Orang Bondowoso Mungkin Norak, tapi Nggak Senorak Orang Jakarta ketika Ketemu Sawah

Sikap pandir dan congkak pemberitaan media terhadap daerah lahir karena mereka merasa bahwa Jakarta harus selalu dilayani.

Orang Bondowoso Mungkin Norak, tapi Nggak Senorak Orang Jakarta Saat Ada Tren Baru MOJOK.CO

Ilustrasi Orang Bondowoso Mungkin Norak, tapi Nggak Senorak Orang Jakarta Saat Ada Tren Baru. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COOrang Bondowoso mungkin norak ketika sedang mengantre eskalator. Tapi, mereka tak sampai hati mendaftarkan merek Citayam Fashion Week seperti yang dilakukan orang Jakarta. 

Seno Gumira Ajidarma pernah menulis soal Jakarta. Iya, soal kutipan betapa mengerikannya menjadi tua di Jakarta itu. Kalimat itu dikutip berkali-kali sampai jadi slogan yang menyebalkan. Tapi, ibu kota, meski merepotkan dan menyebalkan, ia tetap jadi mercusuar. Lampu terang yang membuat banyak laron mendekat. Jatuh cinta dengan silaunya cahaya yang ditawarkan.

Meski demikian, ya Jakarta, seperti juga kota-kota besar di dunia, tak jauh beda. Macet, kumuh, penuh bandit, dan sering didramatisasi dengan berlebihan. Tapi tentu saja ada alasan mengapa saya kesal sama Jakarta. Bukan, bukan karena saya gagal berkarier di kota ini, lantas pindah ke Yogyakarta. Semuanya karena media-media ibu kota terlalu pongah dan pandir menulis tentang daerah.

Detik memuat berita dari kontributor mereka di Jawa Timur. Judulnya: “Warga Bondowoso Heboh Saat Lihat Eskalator: Tangga Bisa Jalan Sendiri”. 

Awalnya tak ada masalah. Toh hal serupa juga terjadi di banyak tempat. Orang Jakarta misalnya, pernah melakukan hal serupa saat MRT kali pertama diresmikan. Mereka datang dengan tikar dan bekal untuk merayakan ruang publik gratis. Hal yang lumayan jarang ditemui di Jakarta.

Framing media

Saya sendiri ya tidak keberatan. MRT, Stadion JIS, atau tempat apa saja, selagi bisa diakses masyarakat, gratis, dan tak mewajibkan ada interaksi jual beli layak disambut. Ruang publik semestinya jadi hak warga. Itu mengapa ruang publik seperti stasiun MRT, atau ruang seperti Tebet Ecopark, harus diperbanyak dan dipermudah aksesnya untuk masyarakat yang lebih baik.

Tapi, masalahnya, Detik menulis berita dengan framing seolah warga Bondowoso yang menaiki eskalator dan datang ke mall untuk pertama kalinya, sebagai sesuatu yang mengherankan. Ketika menulis berita orang Bondowoso datang ke mall, Detik menggunakan diksi “tingkah warga.” Tapi, untuk menggambarkan orang Jakarta yang datang ke Tebet Ecopark, Detik menggunakan kata antusiasme, diserbu, dikunjungi, refreshing, tumpah ruah, leyeh-leyeh, healing, dan piknik.

Marah dengan pemilihan judul Detik? Nggak. Mau berharap apa sama media yang komposisi visual iklan lebih besar daripada beritanya? Kesal sih pasti. Dengan dagu tegak ke atas, menuliskan orang-orang Bondowoso sebagai warga yang banyak tingkah, sementara orang Jakarta yang bikin macet sekitaran Tebet Ecopark dengan antusiasme jelas punya bias.

Bias yang terjadi

Dalam jurnalisme, ada yang disebut sebagai jurnalisme parasut. Praktik penugasan jurnalis untuk ke daerah asing. Praktik ini dikritik karena membuat jurnalis yang datang ke daerah asing, akan membuat asumsi yang salah. Bahkan mereka membuat realitas yang ada di lapangan tereduksi karena bias isi kepala.

