Budaya Kita adalah Melarang Warung Makan Buka Saat Puasa

MOJOK.CO Katanya, puasa itu menahan diri dari hawa nafsu dan godaan. Tapi, warung makan buka saat puasa, kok, malah dilarang? Situ gampang tergoda, ya? Hmm?

Lupakan falling in love with people we can’t have, budaya kita adalah melarang warung makan buka saat puasa siang hari di bulan Ramadan. Yah, bukan kita semua, sih. Tapi, ada beberapa kepala daerah yang sudah “mengimbau”, bahkan melarang dengan Perda khusus.

Perda yang diberlakukan khusus pada bulan Ramadan ini sudah ada sejak bertahun-tahun lalu dan tersebar di beberapa daerah se-Indonesia, mulai dari Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lombok, hingga Kalimantan Selatan. Peraturan dan imbauan tersebut juga bermacam-macam jenisnya: ada yang benar-benar meminta warung makan tutup pada pukul 5 pagi hingga pukul 5 sore atau pada waktu-waktu tertentu, ada pula yang memperbolehkan warung makan tetap buka asal tertutup gorden. Jadi, mau dibuka atau tutup, nih, Pak? Genaeh!

Saya sendiri menyaksikan Rumah Makan Padang di dekat rumah sudah menutup etalasenya dengan kain hijau sejak masa tarawih pertama (5 Mei 2019). Padahal, kalau ketutupan gorden atau kain, bukannya malah lebih enak, ya, mokel-nya? Hihihi.

Yah, coba saja kalau nggak usah ditutup; netizen pasti semangat menyebar kebaikan dengan cara memviralkan siapa saja yang ketahuan curi-curi makan siang saat bulan Ramadan. Efek jeranya lebih yahud: nggak jadi kepingin mokel.

Tapi, karena nggak ada perlawanan berarti dari pihak manapun, warung-warung makan ini pun mau nggak mau harus patuh. Lah, daripada kena sanksi berupa kurungan penjara dan denda puluhan juta rupiah? Nggak cuan! Melalui munculnya imbauan-imbauan ini, para pemilik warung makan juga kayaknya nggak mau ambil pusing, meski sebenarnya mereka masih boleh agak “nggak nurut” dikit. Mending cari aman deh, daripada kena “razia”.

Ini sungguh hal yang aneh dan wagu, sebab pernah ada masa di mana warung makan buka saat puasa dan semuanya baik-baik saja. Itu pertama. Kedua, di Indonesia ada banyak agama selain Islam. Para pemeluknya tidak bisa memelukmu meski kamu menginginkannya tidak puasa di bulan Ramadan.

Ada pula muslimah yang mengalami siklus haid. Juga ada muslim yang tidak berpuasa karena keadaan tertentu. Mereka-mereka ini bergantung pada ketersediaan pangan di warung makan. Lah, kalau semuanya tutup, mau beli makan di mana, coba?

Katanya, tujuan berpuasa ialah menahan diri dari (menuruti) hawa nafsu dan godaan. Padahal jika makanan termasuk sesuatu yang menggoda dan memancing hawa nafsu, di situlah tantangan sesungguhnya! Seberapa kuat, sih, kita berpuasa ketika aroma rendang menusuk penciuman? Seberapa tangguh puasa kita saat asap sate menembus kaca helm? Seberapa tahan kita dari godaan berupa denting sendok dan mangkuk penjual es dawet yang tak henti memanggil???

Anehnya, peraturan atau imbauan pemerintah untuk menutup warung makan pada siang hari selama bulan Ramadan jarang sekali mendapat penolakan dari warga muslim apalagi pemeluk agama lain karena takut dikira menista agama. Padahal nih, ya, bisa jadi makanan itu tantangan yang bikin pahala bertambah (jika kuat bertahan), seperti jumlah langkah seorang muslim ke masjid: makin jauh jaraknya, makin banyak pahalanya.

Sungguh, lama-lama ini bakal jadi budaya, padahal nggak sehat kalau dipelihara terus menerus. Tuman! Jangan-jangan, budaya ini muncul dari kebiasaan waktu kecil—yang kalau jatuh, lantainya disalahin; kalau kepentok, mejanya yang dibilang nakal. Padahal, salah sendiri nggak hati-hati.

Jangan-jangan, kebiasaan itu juga yang bikin budaya victim blaming masih kuat di negeri +62 ini. Kalau ada pemerkosaan, salahkan korbannya karena pakai baju begini begitu, jalan sendiri malam hari di tempat sepi, dan seterusnya. Intinya, kesalahan itu datang dari luar. Eksternal.

Padahal, korban perkosaan juga banyak yang berbaju rapat dan longgar serta berperilaku sopan. Padahal, kalau hasrat seksualnya diatur, bisa kok nggak memerkosa.

