Derita Orang Tua, Jadi Asisten Guru dan Teknisi IT Dadakan gegara School from Home

orang tua wfh belajar jarak jauh belajar dari rumah gaptek repot bingung nemenin anak sekolah di rumah mojok.co

orang tua wfh belajar jarak jauh belajar dari rumah gaptek repot bingung nemenin anak sekolah di rumah mojok.co

MOJOK.COSegala teknologi pendidikan jarak jauh bikin anak saya bingung, orang tua juga bingung. Mau nyalahin guru juga nggak pantes. Duh wabah, buruan kelar ya, ya?

Ada macam-macam alasan orang tua ketika memasukan anak ke sekolah ketimbang mengajar sendiri di rumah (homeschooling). Alasan saya pribadi, karena sadar saya nggak pinter-pinter amat. Sejak jaman sekolah, saya benci matematika, fisika, dan kimia. Dulu saya lulus dengan nilai pas-pasan. Saya yakin sekali, jika sekarang saya disuruh mengerjakan soal matematika, fisika, dan kimia, pasti gagal. Saya berharap, sekolah akan mengajarkan semua itu ke anak saya. Tetapi semua berubah ketika wabah Covid-19 melanda.

Sebagai warga negara yang baik dan sebagai manusia yang selalu ingin sehat walafiat, saya berusaha mengikuti apa pun yang pemerintah sarankan sebagai pencegahan Covid-19: memakai masker, sering cuci tangan dengan sabun, juga melakukan social distancing yang sekarang istilahnya diganti jadi physical distancing. Di saat banyak perusahaan lain tidak membolehkan karyawannya untuk work from home (WFH), kantor saya sangat patuh dengan peraturan dan anjuran pemerintah tentang WFH , membuat saya merasa beruntung.

 Tak cuma saya yang harus stay at home, begitu juga anak-anak yang rentan tertular Covid-19. Seperti ditegaskan Mas Menteri di pertengahan Maret lalu, aktivitas belajar di sekolah maupun perguruan tinggi dilakukan di rumah saja. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan memanfaatkan segala teknologi yang sudah pesat.

Dalam hal ini, kita wajib berterima kasih pada perkembangan teknologi yang mempermudah informasi tiba ke kita. Jika bukan karena media sosial, saya tidak akan pernah tahu bahwa lagu “Happy Birthday” itu durasinya 20 detik, yang berarti sama dengan durasi minimal mencuci tangan dengan sabun. YouTube juga mengajarkan beragam alternatif membuat cairan disinfektan maupun masker pelindung wajah, ketika barang-barang itu sudah habis di pasar. E-commerce, kurir, dan ojek online menjadi pahlawan sejati yang bisa mengantarkan segala kebutuhan. Hidup di rumah terasa mudah dan nyaman, meski di luar sana penuh ketakutan. Paling-paling musuh utama semua orang yang sedang dikarantina tidak lain dan tak bukan adalah kebosanan.

Buat saya, musuh itu sekarang bertambah.

Saya yang termasuk gaptek ini “dipaksa” mengenal berbagai aplikasi baru agar kegiatan bekerja (untuk saya) dan belajar-mengajar (untuk anak saya) tetap berjalan. Jika selama ini paling banter saya menggunakan Google Hangouts untuk conference call, kini saya mesti berkenalan dengan Zoom dan Ding Talk. Dua aplikasi ini selain untuk conference call, juga bisa digunakan untuk mengirim gambar, menulis/mencoret seperti di papan tulis, juga untuk check-in presensi.

Anak saya yang bersekolah di SD swasta menggunakan lebih banyak aplikasi. Zoom, Padlet, Pearson, Learning Management System (LMS), YouTube, dan Global Talk adalah enam aplikasi yang dia gunakan. Selain kami (para orang tua) juga masih menggunakan grup chat di WhatsApp dan SIAD, aplikasi internal sekolah untuk komunikasi guru dan wali murid. Banyak amat? Iya, banyak….

Begini jadwal anak saya selama sekolah di rumah.

Setiap pagi jam 8 guru akan mengirimkan link Zoom di mana murid akan bertatap muka sekitar 30 menit. Biasanya mereka akan membaca doa pagi dan berbincang kecil, juga mengulang sedikit pelajaran. Setelah itu guru akan mengirimkan link melalui Padlet atau LMS (tergantung mana yang digunakan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan). Di sini guru akan memberikan link YouTube untuk menyampaikan materi pelajaran yang sebelumnya sudah direkam video. Layaknya youtuber, para guru berbicara di depan kamera dan bisa mempresentasikan semenarik mungkin untuk menjelaskan mata pelajaran. Lalu, kita akan kembali ke ke Padlet/LMS dan mengunduh worksheet yang biasanya berupa Microsoft Word, Excel, atau PowerPoint. Setelah selesai dikerjakan, worksheet harus diunggah lagi ke Padlet/LMS. Pada jam 12, anak akan diminta masuk lagi ke Zoom untuk menutup kegiatan belajar mengajar hari itu. Jelas, anak-anak?

Secanggih-canggih kedengarannya penjelasan di atas, sebenarnya tidak sesederhana itu. Sebab, pada prakteknya anak akan bertanya bolak-balik ke orang tua. Pertama, mengenai teknologi yang juga asing bagi mereka. Kedua, mengenai pelajaran, sebab kita orang tua adalah satu-satunya orang yang bisa ditanya mengenai hal itu, bukan guru. Dan sejujurnya, dua hal ini juga bukan hal yang saya kuasai sepenuhnya.

