maka saya segera membelinya.

Yah, harus diakui, ada semacam kemistri terselubung antara saya dengan cotton bud.

Meskipun, kalau mau diingat-ingat lagi, saya sempat punya pengalaman sangat buruk bersamanya. Hiks.

Sembilan tahun lalu, saya pernah terpaksa nginap di tempat rental PS karena kuping saya kemasukan kapas cotton bud. Dari jam sepuluh malam kapas itu bersarang di ambang gendang telinga saya, subuh baru bisa dikeluarkan.

Itupun berkat bantuan teman saya dengan berbagai cara. Mulai dari menetesi kuping saya dengan air hangat (yang justru membuat siksaan saya naik berlipat-lipat) sampai berusaha mencungkilnya dengan ujung peniti yang tajam.

Jangan tanya lagi betapa sengsaranya.

Tapi saya tetap tak bisa lepas darinya. Walaupun setelah kejadian itu, saya sempat mengalami trauma berkepanjangan. Kira-kira siangnya, saya baru berani pakai korek kuping lagi. (Itu mah cuma bentar amat, Bambaaaang)

Oh ya. Di rumah, saya punya sobat setia korek kuping. Beliau adalah ibu saya.

Saya sempat berpikir kalau Ibulah yang mewariskan keterikatan saya pada barang candu itu. Tapi saya menepis pikiran ini jauh-jauh. Adik-adik saya tidak menunjukkan perilaku yang sama. Bapak saya juga.

Maka dapat mudah disimpulkan kalau hal ini bukan warisan. Tentu sangat tidak adil. Masa cuma saya yang dapat warisan? Toh, adik-adik saya tak pernah melayangkan tuntutan.

Sampai-sampai nih, Ibu punya tempat sendiri buat menaruh persediaan korek kuping di rumah. Dan saya satu-satunya anggota keluarga yang mengetahui keberadaannya.

Emang siapa yang bakal ngeh kalau ada sebungkus korek kuping tersembunyi di antara susunan rak sepatu? Saya temukan barang itu juga bukan karena Ibu. Saya cuma pakai intuisi. Sumpah, ini beneran.

Saya menyadari ada satu hikmah tersembunyi di balik perilaku “aneh” Ibu. Tak mungkin Tuhan membiarkan hamba kinasih-Nya itu melakukan aktivitas yang menurut banyak orang justru bisa menimbulkan penyakit serius ini.

Ibu di mata saya, adalah seorang pendengar yang kelewat baik. Sebagai salah satu bukti, Ibu pernah curhat soal adik perempuan saya yang kalau pulang ke rumah saat liburan pesantren, tak banyak mengumbar kata.

“Adikmu itu kok diam saja di rumah. Ibu cuma pengen dengar ceritanya di pesantren,” katanya.

Bahkan saat saya berkesempatan pulang ke Magelang, aktivitas yang paten saya lakukan adalah bercengkerama dengan Ibu. Tentang apa saja. Tapi kami bahkan tak pernah membicarakan tabiat kami, ngorek-ngorek kuping pakai cotton bud.

Lantas apa hubungannya cotton bud sama menjadi pendengar yang baik?

Inilah pentingnya belajar filsafat. Haiyah.

Bismillah, saya akan berusaha menjelaskannya tanpa nyundul langit. Lagian, saya juga tak pernah belajar filsafat dengan serius. Lagian, filsafat kok diseriusin, calon istri dong diseriusin.

Kebetulan dalam jurusan saya yang ada hubungan sama filsafat, ada satu hal yang juga dipelajari dari bidang ilmu lain, yakni ilmu semiotika atau ilmu soal tanda. Sebuah ilmu untuk mempelajari simbol, yang juga bisa juga berwujud perilaku yang diciptakan manusia untuk menyiratkan makna.

Nah dalam konteks kebiasaan Ibu, ilmu ini efektif diterapkan. Pasalnya, Ibu akan sekonyong melakukannya kapan saja.

Kita tahu bahwa aktivitas bersih-bersih dilakukan hanya jika terdapat sesuatu yang kotor. Maka tak mungkin jika Ibu mengorek kuping secara intens jika hanya ingin sekadar membersihkan kotoran telinga.

Saya menafsirkan perilaku tersebut, entah sadar atau tidak, sebenarnya ibu saya hendak menunjukkan bahwa beliau perlu membersihkan telinga dari informasi yang tak menyehatkan dan cenderung berlebihan di era Presiden Jokowi ini.

