Film Penyalin Cahaya dan Catatan Saya untuk Penontonnya

Film yang cocok jadi lembar abstrak “penelitian” berjudul: Cara Kasus Kekerasan Seksual Dilihat di Indonesia.

Penyalin Cahaya dan Catatan Saya untuk Penontonnya

Penyalin Cahaya dan Catatan Saya untuk Penontonnya. (Mojok.co/Ega Fansuri).

MOJOK.COFilm ‘Penyalin Cahaya’ membumikan dan membunyikan berbagai problem masyarakat kita dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Baiklah.

Meski sudut pandang ceritanya jelas berbeda, di awal tulisan ini saya tetap terdorong untuk membandingkan film Penyalin Cahaya dengan salah satu film Indonesia lain, tentu dengan tema yang serupa.

Bagi saya, ini merupakan salah satu cara untuk bisa menjawab: “apa dan bagaimana film Penyalin Cahaya itu?”

Dalam upaya melibatkan penonton agar tidak sekadar bersimpati, tapi sekaligus aktif memahami kenapa luka kekerasan seksual mustahil sembuh (kalaupun tersedia, mungkin “obat” terbaiknya adalah perbaikan sistem hukum), film 27 Steps of May lebih berhasil dibanding film Penyalin Cahaya.

Baiklah saya tahu, 27 Steps of May (semoga kamu sudah menontonnya) di permukaan tidak memiliki pretensi menyulut pencerahan penonton tentang isu kekerasan seksual yang belakangan mendesak direspons serius oleh semua pihak. Penyalin Cahaya lebih tegas mengemban misi tersebut.

Cerita May berpusat pada individu yang terluka (May dan ayahnya). Barangkali, karena semesta ceritanya mikro, gagasan utamanya menjadi lebih padu.

Lingkup persoalan 27 Steps of May adalah respons keluarga atas tragedi. Penyintas kekerasan seksual mampu bertahan melalui semua trauma itu berkat keluarga. Itu pun tetap ada sekian harga yang harus dibayar oleh semua pihak yang terdampak, langsung maupun tidak langsung.

Ketakutan pada warna, adiksi pada kekerasan, dan perjalanan yang panjang untuk lepas dari penyesalan sepanjang durasi 27 Steps of May, menggambarkan secara koheren satu visi sineasnya:

“Kekerasan seksual bukan salah korban. Bukan salah keluarga korban. Yang bersalah adalah pelaku, terlepas dari korban berhasil mendapat keadilan atau tidak.”

Di sisi lain, film Penyalin Cahaya berhasil membumikan berbagai problem dari cara masyarakat, institusi, hingga individu di negara ini, tiap kali merespons kasus kekerasan seksual. Berlapis masalah itu berhasil diterjemahkan menjadi sajian filmis sekaligus puitis.

Bisa dibilang, film Penyalin Cahaya semacam ringkasan permukaan problem kekerasan seksual di negara ini. Ringkasan ini dikemas dengan sajian yang nyaman disantap oleh mata, alur yang menyita perhatian, serta akting meyakinkan.

Namun karena sifatnya meringkas (dan menjadikan kesaksian para penyintas secara simbolik sebagai seruan moral), respons penonton saya pikir akan terbelah di akhir Penyalin Cahaya.

Sangat wajar bila sebagian penonton memiliki harapan memahami lebih lanjut, gagasan apa yang dipegang oleh sosok-sosok di balik layar. Sebab, ada pesan yang cukup kontradiktif di balik permukaan cerita Penyalin Cahaya.

Tentu saja mereka yang terlibat produksi film Penyalin Cahaya berpihak pada korban atau penyintas kekerasan seksual. Itu sudah jelas.

Namun di sela-sela filmnya, terbuka ruang yang problematis, karena penonton diajak “memahami” pelaku lewat adegan yang buat saya mengganggu pakem realis sepanjang dua per tiga durasinya.

Alegori upaya Suryani, tokoh utama Penyalin Cahaya, yang diandaikan sang pelaku serupa Medusa (dan dia Perseus), bagi saya tidak memperkaya ceritanya. Medusa, yang diperkosa Poseidon dan kemudian direduksi menjadi monster yang dipenggal Perseus di lakon klasik Yunani, jelas punya nasib tragis.

