Di Kasus seperti Penyerangan Gereja St. Lidwina, Toleransi Saja Tidak Cukup

penyerangan gereja

[MOJOK.CO] “Cerita dan refleksi dari dokter yang ikut membantu membersihkan Gereja St. Lidwina setelah penyerangan saat misa Minggu pagi.”

Pada hari terjadinya pembacokan di Gereja St. Lidwina Bedog, selapas Magrib saya bertemu Buya Syafii Maarif di Masjid Nogotirto. Seperti biasa, kami sama-sama baru selesai salat jamaah. Karena saya tahu pagi tadi Buya sempat datang ke Gereja Bedog, pertemuan itu tak saya sia-siakan untuk bertanya.

Kata Buya, pagi tadi, setelah belanja di tukang sayur depan rumah saya, Buya mengajak Pak Salam, tetangga sebelah, untuk makan di warung Bu Darmi di utara Pasar Jambon. Gereja Bedog St. Lidwina hanya berjarak 300 meter di timur pasar tersebut.

Selesai makan, Buya mendapat cerita dari pemilik warung bahwa telah terjadi pembacokan di Gereja St. Lidwina. Buya langsung menuju ke sana dan ketika tiba, sudah ramai orang serta darah bercecer di mana-mana. Saat itu pelaku telah diamankan dan korban telah dilarikan ke rumah sakit. Menurut pengamatan Buya, beberapa kepala patung di dalam gereja terpenggal kepalanya.

Siangnya, Buya menjenguk pelaku pembacokan di RS Bhayangkara Sleman. Setengah jam lebih Buya mengobrol langsung. Beberapa hal yang bisa saya ceritakan ulang di sini antara lain bahwa pelaku masih sangat muda, baru 22 tahun, pernah kuliah 2 semester dan mondok sekitar 3 tahun di Jawa Tengah. Ia baru tinggal di area dekat gereja sekitar 5 hari. Pedang didapat dari menjual hapenya pada hari Sabtu.

Motifnya? Ia mengaku benci orang kafir. Dipenggalnya patung-patung itu agar tidak disembah. Ketika ditanya apakah ada kiai atau guru yang mengajarkan itu, ia menampik. Ia suka baca-baca buku sendiri. Luka tembak ia dapatkan di kaki, bukan di perut seperti diberitakan di situs berita dan medsos.

Itu tadi datanya. Sekarang soal kesan. Kesan Buya terhadap orang itu, ia bisa diajak berbicara dengan baik, bicaranya nyambung. Meski demikian, agak kontradiktif antara dia berencana pulang ke rumah orang tuanya pada 13 Februari, tapi siap mati di gereja pada Minggu pagi itu. Secara umum, dia tampak waras. Oya, kesan ini saya dapatkan dengan bertanya kepada Buya satu per satu, bukan Buya yang menyampaikan seperti urutan cerita saya ini. Kesannya, pelaku adalah pemain tunggal. Tapi, kata Buya, soal itu sedang diselidiki polisi.

Dalam obrolan itu, kami membicarakan juga kasus penganiayaan ulama Islam dan pemuka agama lain sebelumnya. Buya sangat sedih dan marah dengan itu. Saya merasakan hal yang sama.

Buya Syafii Maarif ketika menjenguk pelaku di RS Bhayangkara Sleman. Foto milik Ahmad Syafii Maarif dan penulis.

***

Keesokan harinya, Senin kemarin, saya datang ke Gereja St. Lidwina yang memang tak jauh dari rumah saya. Saya seorang dokter, dididik untuk menyelamatkan nyawa. Dari situ saya menjadi amat sedih bila melihat atau mengetahui ada orang yang terancam nyawanya, tak peduli status ekonomi, preferensi ideologi, ataupun agamanya. Sangat sedih melihat gumpalan dan bercak darah yang masih berceceran di lantai. Saya bayangkan, kemarin beberapa nyawa siap melayang bersama keluarnya darah umat manusia. Ya, manusia.

Apa pun alasannya (politik, agama, ekonomi, konflik pribadi) pembacokan di Gereja St. Lidwina adalah kriminal. Apalagi ini korbannya umat beragama yang sedang menggunakan hak asasi dan hak kewarganegaraannya untuk beribadah. Perbuatannya tak hanya dosa antarumat manusia, namun juga tindakan kriminal terhadap sesama warga negara.