Ini juga barangkali yang bikin wacana anti asing dan aseng laris manis. Soalnya, asing dan aseng dari luar. Kalau orang-orang yang dikategorikan asing dan aseng bertempat tinggal di Indonesia lalu sukses, kita jadi marah dan iri hati, menganggap mereka mencuri kekayaan dari tanah air, apapun bentuknya: SDA maupun SDM.

Padahal, bisa jadi usaha mereka lebih besar, mereka tidur lebih malam, bangun lebih pagi, bekerja sungguh-sungguh, rajin menabung, dan tidak sombong. Mereka nggak bersikap kayak kita yang kerjaannya cuma bangun siang-scroll timeline-kerja sebisanya-balik-scroll timeline-tidur, nggak pernah nabung, dan sombong pula kalau habis nonton film atau konser!

Asing, aseng, dan lokal—seluruhnya punya kesempatan yang sama untuk sukses. Yang membedakan hanya niat dan usahanya saja, di luar variabel privilege karena, kalau itu dibahas, pasti bakal panjang banget.

Kita jarang mau menengok ke dalam diri, melakukan introspeksi dan refleksi, lalu bertanya: apa yang salah? Bisakah diperbaiki? Bagaimana caranya? Alih-alih menyadari kesalahan diri, kita justru sibuk menyalahkan keadaan, bahkan orang lain. Alih-alih belajar menahan hawa nafsu, kita malah menyuruh “penyedia barang yang menggoda nafsu” untuk hilang sementara.

Padahal, kan, semuanya kembali ke diri masing-masing. Sebesar apapun godaannya, kalau niat dan komitmen untuk menahan sudah bulat, pasti bisa dilewati.

Gini deh, kalau ada tetangga lagi masak, baunya sampai ke rumah kita dan itu uenak buanget, lantas apa kita berhak gedor-gedor pintu rumahnya dan minta ia berhenti masak hanya karena kita ingin mencicipi makanannya? Nggak, kan? Malah, kita yang harusnya menarik napas dalam-dalam, puk-puk perut yang sudah keroncongan, lalu bersabar menunggu waktu berbuka puasa.

Lagipula, waktu puasa di Indonesia termasuk yang terpendek di dunia, yakni 13-14 jam. Coba bayangkan yang puasa sampai 20 jam bahkan lebih. Yakin hal ini bakal selesai cuma dengan melarang warung makan buka saat puasa?

Tenanglah, puasamu nggak bakal langsung batal hanya karena tergoda aroma makanan enak. Justru di situ intinya inti, core of the core, puasa: menahan. Batalnya, ya, hanya kalau makanan minuman itu sampai masuk ke mulut, ketika godaan itu menang atas pertahananmu.

Tapi, kan, ini soal toleransi!

Duh, toleransi katamu? Toleransi itu membiarkan warung makan buka saat puasa sehingga rezeki mereka tetap mengalir dari orang-orang yang nggak puasa, sekaligus memudahkan orang-orang yang nggak puasa agar mereka tetap menjalani hari seperti biasa, Bosque.

Puasa bertujuan melatih empati kepada saudara-saudara kita yang nggak bisa makan tiga kali sehari, sebagaimana orang-orang pada umumnya. Ah, jangankan tiga kali sehari—satu kali sehari juga sudah alhamdulillah.

Tapi, empati dari mana, coba? Wong mereka-mereka itu pada hari biasa saja melewati banyak warung makan, menengok sejenak, menelan ludah, lalu melanjutkan langkah, dan nggak meminta warungnya ditutup kok!

Dan lagi, kita sering sekali mengucapkan marhaban ya ramadhan untuk menyambut bulan suci ini. Tahukah kamu, marhaban bukan hanya berarti ucapan selamat datang. Akar katanya adalah rahb yang berarti “luas” atau “lapang”.

Maka, marhaban ya ramadhan dapat pula dimaknai sebagai kelapangan hati menyambut bulan Ramadan. Contoh kelapangan hati itu gimana? Ya tentu saja dengan nggak menggerutu hanya karena siang-siang lagi panas, lapar, haus, lalu ditambah dengan keberadaan warung makan buka saat puasa. Hadeeehh.

Meski begitu, saya yakin bahwa umat muslim di Indonesia kuat dan nggak bakal tergoda hanya karena melihat makanan di etalase warung makan pada siang hari bulan Ramadan yang lagi panas-panasnya. Maksud saya, kalau kita sanggup menahan rasa cinta diam-diam bertahun-tahun sampai ditinggal nikah, masa menahan lapar dan haus 13 jam saja keok?

Hah, kita???

Exit mobile version