MOJOK.CO – Saya penasaran, apa iya diabetes itu tidak bisa disembuhkan. Seiring bertambahnya usia, saya mulai lebih banyak memperhatikan kesehatan saya.
Meksiko adalah negara dengan angka konsumsi per kapita minuman Coca Cola terbesar sedunia. Konon, keterikatan masyarakat di sana dengan minuman ini bahkan sudah mencapai tingkat kultural dan spiritual. Di Meksiko Selatan, misalnya, dukun tradisional biasa mempersembahkan Coca Cola sebagai sesaji dalam berbagai acara ritual dan pengobatan. Rasanya yang manis dipercaya akan disukai oleh roh para leluhur mereka.
Coba tonton video ini dulu, deh.
Seorang dukun sedang melakukan ritual untuk menyembuhkan pasiennya yang menderita diabetes. Agar bisa sembuh, si pasien disuruh untuk meminum segelas… Coca Cola. Ketika sang dukun ditanya apakah konsumsi minuman ini mengakibatkan diabetes, dia mengawali jawabannya dengan, “Itu hanya kebohongan….”
Fanatisme dan budaya meminum Coca Cola ini mengakibatkan jumlah penderita diabetes tipe 2 meningkat drastis. International Diabetes Federation (IDF) mengestimasi bahwa 16,9% penduduk di Meksiko usia 20-79 tahun menderita diabetes.
WHO menambahkan bahwa dalam kurun waktu 1980-2014, jumlah penderita diabetes di seluruh dunia melonjak dari 108 ke 422 juta orang (meningkat 9,2 juta orang per tahun). Sebanyak 95% dari mereka mengidap diabetes tipe 2.
Jangan salah. IDF tadi menyatakan bahwa mayoritas penderita diabetes itu tinggal di negara-negara berpendapatan menengah ke bawah. Secara global, diabetes sudah mengakibatkan 6,7 juta kematian sepanjang 2021.
Bagaimana di negara kita?
Diestimasikan bahwa 10,6% populasi Indonesia (atau kurang lebih 19,5 juta orang) mengidap diabetes. Dilihat dari jumlah penderita, Indonesia adalah negara dengan pengidap diabetes terbanyak kelima di dunia. Penyebarannya tidak hanya tinggi di provinsi seperti DKI Jakarta, tetapi juga hingga ke Maluku Utara.
Perlu dicatat, angka estimasi itu maksudnya bukan hanya angka penderita yang sudah didiagnosa oleh dokter, tapi juga meliputi sejumlah mereka yang belum didiagnosa. Tahu sendiri, kan. Masih ada mereka-mereka yang menghindari cek kesehatan karena entah malas, takut, atau kepedean kalau badannya sudah pasti sehat padahal aslinya belum tentu. Merujuk ke data IDF tadi, persentase mereka yang belum terdiagnosis di negara kita ini adalah 73,7% atau 14,3 juta orang.
Lebih parah lagi, beberapa laporan mengindikasikan adanya peningkatan jumlah kasus diabetes di masa pandemi ini. Ini akibat baik dari perilaku virus Covid-19 di dalam tubuh manusia maupun gaya hidup yang menjadi kurang sehat.
Saya sendiri tiap bulan menemani ibu saya untuk kontrol dan ambil obat diabetes di rumah sakit. Saya pun berisiko lebih tinggi untuk menderita diabetes tipe 2 karena keturunan.
Saya ingat percakapan saya dengan seorang ibu yang juga pengidap diabetes. Saat itu kami sedang menunggu antrian obat. Beliau berkata kalau sekarang, diabetes itu bukan lagi penyakitnya orang tua. Banyak anak muda yang juga kena. Mereka kebanyakan konsumsi minuman manis, makanan atau minuman kemasan, serta makanan cepat saji.
Saya penasaran, apa iya diabetes itu tidak bisa disembuhkan. Seiring bertambahnya usia, saya mulai lebih banyak memperhatikan kesehatan saya. Saya ingat dulu sejak usia 20an, entah kenapa, saya sering sekali merasa lapar. Baru sejam makan nasi, sudah lapar lagi. Makan lagi, tak lama kemudian, lapar lagi. Seolah-olah harus selalu ada makanan atau camilan (atau minuman manis) di dekat saya. Entah lapar beneran atau hanya ingin makan, tapi begitu aja terus hampir setiap hari.
