Driver Ojol Antar Miras kena Ciduk di Solo dan Pelajaran Ikhlas dari Aparat Kita

Driver Ojol Antar Miras kena Ciduk di Solo dan Pelajaran Ikhlas dari Aparat Kita

Driver Ojol Antar Miras kena Ciduk di Solo dan Pelajaran Ikhlas dari Aparat Kita

MOJOK.COViral driver ojol di Solo yang mengaku diciduk polisi karena tak sadar mengantarkan miras. Dilepas sih akhirnya, tapi….

Kasus driver ojol yang ditangkap karena kedapatan aparat membawa miras di Solo, kembali membuka diskusi netizen soal profesionalisme aparat.

Saya tak perlu capek menjelaskan siapa yang memesan miras yang berakhir dengan “diamankannya” mas-mas driver ojol. Sudah jadi rahasia umum, sudah sama-sama tahu.

Ah, bukannya kita memang sudah mafhum dengan peristiwa beginian karena toh sudah berulangkali kasus-kasus serupa terjadi?

Kebetulan saja kasus terakhir ini mencuat karena jadi bahan pergunjingan netizen seluruh Indonesia Raya—yang tahu sendiri bagaimana julidnya.

Jika saja kasus ini tidak jadi isu nasional, nasib mas-mas driver ojol itu mungkin bakal berbeda, tidak dilepas dan disantuni. Mungkin ia bakal jadi tersangka penyelundupan miras yang bahkan ia pun tidak tahu pesanan yang dibawanya ternyata barang haram.

Sebagai pengayom masyarakat tentu saja aparat mengemban tugas yang berat. Perkara miras mah cuma upaya kecil-kecilan buat melindungi masyarakat agar terhindar dari nafsu duniawi.

Walaupun kecil, itu adalah usaha serius dari aparat agar orang-orang tidak terlena pada penghilang sakit sementara bernama miras ini. Agar orang-orang dapat menghadapi segala tantangan hidup dengan lebih berani. Memang, cuma pecundanglah yang menyelesaikan masalahnya dengan mabuk-mabukan.

Selain memberantas miras, tugas-tugas aparat lainnya tidak kalah krusial. Mereka selalu bisa diandalkan menjaga keamanan di saat orang-orang libur Lebaran, mereka yang selalu tersenyum ramah menghadapi pemotor ugal-ugalan dengan knalpot bisingnya, mereka yang kerap menangkapi pencoleng-pencoleng kamar kosan mahasiswa miskin.

Sungguh, bukankah mereka adalah perwujudan manusia yang amat humanis? Pengabdiannya adalah pengejawantahan dari keinginan untuk mengelola kehidupan madani.

Tak ada ego personal di dalamnya, yang ada adalah upaya untuk mencapai keinginan kolektif guna merasa aman tentram kerta raharja. Dan saya percaya setiap aparat adalah orang-orang yang ingin berbakti untuk kepentingan bersama.

Tetapi setiap perkara yang bersinggungan dengan aparat selalu memicu trauma saya. Betapapun ingin saya berbaik sangka kepada orang-orang yang penuh pengabdian ini, bayangan-bayangan tidak mengenakan selalu muncul.

Saya jadi mempertanyakan, apakah saya punya kelainan jiwa karena punya prasangka dan sinis terhadap mereka yang tulus mengabdi ini? Atau jangan-jangan saya ini punya jiwa penjahat, karena dulu mungkin pernah ada perasaan tidak senang dengan aparat?

Setelah beberapa kali berurusan dengan kantor aparat terdekat, saya tidak membawa penyelesaian yang memuaskan. Yang ada adalah rasa dongkol dan waktu yang terbuang sia-sia.

Beberapa kali saya masuk ke sana kerap disambut dengan kursi kosong atau oknum petugas yang sedang berleha-leha di depan komputer sambil ngudud kretek.

