MOJOK.CO – Bukan salah Jokowi kalau ada warga yang diciduk polisi virtual karena mengolok-olok Mas Gibran.
Saya prihatin. Bukan, bukan karena apa yang menimpa Partai Demokrat, tapi prihatin kok bisa dan kok ada orang yang menuduh Gibran Rakabuming Raka, dapat jabatan Walikota Surakarta karena “pemberian”.
Tuduhan semena-mena ini berasal dari unggahan komentar berinisial akun @arkham_87 yang mengomentari permintaan Gibran Rakabuming Raka ketika minta semifinal dan final Menpora digelar di Solo.
“Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja,” ujar akun @arkham_87.
Lho, lho, lho, enak aja. Gibran ini kan bukan anak ketua dewan pembina partai, Pak Jokowi juga cuma petugas partai, ini gimana ceritanya Gibran dituduh diberi jabatan?
Untuk itulah saya dukung sikap tegas patrol Virtual Police, yang di tengah maraknya aksi penipuan hotline bank dan teror pinjaman online, dengan sigap bisa menciduk pria berinisial AM, warga Slawi, Jawa Tengah, yang mengolok-olok Kangmas Gibran Rakabuming Raka (meski tanpa laporan dari korban).
Saya sepakat dengan pernyataan Kapolresta Surakarta Kombes Pol. Ade Safri Simanjuntak, yang menyebut bahwa unggahan AM tersebut sebagai hoaks dan menyakiti banyak orang.
“Komentar tersebut sangat mencederai KPU, Bawaslu, TNI, Polri, dan seluruh masyarakat Kota Solo yang telah menyelenggarakan Pilkada langsung sesuai UUD 1945,” kata Ade.
Saya pikir ya nggak cuma orang Solo, KPU, Bawaslu, TNI, Polri, tapi juga setiap orang di Indonesia juga bisa merasa cedera.
Mulai dari tukang becak, bakul serabi, kuli bangunan, anggota DPRD, warga negara asing, pipa paralon, penguasaha bitcoin, hingga seleb tiktok juga berhak merasa cidera. Lha gimana, enak aja nuduh orang fafifu wasweswos tanpa bukti gitu.
Kabar baiknya, polisi virtual di Indonesia ini baik-baik, sesuai arahan daripada Pakde Jokowi. Nyatanya, meski telah melakukan penghinaan, Pak Polisi tidak menangkap secara sembarangan. AM hanya diminta membuat video permohonan maaf yang kemudian disebar Instagram Polresta Surakarta.
Ya beda ya sama Dandhy Dwi Laksono atau Ananda Badudu, mereka kan secara sah dan meyakinkan berbahaya, jadi mesti ditahan dulu. Ini dia restorative justice! Hukuman yang tidak menghinakan.
Hanya di bawah kepemimpinan Pakde Jokowi, warga yang mengkritik penguasa tidak dihukum. Paling banter juga cuma disuruh minta maaf doang kayak si AM ini kok. Mana ada orang yang diancam, ditangkap, apalagi dipenjara di bawah masa pemerintahan Pakde Jokowi karena kritik? Kan nggak ada.
Malah beberapa waktu lalu Pakde membuat pernyataan sikap yang jelas soal UU ITE.
“Negara kita adalah negara demokrasi, yang menghormati kebebasan berpendapat dan berorganisasi, negara kita adalah negara hukum yang harus menjalankan hukum seadil-adilnya, melindungi kepentingan lebih luas dan menjamin rasa keadilan masyarakat,” katanya.
Kalo kemudian draft UU ITE tidak masuk Prolegnas untuk direvisi, ya bukan salah Pakde. Kalo kemudian ada Polisi Virtual yang bisa patroli online menafsirkan adanya penghinaan ke pejabat pemerintah, ya bukan salah Pakde juga dong.
Kita ini harus bijak dalam bersikap. Nggak semua hal ini jadi urusan Pakde. Masak urusan Mas Gibran di-ece, terus dikit-dikit dikaitkan dengan Pakde Jokowi? Kan yang nangkap bukan Pakde Jokowi, yang nyuruh bikin permintaan maaf juga bukan beliau, mau apa sih sebenarnya kok sukanya nyalahin Pakde?
