“I think it’s great. I love it. I think it’s brilliant, and I’ll tell you why. Music should be shared.” – Joss Stone
Sebagai penikmat film dan musik yang pas-pasan, koleksi saya berbentuk arsip digital yang kebanyakan didapat dari situs file sharing seperti Piratebay atau Kat.cr. Setelah tiga orang pentolan Piratebay ditangkap pada tahun 2014 dan situsnya ditutup, hari Rabu tanggal 20 Juli 2016 kemarin, Artem Vaulin, pemilik situs Kat.cr, mendapat giliran diciduk. Situsnya pun ikut ditutup kemudian. Sedih.
Jangan berpikir buruk dulu. Saya bukan seorang pembajak. Paling tidak, di Indonesia, tindakan saya bukan tindak kriminal. UU no. 28 tahun 2014 pasal 44 menyatakan bahwa penggandaan suatu produk hak cipta tidak ilegal apabila digunakan untuk pertunjukan atau pementasan tak berbayar. Lain ceritanya kalau setelah mengunduh film secara gratis lalu saya dagang DVD di ITC.
Polemik pembajakan, illegal download, atau copyright infringement merupakan masalah moral, dan seperti masalah moral pada umumnya: Tidak ada benar dan salah. Hukum kadang memihak di satu sisi, memudahkan orang untuk memilih. Namun, bukan berarti kedua bagian terwakili.
Seorang tech journalist dari New York, David Pogue, bertanya kepada 500 mahasiswa yang hadir di seminarnya:
“You want a movie or an album. You don’t want to pay for it. So you download it. Who thinks that might be wrong?”
David bingung. Saya tidak. Generasi kita tumbuh di era internet. Semua hal yang dibutuhkan ada di dalamnya. Dari sarana edukasi, rekreasi, hingga komunikasi.
Tugas kuliah: Internet. Bosen, mau nonton: Internet. Di Bali, selfie dulu untuk pamer: Internet. Unduh dan unggah. Sharing menjadi budaya generasi millenial. Menghilangkan budaya tersebut merupakan hal yang salah. Kalau The Beatles dijauhkan dari narkotika, mungkin Sgt. Pepper tidak akan lahir dan Beatles tak jadi legenda. Tanpa pembajakan, mungkin Amanda Fucking Palmer hanya akan dikenal sebagai Amanda Palmer saja.
Saya bukan sedang memparadekan pembajakan, loh. Untuk sedikit menyeimbangkan tulisan ini, akan saya paparkan perspektif lain: Pencipta sebuah karya juga berhak atas apresiasi.
Nah. Pada dasarnya, untuk menjamin apresiasi inilah peraturan tentang Hak Cipta dibuat. Biasanya, apresiasi ini dimaterikan dalam bentuk uang. Tentu seniman juga perlu makan dan untuk makan perlu uang. Salah satu metodenya: Dari penjualan CD di KFC. Makanya Anang anti sekali dengan pembajakan.
Masalahnya, uang hasil penjualan CD tidak semuanya sampai ke tangan si musisi. Uangnya melewati proses panjang, dipotong sana sini – oleh label, produser, pajak, dll. Musisi akhirnya hanya mendapatkan sekitar 13% dari penjualan CD. Untuk grup musik, prosentase itu masih harus dibagi lagi dengan para personel, belum lagi manajer. Lalu, label-lah yang mendapat bagian paling besar – sekitar 60% – karena mereka yang mengurus produksi, advertensi, dan distribusi.
Kambing hitamnya tentu pembajakan. Padahal, yang harus diperkarakan adalah cara label mendistribusikan keuntungan. Hal serupa juga terjadi di dunia buku dan perfilman. Akhirnya, Hak Cipta tidak lagi melindungi si pencipta tetapi condong melindungi profit perusahaan.
Para musisi indie, mungkin, yang kena sialnya. Tapi kalau dipikir lagi, musik indie pun baru merebak setelah internet campur tangan. Radiohead, Foo Fighter, dan Joss Stone juga mengatakan pembajakan bukan ancaman. MP3 justru menjadi sarana promosi bagi musisi. Dan bagi konsumen, pembajakan bisa menjadi preview atas barang yang mau dibeli.
Saya sendiri selalu membeli CD-nya setelah tertarik dengan unduhan MP3 seorang musisi/grup musik atau melihat bajakannya di youtube. Jadi, pembajakan sebenarnya tidak melulu berdampak negatif kepada musisi indie. “Music should be shared,” kata Mbak Joss Stone.
Oke. Sampai di sini mungkin saya memang sedikit memparadekan pembajakan. Tetapi hanya sedikit, kok. Saya hanya ingin menunjukan betapa polemik pembajakan ini hanyalah permainan korporasi besar untuk melindungi tambang emasnya. Pembajakan kapal, sih, lain cerita.
Harus diingat pula, Indonesia sendiri, pada tahun 1958, memilih untuk hengkang dari Konvensi Bern. Alasan Perdana Menteri Djuanda adalah agar para pelajar Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karya asing tanpa harus membayar royalti, mengingat Indonesia masih merupakan negara berkembang.