Masalahnya, Chuk S Widharsa, kontributor Detik, sudah sering menulis berita tentang Bondowoso. Tetapi, mengapa untuk soal mall baru di Bondowoso, berita yang dia tulis mengesankan seolah-olah warga kota ini adalah sekumpulan orang lugu yang tak pernah melihat perkembangan teknologi, sehingga melihat eskalator saja sampai terpukau?

Kita kerap menjual apa yang asing sebagai eksotisme. Padahal, bagi orang lain, dia adalah laku hidup keseharian. Saya ingat bagaimana orang Jakarta membuat program TV Primitive Runaway, yang kemudian diganti jadi Ethnic Runaway. Dengan congkak dan pongah, mereka melabeli orang-orang daerah sebagai primitif, sementara Jakarta sebagai pusat peradaban.

Jakarta, objek yang harus selalu dilayani

Sikap pandir dan congkak pemberitaan media terhadap daerah lahir karena mereka merasa bahwa Jakarta harus selalu dilayani. Kita yang tinggal di daerah harus mau mendengar ocehan pengamat tentang cara mengatasi banjir dan kemacetan di Jakarta, dan daerah seperti Sinabung atau Riau hanya akan masuk berita jika terjadi bencana.

Media, dalam hal ini yang berkantor di Jakarta, bisa memutuskan dengan kepala mendongak bahwa orang-orang Bondowoso sedang bertingkah ketika mereka mencoba eskalator dan membawa bekal ke mall. Tapi untuk orang-orang kaya norak yang datang ke Citayam Fashion Walk, sedang menunjukkan antusiasmenya. Bias pemilihan kata ini lahir dari mana sebenarnya?

Saat orang Jakarta datang ke Jogja atau Solo, mereka bisa berjam-jam melihat bentangan sawah, sembari makan pisang goreng sebagai hal yang luar biasa. Mereka menyebutnya sebagai healing. Sementara bagi orang Bondowoso, duduk melihat sawah saat petang tak perlu harus dilakukan dengan mengambil cuti, cukup jalan kaki ke belakang rumah. Siapa yang lebih miskin dan norak sebenarnya?

Komedian Trevor Noah pernah membuat lelucon tentang orang-orang di Afrika yang mengantre untuk bisa naik eskalator. Dengan gembira, orang Afrika itu merekam diri dengan iPhone keluaran terbaru, memerintahkan sistem kecerdasan buatan Siri untuk memotret aktivitas itu.

Ironi

Trevor Noah sedang menghadirkan ironi. Orang-orang Afrika sudah akrab dengan Siri, kecerdasan buatan yang dibangun dengan teknologi tinggi Apple, sementara mereka tak pernah melihat eskalator. Tapi, lelucon Trevor Noah sebenarnya sedang mengejek orang-orang dengan pemikiran Barat sentris. 

Di Bondowoso, orang mungkin sedang mengantre menaiki eskalator. Tapi, mereka tak akan sampai hati mendaftarkan merek Citayam Fashion Week seperti yang dilakukan orang Jakarta. Setidaknya orang Bondowoso masih punya malu untuk tidak mencuri hak orang lain.

Orang daerah mungkin tak pernah melihat eskalator, mungkin juga tak pernah menaiki lift. Tapi untuk membeli iPhone 14 terbaru dengan teknologi cloud data serta mesin kecerdasan buatan bernama Siri, kami orang Bondowoso hanya butuh satu kali panen tembakau atau satu sapi limosin belaka.

Bagaimana dengan kelas menengah Jakarta? Bisa melakukannya?

BACA JUGA Gaul di Jaksel, Hedon di Jakbar, Nyasar ke Bekasi, Bermacetan di Depok dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Arman Dhani

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version