Kalau peristiwa itu bermotif agama, jelas akan merusak hubungan antarumat beragama. Ini akan meningkatkan semangat para kriminal lain sejenis sekaligus rasa permusuhan para fundamentalis di kubu yang “berseberangan”. Syukurlah, dari para pengurus gereja dan jemaat yang saya temui di Bedog, tidak tampak sikap permusuhan ataupun sekadar kemarahan. Yang diucapkan adalah rasa terima kasih karena saya yang sarungan dan istri yang berjilbab sudah datang ke situ untuk menyampaikan simpati dan sekadar bantu bersih-bersih.

Kalau ini bermotif politik, sungguh bejat! Meskipun saya belum melihat motif ini dari sisi pelaku, tapi saya tidak bisa menghapus dugaan bahwa ada tangan-tangan tak tampak yang menggunakan cara-cara kriminal untuk “mengondisikan” politik. Apalagi kejadian ini bukanlah satu-satunya dalam bulan-bulan terakhir. Penyerangan kiai, pengurus ormas agama, dan intimidasi bhante serta-merta tampak satu rangkaian dengan penyerangan Gereja St. Lidwina.

Istri penulis saat membantu membersihkan sisa kekacauan di Gereja St. Lidwina. Foto milik penulis.

***

Bertolak dari kasus-kasus ini, saya ingin bicara tentang toleransi.

“Toleransi”, meski bermakna baik, kini telah disalahpahami oleh banyak pihak. Yang semula bermakna kebaikan dan keramahan, dipelesetkan seakan bermakna pembiaran terhadap “kemaksiatan”. Orang-orang yang mengampanyekan toleransi kemudian dicap sebagai anti-nahi munkar, liberal, menganggap semua agama sama, sinkretis, bahkan sekuler. Tak heran ada saja orang yang menjadi anti dengan istilah “toleransi”.

Masih untung ada orang yang memaknai toleransi sebagai pembiaran. “Biarkan orang lain beribadah sesuai agamanya, jangan diurusin,” kira-kira begitu. Ini lumayan, tapi belum cukup untuk menyelesaikan persoalan bangsa yang seabrek gambreng.

Agar lebih solutif, Kuntowijoyo pernah mengatakan, toleransi harus dilanjutkan dengan kerja sama atau koperasi. Kerja sama satu langkah lebih maju dari toleransi karena di dalamnya sudah terangkum makna toleransi. Kerja sama bukan hanya saling peduli masalah satu sama lain, tetapi juga peduli pada persoalan yang harus diselesaikan bersama.

Untuk itu, umat beragama harus berada dalam front yang sama untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Front yang terbentuk bukan lagi “aku versus kamu’, tapi “kita versus X” di mana kita adalah umat beragama dan X bisa diganti dengan masalah kemiskinan, kebodohan, pembangunan, keadilan, keterbelakangan, alienasi, dan persoalan kemanusiaan pada umumnya. Dengan demikian, agama-agama sebagai kekayaan bersama bangsa dan kemanusiaan menjadi modal besar untuk kerja sama.

Memang tidak mudah. Langkah pertama yang amat berat dilakukan adalah meminimalisir kecurigaan-kecurigaan antarumat beragama. Sudah lazim bahwa ekspansi agama dalam bentuk apa pun pasti menimbulkan riak-riak bahkan konflik. Islamisasi dan kristenisasi bisa jadi contoh. Untuk itu sudah lahir aturan main dalam bentuk hukum. Nah, sekarang tinggal usaha-usaha lain dari sisi etik. Menggunakan analogi dalam aspek keselamatan di sebuah gedung, bila hukum adalah “emergency exit“, etik adalah rambu-rambu keselamatan. Nah, etik ini dalam kultur kita ada dalam konsep tepa selira, asah-asih-asuh, dsb.

Kisah Arif Nur Kholis soal misi kemanusiaan Muhammadiyah Disaster Management Center di area penduduk terdampak bencana dengan mayoritas penduduk non-muslim, yang dikutip Iqbal Aji Daryono dalam tulisannya, dapat menjadi contoh kapan etika menjadi panduan.

Nah, tepa selira toleransi ini saatnya kita tingkatkan menjadi guyub, gotong royong, kerja sama. Ini dicontohkan oleh Muhammadiyah dengan dr. Sudibyo Markus sebagai motornya yang menginisiasi Humanitarian Forum Internasional dan Humanitarian Forum Indonesia yang berisi lembaga-lembaga kemanusiaan lintas agama. HFI bekerja sama dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan kemanusiaan khususnya bencana. Di mana ada bencana, HFI ada untuk membantu. Contoh teknis kecil, bila ada isu pelanggaran hukum soal penyebaran agama di area terdampak bencana, HFI sangat berperan dalam klarifikasi dan solusi. Jadi sudah ada buktinya.

Beda agama dan kerja sama? Bisa!

Exit mobile version