Jelas tidak sekadar aspek fisik dan badaniyah, namun juga secara aspek psikologis dan rohani. Agar beliau dapat menyerap hikmah dari pembicaraan yang mampir di telinganya dengan baik.

Kesimpulan ini makin saya yakini semenjak belakangan Ibu selalu menyimak cerita saya sembari mengorek telinga. Barangkali Ibu perlu membuang jauh-jauh konten cerita saya soal nasib skripsi yang rasa-rasanya cuma joging di tempat.

Jika benar yang saya pikirkan, maka saya akan terus menekuni aktivitas nyandu saya. Sekali lagi, meskipun banyak yang bilang kalau mengorek kuping terlalu sering, dapat menimbulkan penyakit serius. Saya tak peduli.

Salah satunya sebuah berita tentang seorang perempuan Australia bernama Jasmine Small. Perempuan malang ini mengalami kerusakan pendengara permanen. Diduga karena secuil kapas cotton bud yang tertinggal di telinganya.

Saya sempat berpikir untuk mencari alternatif selain cotton bud. Salah satunya dengan bulu ayam. Dahulu saya sering lihat Simbah memakainya. Itu dahulu.

Sekarang saya bisa apa? Selama lebih dari sepuluh tahun saya tinggal di kampung saya di Jogja, cukup jarang saya temukan ayam berkeliaran dengan riang. Lihat ayam susah, gimana bisa dapat bulunya yang rontok?

Oleh karena itu, biarlah saya setia menggunakan cotton bud. Selain nikmat, saya ingin menyimbolkan diri saya sebagai pendengar yang baik. Asal saya bisa dipercaya oleh orang-orang di sekitar untuk mendengarkan kisah-kisah dan curhat pilu mereka.

Lagipula, banyak sekali kita temukan, orang-orang ngeyel yang tak mempan diberi masukan. Terutama orang-orang kita yang duduk sebagai pejabat negara. Telinga mereka mendadak mampat. Tiba-tiba ada banyak congek sebesar gaban yang tak mau lepas dari lubang telinga mereka.

Jangankan suara-suara yang nempel di otak, aspirasi rakyat—masing mending kalau masuk telinga kanan keluar telinga kiri—nggak pernah masuk sama sekali. Mental, kalah sama congek yang udah sama kerasnya kayak karang-karang di pantai selatan itu.

Padahal selayaknya pemimpin—menurut rakyat kere, miskin, dan bodoh ini—paling tidak harus bisa jadi pendengar yang baik.

Sebagai contoh, Presiden Jokowi. Beliau punya Watimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) yang tugas pokoknya adalah memberi nasihat dan pertimbangan pada Presiden baik diminta atau tidak.

Kurang apa Ayah Ideologis saya, Pak Malik Fadjar atau Almarhum Hasyim Muzadi yang ditunjuk oleh Presiden sebagai anggota Watimpres 2015-2019? Kok kebijakan Pak Jokowi sering ndak mashoook? Kadang ada yang mashook juga sih. Dikit tapi.

Tapi saya juga tak ingin menilai Pak Jokowi semata acuh pada nasihat dan pertimbangan yang salah satunya berangkat dari nama-nama yang saya sebut di atas. Bisa jadi, nasihat dan masukan dari dua tokoh itu kalah lantang dibanding anggota Watimpres yang lain. Sehingga Pak Jokowi tak memprioritaskannya.

Apalagi Watimpres yang baru. Ketuanya yang-sejak-dulu-HAnya-NUmpang-RAme-tapi-abadi di pemerintahan itu saya ragukan akan memberi masukan yang baik ke Pak Jokowi. Tentu orang di sekitar Pak Jokowi bukan hanya Watimpres. Ada juga rakyat jelata yang perlu didengar. Nggak cuma dari “katanya” dan “katanya” orang-orang di istana saja.

Nah, demi bisa mendengarkan secara optimal suara-suara nun jauh di bawah, maka ada baiknya kuping Pak Jokowi dijaga supaya semakin bersih lagi. Terutama untuk denger keluhan-keluhan rakyat soal UU KPK, ekspor benih lobster, Natuna, sampai Jiwasraya.

Oleh karena itu, saya mau usul nih, Pak Presiden.

Pak Jokowi, njenengan rutin-rutinlah membersihkan telinga. Kalau tak mau pakai cotton bud, pakai saja bulu angsa. Di Istana Bogor banyak kan?

BACA JUGA Jokowi Memang Ngawur Jika Pakai Earpiece Ketika Debat Capres atau tulisan Farhan Aji Dharma lainnya.

Exit mobile version