Di sisi lain, ada beberapa waktu seumur hidup saya di mana ketika sedang beraktivitas biasa, tiba-tiba saya merasa lapar luar biasa. Badan tiba-tiba lemas dan satu-satunya hal yang ada di pikiran saya adalah: saya-harus-makan-sesuatu-sekarang!
Pernah sekali waktu ada teman yang melihat dan bertanya, “Mas, kamu nggak punya penyakit gula, kan?”
Saat itu, saya belum paham sama sekali sama pertanyaan itu.
Algoritma YouTube saya kemudian merekomendasikan satu video TEDx Talk tahun 2015 di Indiana, Amerika Serikat. Seorang dokter yang menangani pasien obesitas, Dr. Sarah Hallberg (RIP), menjelaskan satu kondisi yang disebut resistensi insulin.
Yuk, nonton video bagus lagi:
Ingat pelajaran biologi? Insulin adalah hormon yang membantu penyerapan glukosa (gula darah) ke dalam sel-sel tubuh. Sumber gula darah berasal dari makanan dan minuman yang mengandung karbohidrat dan gula.
Bila tubuh mengalami resistensi terhadap insulin, maka kadar insulin dan gula darah akan tetap tinggi karena tidak bisa diserap tubuh. Bila ini konsisten terjadi, lama-lama kondisinya akan berkembang menjadi pre-diabetes sebelum akhirnya menjadi diabetes tipe 2.
(Sementara itu, satu studi di AS mengestimasikan bahwa 40% warga di sana yang berusia 18-44 tahun memiliki kondisi resistensi insulin, dan separuh dari mereka tidak memiliki obesitas).
Di video yang sama, Dr. Hallberg menjelaskan bahwa resistensi insulin ini mengakibatkan seseorang merasa lapar terus-menerus (seketika itu juga saya mendapatkan pencerahan). Lalu karena makan terus-menerus, lama-lama dia mengalami obesitas. Lalu kadar gula darahnya tidak terkontrol, akhirnya ya sudah, kena diabetes. Minum obat deh seumur hidup.
Dia kemudian mengatakan kondisi diabetes tipe 2 itu bisa di-reverse, bisa “dibalik.” Mereka yang belum kena juga bisa mencegahnya. Caranya, hindari konsumsi karbohidrat. Paling tidak, kurangi signifikan. Nasi, mi, roti dan sebangsanya, apa saja yang manis-manis, makanan/minuman kemasan, makanan cepat saji. Mampus nggak, tuh?
Di video-video lain, saya menemukan juga beberapa dokter lain yang sejalan dengan klaim Dr. Hallberg. Mereka menyarankan pola diet ini kepada para pasiennya. Penelitian-penelitian yang mendukung pun mereka tunjukkan.
Saya coba lihat juga bagian komentar orang-orang yang menonton video-video itu. Tak disangka, ternyata banyak dari mereka adalah penderita diabetes dan atau obesitas. Setelah beberapa waktu mengubah pola diet, berat badan mereka perlahan turun, hingga berkilo-kilo. Akhirnya mereka berhenti minum obat, bahkan berhenti kontrol ke dokter.
Saya sendiri saat ini sudah banyak mengurangi makan nasi. Ada dua perubahan yang saya alami, berat badan saya turun sekilo (lalu stabil di angka itu-itu saja), dan frekuensi lapar saya berkurang.
dr. Hallberg (dan dokter-dokter lain tadi) juga menjelaskan kenapa mayoritas dokter tidak memberikan saran ini. Selain karena status quo, ada satu kutipan dari beliau yang cukup mengena: “Don’t be fooled, there’s a lot of money to be made from keeping you sick.”
Jangan salah, ada banyak uang yang bisa dihasilkan dari membuat kita tetap sakit. Ada benturan kepentingan antara pihak-pihak yang berurusan dalam upaya mengobati seseorang yang sakit. Pihak rumah sakit, perusahaan obat, ya, gitu deh. Ini kata dia lho, ya.
Lalu kalau tidak makan nasi, mi, roti, mau makan apa?
Pola diet rendah karbohidrat ini istilah populernya adalah diet keto. Rendah karbohidrat, tapi tinggi lemak. Search sendiri deh menu makanannya apa saja. Saya sih tidak sampai segitunya, tapi memang sekarang saya lebih sering makan hanya lauk (tahu, tempe, telur, ayam, dan lainnya) dan sayur tanpa nasi tapi jadi lebih sering jajan bakso hehehe.
Kalau ada yang bagi-bagi nasi kotak ya tetap saya makan nasinya. Masak mau dibuang.
