MOJOK.CO – Kesimpulan saya usai membaca UU HAM: Bahwa semua orang Indonesia pernah dan sedang menjadi korban pelanggaran HAM.
Tahun 2024 ini persis satu dekade Festival HAM diadakan, demikian saya baca beritanya. Acara ini diadakan setahun sekali, dan pada tahun ini, akan diselenggarakan tanggal 29-31 Juli mendatang di Kota Bitung, Sulawesi Utara.
Entah mengapa saya tak bisa mengabaikan berita ini.
Saya pernah mendengar tentang konsep Kabupaten/Kota HAM. Ide utamanya, kota merupakan pemain kunci dalam perlindungan dan pemajuan HAM. Konsep ini dimasyarakatkan di Indonesia oleh INFID, Komnas HAM, dan ELSAM lewat Festival HAM sejak 2014. Dulu namanya Konferensi Kabupaten/Kota Ramah HAM.
Bagi kita-kita yang warga kabupaten, mungkin pernah berpikir HAM adalah sesuatu yang jauh. Hanya ada di Jakarta atau di New York, tempat sidang umum PBB diselenggarakan. Pikiran itu niscaya langsung gugur jika Anda membaca UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999).
Semangat yang terangkum dalam UU HAM Indonesia
Hak asasi manusia adalah hak yang langsung melekat pada seorang manusia sejak ia dalam kandungan. Seseorang tak perlu dibaptis dengan kewarganegaraan tertentu, agama ini-itu, atau diakui sebagai anggota suatu suku, baru kemudian punya HAM.
Konsensus negara-negara beradab menggariskan, HAM sudah menempel di diri kita sejak kita punya nyawa, dan tidak pernah, bahkan tidak boleh, lepas.
Situs Hukumonline yang menyarikan apa itu HAM, mengutip pendapat Thomas Hobbes yang sangat menggetarkan. Anda pasti pernah dengar peribahasa Latin yang sering dikaitkan dengan Hobbes, berbunyi “homo homini lupus” atau manusia adalah serigala manusia lainnya. Rupanya peribahasa itu dikutip dengan maksud, dengan HAM lah kita berusaha mencegah manusia menerkam sesamanya.
Semangat itu terangkum dalam UU HAM Indonesia. Bacalah pasal demi pasalnya, sekali saja, dengan penuh kesungguhan. Jika Anda punya perasaan dan empati, keperihan akan menjalari sekujur tubuh.
Sebab, Anda sedang membaca daftar hal-hal yang harusnya dimiliki Anda, orang tua, keluarga, dan teman-teman Anda. Dimiliki oleh sesama manusia yang Anda temui di jalan, di tempat kerja, di internet, dan di berita-berita.
Pelanggaran HAM sehari-hari yang kita semua pernah alami
UU itu membariskan daftar hak kita, tetapi kenyataannya berkata tidak. Sembari membacanya, ingatan saya berloncatan pada contoh-contoh sebaliknya. Pada kasus-kasus pelanggaran HAM sehari-hari yang kita semua pernah alami.
UU HAM Pasal 3 ayat 1 berbunyi, “Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat….” Seketika saya teringat berita ibu hamil di Mamasa, Lebak, Pekanbaru, Polewali Mandar, yang keguguran karena jalan di daerahnya rusak berat. Mereka terlambat dibawa ke klinik. Ada yang sempat ditandu berjam-jam. Ada yang ibunya sampai meninggal. Bayi-bayi mereka tak sempat lahir dalam keadaan hidup meski hukum mengatakan, “Setiap orang dilahirkan….”
Pasal 3 ayat 3, “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.” Wajah Halilah, teman sebangku saya saat kelas 1 SD, muncul samar-samar.
Saya sudah tak bisa benar-benar ingat wajahnya. Kami hanya bersama selama setahun. Naik ke kelas 2, dia tiba-tiba pergi tanpa pesan. Kabarnya, keluarganya mengungsi ke kota lain akibat kekerasan rasial terhadap orang Madura, yang menyebar sampai ke desa kami.
