Drama Korea Lebih dari Pria Tampan Mencintai Gadis Miskin

Drama_korea_miskin_mojok

Drama_korea_miskin_mojok

MOJOK.CO – “Masak sih drama korea isinya cewek miskin jatuh cinta sama orang kaya?”

“BUANG SEMUA KASET DVD Drama KOREA puluhan episode yang selalu menayangkan pria kaya, ganteng, putih, imut yang jatuh cinta dengan wanita biasa-biasa dan miskin…!”

Tulisan itu saya temukan di Facebook, tahun 2016, yang ditutup dengan kalimat: “Ridwan Kamil (Walikota Bandung)”. Apakah betul ditulis oleh Kang Emil? Karena jika iya, maka ada beberapa hal yang perlu saya luruskan.

Saya tidak pernah ingin jadi fanatik kiri atau kanan, entah itu dalam ring politik atau agama, karena bagi saya, semua punya kurang lebih. Dan mengutip kata-kata Gus Mus, “Kalau kita di tengah-tengah, hidup itu enak.”

Begitu juga terhadap drama Korea. Awalnya, saya justru termasuk penyinyir drama negeri oppa itu. Mungkin kita enggan kecewa sehingga lebih dulu bilang “tidak” sebelum mencoba. Itu yang terjadi sebelum saya kenal drama Korea.

Apaan tuh? Ceritanya tak berubah! Cewek miskin bertemu cowok kaya, saling demen, ceweknya malu-malu tapi mau, orang tua si cowok tidak setuju, ceweknya sok-sok menjauh, tapi si cowok mati-matian membunuh jarak, sementara si cewek miskin didekati cowok teman baiknya dan si cowok kaya pun dijodohkan dengan cewek kaya, tapi cowok dan cewek tokoh utama ini entah-bagaimana-caranya-mereka-berjuang-untuk-bersatu.

Tak ada drama yang sempurna, tapi cerita gap kaya miskin ini tak menarik kalau cuma mengajak kita bergalau-galau saja. Sama membosankannya dengan “drama” sakit sampai benjol sebesar bakpao yang dilakonkan oleh tersangka korupsi e-KTP Setya Novanto.

Kadang saya pikir, orang melihat drama Korea serupa melihat drama India. Banyak orang ogah nonton film India, bahkan merasa jijik. Seperti disebut Mas Mahfud Ikhwan di buku Aku dan Film India Melawan Dunia, “drama India seolah gambar durjana, film porno, disukai tapi tak diakui, bahkan dianggap kotor untuk diperbincangkan.” Ini yang membuat penggemar film India selalu merasa sendirian, dan bakal alang kepalang senangnya jika bertemu sesama penggemar India—sebagaimana saya menganggap Mas Mahfud adalah belahan jiwa yang selama ini Allah simpan buat saya karena doi juga penyuka India. Auch.

Lihat saja, orang-orang jahat yang menganggap “drama India berisi nyanyi-nyanyi di pohon saja” pasti langsung kelepek-kelepek begitu nonton PK, 3 Idiots, Slumdog Millionaire, atau Student of the Year. Langsung deh memuji-muji.

Halah. Basi.

Jika Prof. Quraish Shihab pernah berkata, “Orang-orang yang masih mempertentangkan Sunni-Syiah adalah orang yang lahir terlambat,” dalam konteks tulisan ini, orang-orang yang hari gini masih nyinyirin drama Korea dan India adalah orang yang lahir terlambat.

Padahal, percaya deh, kita harus belajar dari keseriusan industri kreatif dalam menggarap sebuah drama televisi. Kenapa? Ada banyak alasan, seperti drama mereka munculnya seminggu dua kali saja (atau lebih) di televisi; tidak seperti kita yang sinetronnya tayang setiap hari alias stripping. Akhirnya, kita keteteran kualitas. Drama Korea jelas lebih total saat bikin drama.

Drama Korea punya batasan episode. Drama lama memang bisa sampai puluhan episode, tapi drama sekarang 16 sampai 20 episode thok. Mencapai 40 episode itu sudah dianggap panjang (Suspicious Partner, misalnya), tidak sampai 8.786.901 episode bak sinetron kita.

Dalam jangka sekian episode itu, insan kreatif di balik drama Korea harus bisa menampilkan cerita yang memikat, bermakna, dan beda sejak awal. Karena biasanya, sedikit saja jelek di awal, drama akan cenderung sepi peminat dan ratingnya langsung jeblok. Saya kurang paham bagaimana dengan tabiat penonton di Korea, tapi sebagian penonton drama Korea di Indonesia lebih demen menikmati drama-drama dengan rating tinggi.

Coba ingat-ingat lagi, apa yang memenuhi layar sinetron kita belakangan ini? Saya sempat melirik Dunia Terbalik karena ada Agus Kuncoro di sana, tapi tak intens menonton. Sementara di televisi Korea, kita bisa menemukan aneka genre. Action, komedi romantis, sampai thriller. Profesi-profesi seperti jaksa, jurnalis, penulis, dokter, dokter jiwa, agen rahasia, sampai malaikat maut, semua pernah masuk TV, dikemas dengan konflik personal yang superseru. Tengok saja Healer, Emergency Couple, Goblin, Pinocchio, Age of Youth, dan sederet drama bermutu lainnya.