Mungkin ini semua bisa terjadi karena kita semua nggak mau belajar dari pakdenya Pakde, yaitu Pak Soeharto.
Beliau pernah berkata dalam mengkritik, “Harus mengindahkan sopan santun. Di mana-mana etika itu ada. Nah, Demokrasi Pancasila juga ada etikanya. Etikanya ya yang saya sebutkan bermutu itu.”
Sudahkah kita sebagai warga negara ini mengkritik dengan etika kepada Pakde Jokowi atau Mas Gibran?
Misalnya soal keputusan Pakde Jokowi yang mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Daripada memaki, menghina, atau mengkritik apa tidak sebaiknya mencari tahu alasan beliau terlebih dahulu? Ini kan etikanya, kita harus punya niat baik pada pemerintah, mereka ini sudah berusaha sebaik mungkin lho dalam menyejahterakan pengusaha rakyat.
Saya lihat, ngapain sih itu mereka-mereka yang menolak Omnibus Law, menolak KUHP, menolak UU Minerba, aduh kejam sekali sih sama Pakde Jokowi. Kalau nggak suka dan nggak setuju kan harus pakai etika. Nggak perlu demo-demo. Jadi rakyat kok ngeluh aja bisanya.
Lagian mana mungkin sih pemerintahan Pakde yang telah memenuhi janji menuntaskan Nawa Cita ini berbohong?
Sudah betul kita belajar kata-kata mutiara dari pemimpin besar nan demokratis Indonesia, Pak Harto. Beliau pernah bilang, “Banyak orang yang mengritik dan yang sok ngritik. Yang dapat kritikan terlalu banyak itu saya,” kata Soeharto.
Ini mengapa kita perlu kembali ke ajaran Orde Baru. Kritik yang baik adalah kritik yang membangun. Membangun kodim di Papua atau membangun polisi virtual untuk mengawasi warga. Semua ini adalah bentuk pengejawantahan daripada Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Jangan-jangan nanti kalau penanganan Covid gagal, yang disalahkan Pakde Jokowi? Atau jangan-jangan jika tata kelola pemerintahan amburadul dan indeks demokrasi turun karena pemenjaraan aktivis yang disalahkan Pakde juga lagi?
Mbok mikir, Bos! Pakde Jokowi itu presiden, bukan pekerja palugada.
Jadi saran saya, sudahilah menyangkut-pautkan kasus orang Slawi yang diciduk polisi virtual ini dengan Pakde Jokowi. Pakde Jokowi dan Mas Gibran ini kan dua-duanya orang yang konsisten, santun, dan bersetia pada kata-kata. Mana pernah mereka menjilat daripada omongannya sendiri?
Mereka juga selalu jujur dan bisa dipegang di segala bidang. Makanya, kita sebagai bangsa tolong berhenti saling menyalahkan dan berkubu, apalagi terus-menerus menjelekkan apapun yang terkait sama keluarga Pakde Jokowi begini.
Duh, kapan majunya bangsa ini kalau urusan pemerintah malah jadi rasan-rasan keluarga begini?
Kadang-kadang saya suka mikir, kita ini lama-lama kok jadi tak bisa membedakan mana Pakde Jokowi sebagai Presiden RI dengan Pakde Jokowi sebagai bapaknya Mas gibran.
Masak urusan remeh-temeh soal terpilihnya Mas Gibran di Solo aja dikait-kaitkan sama Pakde? Padahal kan nggak ada hubungannya.
Ini semua cuma kebetulan aja kok. Kebetulan aja partainya Mas Gibran dan Pakde Jokowi itu sama, kebetulan aja kok ndilalah Mas Gibran yang terpilih jadi Walikota Solo, dan kebetulan aja Mas Gibran itu anaknya presiden.
Jadi plis, jangan salahkan Mas Gibran dan Pakde Jokowi. Lebih baik, salahkan diri kita sendiri.
BACA JUGA Surat Terbuka untuk Jokowi usai Anak dan Mantu Menangi Pilkada atau tulisan Arman Dhani lainnya.