Pasal 9 ayat 2, “Setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.” Tahun lalu, saya menemani teman saya mendatangi kediaman pekerja rumah tangga yang bekerja di kantornya. Teman saya baru saja mendapat cerita dari ibu tersebut, bahwa dia absen kerja beberapa hari karena sakit usai dihajar suami barunya.
Kami datang ke rumahnya, mencari suaminya, dan di hadapan pria tua bangka yang masih bertangan ringan itu, kami sampaikan pesan: Berhenti memukul atau kami laporkan ke polisi.
Warga bertengkar dengan sesama warga
Pasal 9 ayat 3, “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Sementara di Jogja, kota tempat saya tinggal, hari ini warga bertengkar dengan sesama warga karena masalah buang sampah sembarangan.
Pemicunya, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah di Piyungan, ditutup pemda usai protes warga sekitar karena mencemari air warga. Penutupan itu sontak bikin warga lain kelimpungan.
Truk sampah berhenti mengangkut. Warga tak terbiasa memilah sampah. Kalaupun memilah, tempat menyetor sampah daur ulang sangat terbatas. Alhasil sampah menumpuk di jalan-jalan. Kota Jogja berubah jadi kota bau sampah.
Mencari contoh implementasi UU rasanya tak pernah semudah ini. Total, ada delapan kategori HAM yang dijamin UU HAM. Tiap kategori dijejali banyak pasal dan ayat. Di tiap ayat, saya sendiri bisa memberi contoh praktik kebalikannya. Contoh-contoh ini tak perlu saya cari dari berita, stok pengalaman di diri saya dan lingkungan sekitar sudah berlimpah.
Semua orang Indonesia pernah menjadi korban pelanggaran HAM
Kesimpulan saya usai membaca UU HAM: semua orang Indonesia pernah menjadi korban pelanggaran HAM. Harap bedakan dari pelanggaran HAM berat, yang oleh UU dibatasi pada kasus genosida, arbitrary/extra judicial killing, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, dan diskriminasi sistematis.
Saya pikir, ketika kita sudah mengeluh, “Hidup kok gini amat ya,” itu sebenarnya tanda bahwa ada kemungkinan HAM kita sedang dilanggar. Isu pelanggaran HAM sebenarnya memang sedekat itu dengan diri kita.
Benar-benar baru kemarin Kompas menulis berita yang judulnya begini, “Supriyadi Enggan Lapor Polisi Usai Bajaj-nya Dicuri: Saya Enggak Punya Uang”. Orang sipil pasti langsung maklum dengan perhitungan logis Supriyadi untuk tidak melapor.
Dari contoh-contoh itu saya mau bilang, pelanggaran HAM yang kita alami banyak sekali yang tatarannya ada di kabupaten/kota tempat kita tinggal. Persoalan keseharian inilah yang bisa kita konfrontasikan kepada pemangku kebijakan dalam Festival HAM, sebab acara ini selain jadi tempat berkumpul para korban dan penyintas, juga menghadirkan pemerintah lokal.
Bayangkan jika para korban darurat TPA, darurat bakar sampah, jalan raya rusak, eskalator stasiun ngadat, biaya sekolah mahal, darurat ruang publik untuk nongkrong, darurat transportasi publik, darurat pangan, darurat lowongan kerja, darurat rumah mahal, semua berkumpul di satu tempat, dan mendesakkan masalah kita ke pemangku kebijakan.
Kita, para warga, dengan isu kita masing-masing, bisa bersolidaritas satu sama lain untuk menyergap pemangku kebijakan agar bisa merasakan betapa kita frustasi. Masalah bakar sampah atau susahnya cari kerja bukan pelanggaran HAM ringan. Tidak ada pelanggaran HAM yang ringan. Dan pemangku kebijakan harus dipastikan mengetahui penderitaan kita itu, agar jangan diam saja.
Penulis: Prima Sulistya
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Menolak Lupa 10 Pelanggaran HAM yang Diabaikan Pemerintah Indonesia dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.