Manifesto filsuf Hélène Cixous yang terbit pada 1975, “The Laugh of the Medusa“, sejak jauh-jauh hari mengingatkan kita bahwa kisah Medusa bisa dibaca sebagai pembungkaman perempuan yang diperkosa.

Nah, di titik itulah, menempatkan si pelaku bermonolog, yang pada intinya mendakwa langkah Sur mencari keadilan sia-sia karena benteng patriarki sedemikian kuat sejak dulu kala, jadi terasa, “Buat apa adegan ini masuk? Apakah tidak ada cara yang lebih subtil, dan berangkat dari sudut pandang perempuan untuk menyampaikan pesan yang lebih kurang sama?”

Selain itu, karena konflik utama Penyalin Cahaya dikemas sebagai thriller (ini film thriller yang kompeten), perjuangan Sur mencari keadilan sesekali bersaing dengan kebutuhan menggerakkan plot. Itu belum termasuk kesan cerita bila semua ini terjadi akibat kenaifan Sur sendiri.

Semua persoalan dalam film ini berentetan muncul karena Sur tidak menuruti ucapan ayahnya, dia tidak bisa menjaga diri, dan dia “kepengin eksis” di kampus. Padahal, apalah arti semua kenakalan tersebut—bahkan dari sudut pandang moral—dibanding tindakan memperjualbelikan foto privat untuk fetish yang liar.

Betul Sur digambarkan terluka. Penonton menyaksikannya secara eksplisit, nyaris voyeuristik malah lewat kolase foto-foto area privat yang disimpan dan diambil pelaku. Masalahnya, di saat bersamaan penonton sekaligus terdistraksi untuk menebak-nebak siapa pelaku, apa yang akan terjadi berikutnya, dan lain sebagainya.

Keadilan tidak selalu, atau malah sangat jarang, menang. Kita yang hidup di dunia fana ini tentu memahaminya. Penyalin Cahaya berusaha jujur menyalin realitas pahit tersebut.

Adegan simbolis yang indah di akhir film Penyalin Cahaya, barangkali adalah usaha sineasnya meyakinkan kita, semakin banyak korban yang berani bicara, akan menghasilkan sesuatu. Sayangnya, butuh optimisme dosis tinggi untuk mencapai konklusi positif macam itu.

Saya sebetulnya tidak berharap Penyalin Cahaya menyediakan kesimpulan yang katartik, atau malah heroik. Kalau yang dicari adalah cerita dengan tema rape revenge seperti Marlina atau Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menawarkan alternatif solusi keadilan yang lebih berani (sekalipun fantastik).

Kekerasan seksual adalah isu pelik. Saya tidak pernah menjadi korban kekerasan seksual. Meski begitu, ada yang sesak di dada ini sesudah kredit Penyalin Cahaya muncul di layar. Kemenangan Sur yang bahkan sekadar simbolis pun, sebelumnya sudah dirampok monolog sang pelaku yang problematis itu.

Barangkali memang itulah efek yang diharapkan, agar kita bergidik pada tebalnya ketidakadilan (di negara ini), sehingga sebagian besar penonton terdorong lebih peduli pada isu kekerasan seksual.

Sebagai film yang berupaya menyadarkan penonton seluas mungkin mengenai rumitnya mencari keadilan bagi korban kekerasan seksual, Penyalin Cahaya buat saya berhasil.

Namun beberapa pilihan artistik membuat pesannya sedikit ambigu. Diperumit pula keterlibatan terduga pelaku kekerasan seksual sebagai penulis skenarionya, wajar bila sebagian penonton akan gamang memosisikan keberpihakan film ini terhadap para penyintas.

Selepas menonton Penyalin Cahaya, yang saya ingat adalah keinginan mengajak bicara Sur, Tariq, atau Farah, tentang satu pesan yang saya dapat dari 27 Steps of May.

Sebab dari May, saya setidaknya akan terus ingat; jika kelak orang yang saya kenal atau bahkan saya sayang menjadi penyintas kekerasan seksual, saya harus tegas mengatakan ini padanya:

“Ini bukan salahmu. Semua ini bukan salahmu.”

BACA JUGA ‘PenyaIin Cahaya’ Pecahkan Rekor, Borong 12 Piala Citra dan tulisan Ardyan M. Erlangga lainnya.

Editor: Ahmad Khadafi

Exit mobile version