Akses menuju informasi dipermudah untuk terus meningkatkan kualitas diri sendiri dan negara meskipun, akhirnya, lewat Keppres No. 18 tahun 1997 kita kembali mengakui Konvensi Bern. Walau demikian, UU no. 28 tahun 2014, menyatakan Hak Cipta di Indonesia akan hangus 70 tahun setelah pemegang hak meninggal, menggeser karyanya ke public domain – menjadi milik publik – hingga dapat diakses serta digandakan oleh siapa saja secara cuma-cuma.
Artinya, kita memiliki produk hukum yang mendukung sistem file sharing daripada menganggapnya sebagai ‘pembajakan’. Jangan sampai hal tersebut dirusak oleh kapitalisme seperti yang terjadi di Amerika Serikat sana.
Mirip Indonesia, 1909 Copyright Act di Amerika Serikat menyatakan bahwa setelah karya dipublikasikan, Hak Cipta akan berlaku hingga 56 tahun. Angka ini sudah merupakan hasil revisi dari dua perundangan sebelumnya yang menyebutkan 28 dan kemudian 42 tahun. Setelah melewati batas yang disebutkan, karya tersebut berpindah ke public domain – bersama Dracula, Zorro, Alice, Zarathustra dan Rumpelstiltskin.
Segala hal yang berada di public domain boleh dieksploitasi oleh siapa saja. Bebas untuk diunduh dan digandakan atau bahkan dijual lagi. Makanya, buku-buku keluaran Penguin dan Wordsworth yang classic edition harganya lebih murah. Mereka tidak perlu bayar royalti.
Namun, pada tahun 1976, negara api menyerang. Miki Tikus – Mickey Mouse – mencoba menghindar dari jeratan public domain. Rupanya, 56 tahun belum cukup lama bagi Disney. Delapan tahun sebelum waktu yang dijanjikan, perusahaan Disney melobi pemerintah agar diberikan tambahan waktu.
Akhirnya, Amerika Serikat mengadopsi sistem Eropa, waktu maksimal bertambah menjadi 75 tahun. Semua karya yang dipublikasikan setelah tahun 1922, terkena dampaknya. Batas waktu Hak Cipta Miki Tikus, yang lahir pada tahun 1923, bergeser dari tahun 1984 ke tahun 2003. Dan – tada! – kini tahun 2016 dan ternyata Miki Tikus masih milik Disney.
Singkat kata, Disney melobi pemerintah lagi. Dari 1997–2015, lebih dari $80 juta beralih kantong untuk memperpanjang umur Miki Tikus. Hasilnya? Kita akan lihat di tahun 2023.
Alasan Disney mau mengeluarkan begitu banyak untuk si tikus ini cukup simpel: Profit. Miki Tikus menghasilkan $5.8 miliar per tahun hingga dinobatkan sebagai ‘karakter fiksi terkaya’ di dunia oleh majalah Forbes. Selain kaya, Miki juga rendah hati. Semua uang itu diberikan kepada Disney. Mari kita doakan umurnya panjang.
Kalau semua hasil lobi ini hanya diaplikasikan kepada Miki Tikus dan Disney, tentu bukan masalah besar. Masalahnya, sejak tahun 1922, public domain Amerika Serikat mendapat sedikit sekali asupan karya. Public Domain Day 2016 pun menjadi hari yang menyedihkan. Tidak ada karya yang masuk ke public domain Amerika Serikat hingga tahun 2019 nanti.
Hal ini sangat membatasi ruang gerak mereka yang berkecimpung di bidang seni. Akses menuju karya-karya seni tak berbayar menjadi sulit, karyanya pun itu-itu saja. Selain itu dengan meningkatnya orang-orang faux-copyright concious, ruang gerak di bidang kreatif menjadi sempit. Lihat saja kasus Monkey Selfie di tahun 2014 yang, menurut saya, sangat bodoh.
Apa yang dilakukan Disney juga menjadi contoh bagi perusahaan lain juga individu tanpa akal sehat. Hak Cipta menyimpang jadi simbol keserakahan. Bayangkan kalau semua orang tidak mau melepas karyanya ke public domain. Dunia ini akan dipenuhi karya ‘orisinil’. Lama-lama, saya gambar lingkaran saja mungkin bisa dituntut atas dasar copyright infringement. Bisa habis ide di dunia. Padahal seharusnya suatu karya bisa menjadi inspirasi bagi karya lain.
Tidak ada Don Jon tanpa Don Juan, Frozen tanpa Snow Queen, Lion King tanpa Hamlet. Bahkan kartun debut Miki Tikus, Steamboat Willie, diadopsi dari komedi pendek Buster Keaton, Steamboat Bill Jr. Cih, betapa hipokritnya.
Indonesia adalah negara berkembang. Banyak dari kita yang belum bisa afford medium orisinil seperti buku, bluray, atau CD. File sharing bisa dijadikan solusi. Bukannya egois, tetapi, sejatinya, apresiasi memang tidak harus dalam bentuk uang. Ya, memang si pencipta juga butuh uang. Tapi, apa menurut kalian George Lucas, yang kekayaannya mencapai $7,3 milyar, masih membutuhkan uang?
Dan lagi apresiasi yang saya berikan saat menonton Midnight in Paris di laptop sama besarnya, kok, dengan mereka yang nonton di bioskop – atau bluray. Kalau saya ingin koleksi DVD-nya juga bingung harus cari di mana. Beli di Amazon, mahal.