Pemaparan para dokter ini bagi saya seperti “pengantar” yang membuka pandangan saya bahwa mungkin ada praktik-praktik lain di dunia medis yang selama ini kita kira memang seharusnya begitu, tapi itu bukan yang paling tepat (baik atas saran dokter atau dari kemauan pasien sendiri).
Contoh gampangnya, sudah tahu kan kalau penyakit flu (yang disebabkan virus) tidak bisa diobati dengan antibiotik (obat untuk penyakit yang disebabkan bakteri)?
Bagusnya di era sekarang, dengan adanya platform seperti YouTube, para dokter di luar sana yang selama ini memiliki pendapat atau praktik yang lain (yang berdasar, tentunya) bisa menunjukkannya. Harapannya, literasi publik tentang kesehatan atau penyakit mereka bisa menjadi lebih baik.
Contoh-contoh yang lain antara lain dikupas di artikel ini: “When Evidence Says No, But Doctors Say Yes”.
Nah, tadi disebut tentang diet keto; rendah karbohidrat, tinggi lemak. Semua dokter tadi mengatakan bahwa, berlawanan dengan karbohidrat, konsumsi lemak itu… baik. Tidak perlu merasa khawatir. Rasanya enak, pula.
Udah kebayang mau bakar sate daging kurban, kan?
Sebelum baca yang di bawah ini, saya mesti kasih disclaimer. Saya hanya menceritakan apa yang saya baca, dan saya tidak merekomendasikan apa-apa. Kalian baca saja sumber-sumber yang sudah saya beri tautannya untuk menambah wawasan.
Argumen mengapa diet tinggi lemak direkomendasikan sejumlah dokter itu antara lain karena mengikuti pola diet manusia zaman dahulu. Ingat pelajaran sejarah, kan?
Menurut teori, manusia zaman batu itu memperoleh makanan mayoritas dari hasil berburu. Mereka belum bisa bercocok tanam. Jadi ya, mereka makan daging. Belum ada tuh yang namanya nasi, gandum, singkong, apalagi tiwul instan.
Hingga saat ini pun masih ada orang-orang di bagian dunia lain yang, karena iklim yang brutal dan tidak memungkinkan, masih menggantungkan makanan dari daging. Mereka adalah suku Inuit di Arktik dekat Kutub Utara sana. Makanan mereka hampir seluruhnya terdiri dari daging anjing laut, narwhal (paus bertanduk), dan ikan.
Di abad ke-20, ada seorang penjelajah asal Kanada, dr. Vilhjalmur Stefansson, yang sudah menghabiskan 11 tahun di Arktik, yang mana 9 tahun di antaranya dia hanya makan daging. Kemudian, pada 1928, bersama seorang peneliti lainnya yang bernama K. Andersen, mereka setuju untuk menjadi subjek eksperimen, di mana mereka hanya akan makan daging selama satu tahun. Tidak di Arktik, tapi di kota New York di Amerika Serikat.
Selama satu tahun itu, mereka hanya mengonsumsi daging sapi, domba, babi, dan ayam. Tidak hanya bagian dagingnya saja, tapi juga hati, ginjal, otak, sumsum tulang, dan lemak. Jadi tidak hanya bagian dagingnya, tapi juga lemak-lemaknya. Untuk minuman, mereka minum air putih, kopi, dan teh.
Singkat kata, dari hasil observasi dan sejumlah pengujian, percobaan ekstrem ini sama sekali tidak menunjukkan efek buruk bagi kesehatan keduanya, baik secara fisik maupun mental. Berat badan mereka turun sekitar 4 kilogram. Organ-organ pencernaan mereka tidak mengalami masalah, dan mereka tidak kekurangan nutrisi atau vitamin. Aktivitas mereka selama percobaan juga tetap berjalan seperti biasa.
Kesimpulannya? Disimpulkan sendiri, gih.
Penelitian lengkapnya baca di sini.
Berhubung konsumsi nasi putih di rumah kami berkurang drastis (hanya ada saya dan ibu saya), ibu saya kebingungan. Mau dikemanakan stok beras yang ada berkilo-kilo di rumah. Daripada didiamkan lama dan khawatir ada kutunya, akhirnya beliau bagi-bagikan beras itu ke para tetangga.
Ya, bagus lah. Waspada sama diabetes, malah jadi beramal.
BACA JUGA Pelonggaran Prokes Covid-19 Adalah Kabar Bahagia, tapi Tidak Buat Saya Penderita Diabetes dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Suryagama Harinthabima
Editor: Yamadipati Seno