Dilema Batu Akik

Dilema Batu Akik

Dilema Batu Akik

Non-jomblo pasti akan menjawab pertanyaan itu dengan mudah, sementara para jomblo menahun masih susah payah mengenang momen ketika pergi ke mal bersama mantan terindah. Sudah susah payah, memori yang muncul justru ketika bersalaman dengan mantan di pelaminan.

Kaum hawa, ketika melihat tas yang kece bin unyu pasti akan melipir mampir sambil bilang, “Ih, lucuuu!” Laki-laki dengan ketegasan alamiah yang timbul dari jakun kemudian berkata, “Kan kamu kemaren baru beli tas, Sayang?” Sebuah jawaban klasik yang notabene sudah dikenal sebagai blunder kenamaan, mengalahkan terpelesetnya Steven Gerrard.

“Tapi kan aku belum punya yang warna cokelat. Kamu, ih, nggak pernah mau mengerti aku!” rajuk sang pacar.

Apa yang diperbuat laki-laki itu? Tindakan paling klasik dan mendasar adalah mengelus dada sendiri, sambil mencari tempat duduk terdekat untuk menyesali diri telah membawa sang pacar ke tempat yang salah sembari menanti sang kekasih hati kembali dengan pertanyaan retoris, “Bagusan yang mana, Yang?”

Hidup laki-laki dan perempuan memang berbeda. Ketika perempuan boleh menggunakan alasan ‘lucu’ sebagai pembenaran membeli tas, baju, dan sepatu yang sudah menumpuk di rumah, maka laki-laki tidak bisa menggunakan alasan yang sama untuk membeli rokok. Ini cenderung tidak adil. Tas, baju, dan sepatu itu harganya ratusan ribu, untuk rokok bisa dapat satu slop. Plus, tidak ada gambar seram ketika seseorang membeli tas, baju, dan sepatu. Sedangkan gambar organ rusak nan seram tertera suram di bungkus rokok.

Yah, laki-laki butuh pembalasan. Laki-laki juga ingin berhenti pada suatu tempat sambil kemudian bilang, “Eh, ini lucu”. Sementara sang pacar akan berkata, “Kamu kan kemaren baru beli!”

Jawaban sang laki-laki lantas terlontar dengan elegan, “Aku kan belum punya Bacang, sayang.”

Fenomena batu akik kiranya layak dinobatkan sebagai trending topics. Mengenakan batu akik adalah simbol lelaki kekinian yang tidak dapat dibantah lagi. Dahulu, ketika menghabiskan masa kecil di Bukittinggi, karena tidak punya ongkos, saya sering berjalan kaki melewati pengrajin batu akik di sekitar Pasar Atas dan Pasar Lereng. Pembelinya umumnya pria-pria berumur dan berkumis. Kini, ketika saya melewati tempat yang sama, pemuda-pemuda tampanlah yang tampak sedang berjongkok memilih batu di sana.

Begitu saya beralih ke Jatibaru, Jakarta ataupun Pasar Cinde, Palembang, sketsanya nyaris tidak berbeda. Bahkan ditambah pemandangan bahwa remaja-remaja kekinian pun tidak luput mengenakan batu akik. Benda yang belasan tahun silam dibahas oleh orang-orang tua di pos ronda, kini menjelma menjadi topik bahasan di kantin sekolah dan grup WhatsApp. Bahkan, diksi “bacang” juga sudah terlontar ketika saya nongkrong di sebuah warung kopi berkelas dunia di ibukota nan hangat. Dunia memang mudah berubah.

Batu akik adalah pembalasan setimpal untuk tas, baju, dan sepatu. Sama-sama dikenakan, sama-sama bukan mandatory, dan sama-sama membuktikan kekinian seseorang. Makanya, ketika gadis remaja asyik dengan tas dan sepatu lucu, calon-calon kepala keluarga asyik dengan koleksi batu akik. Sebagian dari para jomblo kekinian tentunya tidak ingin kalah start. Mereka juga turut dalam demam batu akik.

Sayangnya, kalau menilik ke linimasa bercuit, respons para gadis terhadap batu akik sama dengan respons lelaki terhadap tas lucu: kurang berkenan. Sebagian gadis dengan ekstrem berkata tidak akan menerima pendekatan dari lelaki berbatu akik. Sebagian lainnya berusaha moderat dalam berkomentar serta bersikap. Sisanya? Ternyata sama-sama kolektor batu akik.

Hal ini akan menjadi dilema mendalam bagi kaum jomblo. Menjadi pengguna batu akik secara otomatis meningkatkan eksistensi kekiniannya, namun secara drastis mengurangi luasan jaringan gadis-gadis jomblo yang mungkin untuk dipedekate. Kalau sudah begini, apa yang mesti dikorbankan? Status kekinian atau keadaan jomblo menahun yang menjurus pada pengerasan hati?

Fenomena ini telah meletakkan laki-laki dalam konteks yang sesuai status masing-masing. Bagi non-jomblo, batu akik telah menjadi lawan setanding bagi tas, baju, dan sepatu lucu. Sementara para para jomblo, ada dilema mendalam soal kekinian dan soal status kesendirian. Namun sejauh disurvei, dengan prinsip minus mallum, kiranya gadis-gadis masih lebih permisif terhadap lelaki yang menggunakan batu akik dibandingkan lelaki yang menggunakan kata akik sebagai kata ganti, misalnya suka berkata, “Akik baru pulang, Cyin….”

Sejatinya, para jomblo tenang saja. Boleh jadi fenomena batu akik juga sama dengan rokok. Lihatlah sebagian kalangan gadis yang memproklamasikan dirinya sebagai antirokok, namun ketika dipedekate oleh pria tampan yang merokok ternyata tetap membuka diri. Ketika ditembak, tetap menerima. Ketika dicium oleh bibir berbau asap, tetap menikmati secara murni dan konsekuean. Ketika dilamar, langsung manggut-manggut.

Dengan logika yang sama, para jomblo—yang telah lelah berkalang kenangan—tetap bisa menjadi lelaki masa kini sembari tetap bisa optimis untuk mendekati gadis-gadis kece yang tampaknya belum tertarik dengan lelaki berbatu akik.

Bima Arya, Wali Kota Bogor yang baru saja meresmikan pasar batu akik, sempat bertanya soal eksistensi benda ini. Bagaimanapun, sudah banyak tren di negeri ini yang berkonteks musiman. Ikan jenong yang mendadak mahal dan dedaunan besar dalam pot yang tetiba harganya menjulang adalah sesuatu yang pernah terjadi di Indonesia. Bagaimana caranya agar fenomena batu akik ini tidak terjadi secara musiman belaka? Agar bisa konstan berjalan dan memutar uang sebagai industri.

Menurut saya, sebenarnya, itu adalah tanggung jawab kaum jomblo. Loh, kok? Karena lelaki berpacar sudah harus bertanggung jawab pada calon istrinya. Jomblo kan paling mentok bertanggung jawab pada peningkatan berat badan sendiri, apa salahnya sih ditambah tanggung jawab lain yang sedikit lebih berkualitas dan demi kebaikan bersama?

Ya, sudah. Mari kita bersama-sama melihat dunia yang diwarnai oleh cahaya pantulan batu akik, sambil berharap hidup kita bisa secerah dan semulus batu akik yang baru digosok.

Exit mobile version