MOJOK.CO – Menlu Amerika coba ngompor-ngompori NU agar ikut sebel sama Cina. Isu Uighur coba dimainkan supaya Amerika punya temen di Indonesia.
Sekitar seminggu sebelum Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika, Mike Pompeo, ke Indonesia dan bertamu ke GP Ansor (29/10), saya dikontak akademisi salah satu lembaga think tank milik Pemerintah Cina. Ia menanyai saya apa saja strategi Amerika untuk membendung (containment) kebangkitan Cina.
“Di Asia Tenggara memainkan Laut Cina Selatan. Di Asia Timur Laut memainkan Taiwan, Jepang, dan Korea. Di Asia Selatan memainkan India. Di Asia Barat memainkan Uighur.”
Demikian jawaban saya. Simpel.
Tetapi, karena ia tahu saya meneliti Uighur, ia meminta saya untuk mengelaborasi lebih lanjut soal itu.
“Yang paling murah meriah adalah memainkan isu Uighur. Karena akan mendobrak batas-batas geografis dengan praktis. Gampangnya begini: TKP-nya di Xinjiang, diberitakan oleh Radio Free Asia bikinan CIA, yang demo orang Indonesia.”
Saya menjawab setengah guyon begitu.
Ia kirim balasan, “Hahaha…,” yang lantas ditutup dengan pernyataan, “analisismu selalu tak biasa!”
Ini satire belaka, saya kira.
Beberapa hari kemudian, ada orang yang mengontak saya lagi. Kali ini peneliti dari Indonesia. Ia bilang sedang mencari tahu apa yang akan dibicarakan Pompeo saat di GP Ansor.
Kendati saya yakin Pompeo akan membahas masalah Uighur untuk membangun koalisi anti-Cina, saya tak langsung menanggapinya. Saya bergegas menghubungi beberapa kawan yang menurut saya tahu banyak tentang kuatnya daya tawar NU sekaligus sengitnya rivalitas Cina versus Amerika. Pandangan kami sama persis, ternyata.
Dan terbukti, Pompeo di GP Ansor memang mengalokasikan waktu yang cukup panjang untuk membahas perkara Uighur dan Pemerintah Cina. Saya mengikuti dari awal sampai akhir pidatonya. Benar-benar ceramah yang mukadimahnya moralis tapi ujung-ujungnya banting setir menyeru NU bersuara lantang terhadap Pemerintah Cina yang komunis.
Saya cepat-cepat mencatat pernyataan-pernyataan pamungkasnya di laptop saya yang, sialnya, adalah produk Amerika tapi saya beli di Cina.
(((produk Amerika tapi beli di Cinaaa))).
“Partai Komunis Cina adalah ancaman paling mematikan (the gravest threat) terhadap kebebasan beragama di masa depan,” tegas Pompeo.
“Partai Komunis Cina yang ateis telah mencoba meyakinkan dunia bahwa kebrutalan mereka terhadap muslim Uighur di Xinjiang adalah diperlukan sebagai bagian ikhtiarnya untuk melawan terorisme dan pengentasan kemiskinan,” sindir Pompeo.
“Saya tahu Partai Komunis Cina telah mencoba membujuk orang-orang Indonesia untuk memalingkan muka dari siksaan yang sedang diderita saudara muslim kalian,” singgung Pompeo.
“Tapi tanyakan pada hati nuranimu. Lihatlah fakta. Pikirkan bagaimana pemerintahan otoriter memperlakukan mereka yang menentang kekuasaannya,” suruh Pompeo.
Sebagai wujud ketaatan saya pada titahnya, saya seketika membayangkan kelakuan daripada suatu rezim yang puluhan tahun di-backing Amerika setelah kudeta merangkak 1965.
Dan, dari situ saya menjadi mafhum kenapa Pompeo memilih GP Ansor sebagai panggung untuk menggelorakan perlawanan terhadap pemerintah komunis Cina.
Benang merahnya bisa ditarik dari Intelligence Memorandum No. 1591/66 yang dibuat Direktorat Intelijen CIA pada 23 Juli 1966. Dokumen rahasia (secret) yang telah dideklasifikasi ini berjudul Political Forces in Indonesia, alias Kekuatan-Kekuatan Politik di Indonesia.