Sejak banyak orang mengarantina diri sendiri, entah kenapa wifi di rumah juga melambat. Mungkin ada kaitannya dengan persentase penggunaan wifi rumahan yang mendadak naik. Jadi kadang-kadang, seperti orang yang ikutan TikTok tapi kurang latihan, gerak bibir dan audio tidak pas alias enggak nge-sync. Informasi yang didapat sudah pasti tidak sampai dengan sempurna. Ada juga audio yang putus-putus atau layar yang nge-freeze, dan ini bagian paling menyebalkan.

Belum lagi worksheet yang harus di-download itu. Tahukan kamu, bahwa secanggih-canggihnya laptop yang kamu punya, jika tidak selevel dengan laptop yang digunakan guru-guru, kemungkinan hasil download-anmu akan berbeda? Tahu-tahu ada gambar di worksheet yang tidak nongol, atau jenis huruf yang berbeda/hilang, dan bahkan layout kolom-kolom pertanyaan menjadi berantakan. Siapa yang akan ditanya oleh anak? Sudah pasti kita: para orang tua. Kalau sudah begini, saya biasanya menghubungi guru melalui WhatsAap dan menjelaskan keadaan worksheet yang kami dapat seperti apa.

Di atas, saya baru menjelaskan penggunaan Zoom, Padlet, dan LMS. Untuk aplikasi lain, yaitu Global Talk, ini digunakan untuk les pelajaran tambahan. Beberapa kali saya kesulitan masuk ke Global Talk, bahkan IP server dianggap tak ada. Akibatnya, waktu les terbuang 15 menit hanya untuk utak-atik laptop. Di situlah saya merasa usus saya yang pendek ini makin pendek cuma gara-gara mengurus teknologi yang katanya canggih.

Seperti saya bilang di awal, saya menyekolahkan anak  karena saya tidak menguasai pelajaran. Kalau saya jenius dan punya kesabaran tingkat dewa, saya mungkin sudah meng-homeschooling-kan anak saya. Tapi apalah saya ini… cuma emak-emak ber-IQ standar yang gara-gara kebanyakan beban hidup maka sudah lupa pelajaran sekolah. Bisa bayangkan, saya yang benci matematika ini harus menjelaskan ke anak. Nah, gara-gara sekolah di rumah, saya dipaksa belajar lagi. Sebab lagi-lagi, jika ada pertanyaan, ya cuma kami orang tua yang bisa ditanya oleh anak, bukan guru.

Minggu pertama anak sekolah di rumah, para orang tua di media sosial mengungkapkan betapa seharusnya guru mendapat gaji yang jauh lebih besar, sebab ternyata mendidik dan mengajar itu susah. Mulai memasuki minggu ke-3 karantina  dan kegilaan mulai melanda kepala manusia yang dipaksa asosial, para orang tua (kebanyakan di sosial media) mulai mengeluh bahwa keenakan para guru yang tak benar-benar mengajar dan seharusnya gajinya dikurangi saja. Terlebih lagi, sebagai emak-emak yang kebanyakan perhitungan kalau soal pengeluaran, tentu tidak cuma menghitung biaya SPP yang tak berkurang, juga biaya listrik dan internet yang justru membengkak.

Banyak hal yang masih menjadi PR di dunia pendidikan Indonesia sebelum terimbas Covid-19. Ketika Mas Menteri terpilih dan diharapkan bisa mengatasi PR itu dengan kebijakannya yang kekinian, justru Covid-19 menerjang. Jadi, otomatis PR di dunia pendidikan makin banyak. Tetapi, saya tidak akan membicarakan politik di sini atau menyalahkan siapa pun. Satu hal yang patut kita syukuri di saat-saat seperti ini ialah kepedulian para guru untuk terus mendidik dan mengajar muridnya dengan kondisi terbatas. Ada beberapa guru yang terpaksa beli kredit laptop agar bisa tetap mengajar sebab yayasan sekolah tak menyediakannya untuk guru. Tetapi mereka tetap dituntut untuk mengajar agar bon SPP bisa tetap ditagih ke orang tua murid.

Karena anak saya sekolah swasta, para guru, murid, dan orangtua muridnya mayoritas melek teknologi. Di sekolah negeri, keadaan justru sebaliknya. Selain tak melek teknologi, juga banyak orang tua dan guru yang tidak mampu membeli laptop atau hape yang lebih canggih untuk mendudukung semua aplikasi di atas. Akibatnya kegiatan belajar-mengajar terhenti dan hanya dilakukan sebisanya dengan cara manual. Misalnya, diberi setumpuk tugas yang harus diselesaikan selama karantina. Kemungkinan besar, anak akan cuek dengan semua tugas-tugas itu sebab tak ada pengawasan dari siapa pun. Namanya juga bocah. Tapi jika boleh saya berpendapat, swasta ataupun negeri, tidak ada guru yang patut dikurangi gajinya sebab dianggap tak bekerja. Saya tidak punya kata-kata bijak untuk menutup opini yang lebih pas disebut keluh kesah ini. (Jika ingin kata-kata bijak, silakan buka Instagram dan cari quote yang sesuai dengan suasana hati masing-masing.) Sebagai manusia, seperti semua orang di dunia, saya cuma berharap wabah Covid-19 cepat berlalu. Sebab, cuma itu yang bisa membuat keadaan menjadi normal kembali.

BACA JUGA Lebaran dan Ingatan tentang Orang Terkasih yang Sudah Berpulang Mendahului Kita dan esai RATIH KUMALA lainnya.

Exit mobile version