Sekali waktu ketika partner saya kehilangan motor, kami dilempar-lempar ke beberapa petugas. Sungguh kesannya jadi tidak tertib administrasi. Kami diwawancarai selama beberapa jam dengan janji bakal dihubungi jika kendaraan ditemukan.

Sementara pencuri motor melenggang ke luar wilayah, kami masih saja berbusa-busa menjelaskan ke petugas. Tak ada olah TKP, padahal tempat parkirnya tergolong dekat dengan lokasi kantor.

Selama berbulan-bulan kami menunggu, kabar baik tak kunjung datang.
Dan ya memang, berurusan dengan aparat kita harus membiasakan diri untuk belajar ikhlas. Selain ustaz-ustaz yang hobi ceramah, aparat mengajarkan saya untuk ikhlas dengan lebih praktikal.

Semoga motor Beat itu berguna untuk biaya anak-isterimu mas pencury.

Perkara ikhlas juga diajarkan ketika saya ditipu transaksi jual-beli online. Tapi memang sih sayanya juga bego karena tidak curiga sedikitpun.

Sebagai mahasiswa kere yang mengandalkan beasiswa, kehilangan duit ratusan ribu adalah urusan yang bikin risau. Duit itu jika dihitung-hitung dapat mengisi perut saya selama sebulan. Tentu dengan penghematan yang amat.

Saya sebenarnya sempat ragu mau membawa perkara ini ke kantor aparat. Tapi berkat cuitan resmi dari lembaga aparat yang mendorong masyarakat untuk melapor jika membutuhkan, membuat saya memberanikan diri.

Ditambah kasus Kaesang Pangarep “kena tipu” ratusan ribu oleh toko online yang bisa diselesaikan dengan cepat karena dia anak presiden, saya makin percaya diri.

Tetapi, lagi-lagi respons yang saya dapat hanyalah ceramah-ceramah untuk berbuat ikhlas.

“Uang segitu mah udah ikhlasin aja, Dek, sudah dipastikan tak bisa balik lagi. Ya lagian kok kamu nggak hati-hati.”

Osiap, Ndan!

Saya sebenarnya tahu betul jawaban itu yang akan saya terima. Namun, keinginan saya untuk berbaik sangka mengenyahkan anggapan-anggapan buruk itu. Sebagai bagian dari yang diayomi, saya ingin meneladani ketulusan bakti, keseriusan pengabdian dari pelindung masyarakat ini.

Mendapati respons yang tidak simpatik atau kerap menggampangkan pengalaman traumatis adalah hal yang amat membagongkan. Saya sungguh tak bisa membayangkan jika berada di posisi mas-mas driver ojol yang tiba-tiba kena ciduk aparat kayak di Solo itu.

Perkara pencurian dan penipuan kayak saya ini tak ada apa-apanya.
Soal ikhlas ini telah benar-benar terinternalisasi dalam diri. Tatkala terakhir kali kosan saya dibobol maling, saya tak lagi-lagi ingin melapor. Saya telah menjadi pribadi dengan keikhlasan yang kaffah.

Aparat telah mengajarkan saya yang kering batinnya dengan siraman rohani, mengalahkan pesona ustaz-ustaz di tipi. Tak ada kepemilikan, semua milik-Nya. Lepaskan soal-soal keduniawian. Nanti-nanti mungkin aparat bakal mengajarkan saya untuk moksa juga karena raga memang cuma ilusi keduniaan.

Meminjam istilah yang acap kali dipakai aparat, jangan-jangan saya adalah oknum? Jangan-jangan masyarakat yang kecewa terhadap pelayanan aparat adalah oknum?

Sementara aparat-aparat dan birokrat di lembaga pemerintahan umumnya adalah orang-orang normal yang berkelakuan lumrah. Profesionalisme yang mereka perlihatkan adalah kewajaran belaka.

Atau jangan-jangan memang begitulah cara kerja dunia ya?

BACA JUGA 5 Cara Paling Tidak Masuk Akal dalam Menghindari Tilang Polisi atau tulisan Fikry Ainul Bachtiar lainnya.

Exit mobile version