Jika Bung dan Nona punya salinan produk telik sandi dimaksud, sila tengok halaman 6 poin 17 sejak baris ketiga dari atas. Di sana, CIA jelas mengakui bahwa GP Ansor adalah organisasi kepemudaan NU “yang paling aktif” (the most active) di antara sayap-sayap NU yang lainnya.
Paling aktif ngapain?
Berikut saya kutipkan kalimat utuhnya:
“ANSOR … in precoup days took a more forthright anti-Communist position than did its parent organization. In the postcoup period, ANSOR assisted the army in the Communist purge and in many instances pursued a Communist blood-letting campaign on its own.”
Terjemahan ugal-ugalannya:
“Sebelum kudeta [1965] ANSOR … mengambil posisi anti-Komunis yang lebih blak-blakan ketimbang organisasi induknya. Setelah kudeta [1965], ANSOR membantu tentara dalam …”
Saya cukupkan sampai di situ, ya, alih bahasa dari saya. Untuk kalimat setelahnya, Bung dan Nona lanjut bertanya ke Mbah Gugel saja. Pemuda dilarang manja. Nanti Bu Mega kecewa.
Artinya apa?
Artinya Amerika mengacungi jempol terhadap militansi GP Ansor dalam menentang bahaya laten apa yang oleh seorang penyair gaek sebut sebagai “Marxisma, Leninisma, Stalinisma, dan Maoisma” itu.
Bahkan, dalam hal ini GP Ansor dielu-elukan lebih jorjoran ketimbang NU (kendati NU merupakan ibu kandungnya). Padahal, dalam tradisi pesantren, anak mesti tunduk pada orang tua; santri mesti sendiko dawuh pada kiai.
Sebagai bekas orang nomor satu CIA, Pompeo tentu paham betul kekuatan GP Ansor itu. Makanya, sebisa mungkin dia akan mencari cara untuk menghidupkan kembali romantisme historis tersebut.
Eureka!
Ketika Amerika tengah gencar-gencarnya mengampanyekan konsep “Unalienable Rights” godokan sebuah komisi yang dibentuk Pompeo pada 2019, ketemulah mereka dengan ide “Humanitarian Islam” yang digaungkan GP Ansor sejak 2016 ini.
Bung dan Nona sekalian pasti paham, dua gagasan ini sama-sama menekankan pada penghormatan setinggi-tingginya terhadap keberagaman dan kebebasan beragama. Klop sekali, bukan?
Nah, kesamaan spirit yang ditopang oleh kenangan manis masa lalu itulah yang sekarang kayaknya coba diakumulasi (kalau bukan dieksploitasi) Amerika untuk menjadikan GP Ansor sebagai proksinya dalam mencekal kebangkitan negara komunis nan kuat plus tajir bernama Cina.
Naga-naganya, Amerika hendak memakai taktik klasik: membenturkan kelompok Islam dengan kaum komunis yang—kata Pompeo—ateis itu. Sebuah modus operandi yang sukses besar pada 1965, namun sepertinya akan mejan, gagal meletus, untuk saat ini.
Buktinya, Ketum PBNU K.H. Said Aqil Siradj enggan hadir ketika Pompeo sowan ke GP Ansor. Beliau lebih memilih menepi di Masjid Istiqlal untuk merayakan Maulid Nabi dan menggelar doa keselamatan bagi bangsa yang sudah kelewat sering teradu domba ini.
Manuver yang bijaksana, tapi berisiko dibaca sebagai langkah memihak Cina.
Walakin, tak masalah. NU yang terkesan bersimpati kepada Cina itu mungkin semata karena apa yang kini menjadi problem serius Indonesia mirip dengan yang dihadapi Cina: radikalisme agama.
Jalan keluar yang ditawarkan pun persis: bagaimana agar para pemeluk agama berpaham radikal ini bisa lebih toleran, inklusif, dan akomodatif terhadap kebudayaan negerinya tinggal.
NU menyebut upaya deradikalisasinya itu sebagai pribumisasi, Cina menamainya “Sinoisasi” (Zhongguohua), Amerika? Melakukannya dengan provokasi, agitasi, dan propaganda di mana-mana.
Eh, yang terkhusus Amerika ini bukan kata-kata saya loh ya. Itu saya peras dari pernyataan keras Dubes Cina di Jakarta.
BACA JUGA Ngobrol bareng Dahlan Iskan: Bicara Cina, ‘Komunisme Kaki Empat’, dan Uighur dan tulisan Novi Basuki lainnya.