Jelas, bagi penikmat tontonan seperti saya, drama Korea patut dicontoh demi efektivitas drama televisi kita, yang kelak juga bakal menuntun kita menghadirkan sinema berkualitas.

Pertanyaannya, apakah ini mungkin?

Harus diingat bahwa apa yang tersaji di televisi tak boleh diremehkan karena ia memberi pengaruh pada penonton. Sinetron, lebih dari kisah cinta cowok tampan dan cewek cantik, adalah sarana sharing informasi dan memperkaya jiwa. Dan sebenarnya, tema tayangan terbaik bisa diambil dari apa yang dekat dengan masyarakat.

Misalnya, di Korea sana tingkat kepercayaan dan kepedulian masyarakat terhadap media cetak dan politik cukup rendah. Maka, tayangan-tayangan bertema politik banyak bertebaran demi bikin masyarakat melek. Hadirlah drama sejenis The K2. Para penulis drama ini bisa bikin drama dengan bumbu politik, yang menurut saya layak tonton.

Kalau di kita, saya lebih terkenang kepada Hanung Bramantyo yang dengan wow mengemas film Tanda Tanya. Beragam pertikaian ada di sana, dan konfliknya lahir dari isu-isu yang dekat dengan kita.

Ah, saya jadi ingat, kita pernah punya serial televisi sekelas Dunia Tanpa Koma. Dari sinilah wajah Fauzi Baadilla, Dian Sastro, Tora Sudiro, dan nama-nama tenar lain bisa lebih sering kita lihat. Skenarionya ditulis dengan epic pula oleh Leila S. Chudori. Empat belas episode keren itu mengisahkan sepak terjang jurnalis lengkap dengan isu narkoba, perempuan, kekuasaan, dan pilihan. Kapan kita punya yang seperti itu lagi?

Tak semua penikmat drama Korea berkelana buat mencari oppa ganteng atau termehek-mehek berharap disambangi pangeran berkuda. Ada juga yang mencari hiburan berkualitas. Lagi pula, jika kita mau melihat lebih dekat, tak semua oppa digambarkan sempurna. Bahkan Kim Tan dalam The Heirs adalah siswa bodoh, meski tampan, kaya, dan baik hati.

Saya sendiri malah tertantang menikmati drama Korea yang tokoh utama prianya “unik”.

Misalnya It’s Okay It’s Love. Di drama ini pemeran utamanya punya masalah kejiwaan. Si wanita punya trauma dengan aktivitas fisik dengan lelaki karena pernah melihat ibunya mencumbui lelaki lain sehingga ia tak bisa melakukan hal yang lebih dari berciuman. Sementara si pria mengalami skizofrenia. Dia memiliki “teman khayalan” yang ternyata adalah cermin dari masa lalunya. Bayangkanlah bagaimana rasanya kamu harus menyaksikan orang yang kamu sayang berjuang “melawan” dirinya sendiri agar sembuh… wow.

Ada lagi drama Kill Me Heal Me yang mengisahkan seorang pria dengan banyak kepribadian. Kepribadian itu terbangun dari trauma masa lalu yang dia alami setelah diperlakukan jahat oleh sang ayah. Pemeran utamanya, Ji-sung, mendapat penghargaan berkat perannya ini karena bisa memerankan 6 karakter berbeda dalam satu drama!

Malah di drama A Gentlemen’s Dignity, si tokoh utama pria ternyata punya anak di luar nikah. Dia pun baru tahu setelah si anak mendatanginya. Cara penulis membuat drama ini senatural mungkin dan memberi penyelesaian konflik yang manis membuat saya terkesan. Lebih dari itu, penulis drama ini berhasil bikin aktor sekelas Jang Dong-gun main drama lagi.

Ada juga drama Cheese in the Trap yang mengisahkan lelaki pemarah (bahkan semi-psycho) yang bakal membalas dendam pada siapa saja yang mengusik kebahagiaan orang-orang yang dia sayang. Dan itu menyeramkan, ndes.

Yang mengesankan dari drama-drama ini, para perempuan itu tetap mencintai lelaki mereka, sebelum maupun sesudah mereka tahu kekurangan terbesar lelakinya itu. Mereka tidak menghindar. Walau kadang marah, kesal, tapi semua masalah diselesaikan dengan bicara baik-baik.

Tak ada yang sempurna di dunia ini. Karena tak ada yang sempurna, maka jangan mencari yang sempurna. Menerima ketidaksempurnaan juga adalah wujud cinta tho? Toh, apa yang disebut “tidak sempurna” itu tak selalu merugikan, menyakitkan. Selama masih bisa kerja sama buat jadi lebih baik, kenapa nggak. Ya kan?

Halah, malah curhat.

Fakta-fakta ini membuat saya tak terima jika drama Korea dipandang sedemikian rendah. Abaikan para cowok yang suka sinis dengan cewek penonton drama Korea, yang sering mengatai kita “tinggi khayalan”. Astaga, sok tahu sekali! Yang “sempit” cukup memori hard disk saya, pikiran kamu jangan. Sebab, sebaik-baik penikmat drama Korea pasti tahu: oppa ganteng dan baper itu “bonus” saja.

Exit mobile version