Salah satu hal yang masih saya ingat ketika dulu ikut kuliah komunikasi dan resolusi konflik adalah kalimat ini: sebagian besar konflik di dunia berawal dari kesalahpahaman atau miskomunikasi. Prinsip ini berlaku tidak hanya untuk konflik antarnegara, tetapi juga konflik receh dengan rekan kantor, teman sepermainan, juga pacar.
Nah, ternyata ramai-ramai blokir Telegram beberapa hari belakangan kalau ditelusuri mulanya juga berasal dari kesalahpahaman. Singkat cerita, banyak teroris menggunakan Telegram untuk berkomunikasi satu sama lain. Kominfo katanya sudah minta Telegram buat memblokir kanal-kanal terorisme di platform-nya. Eh, ternyata email Kominfo tidak dibalas alias didiamkan oleh Telegram. Entah pesannya tidak sampai atau memang sengaja di-read aja.
Ketika tahu bahwa Telegram akan diblokir di Indonesia, CEO Telegram Pavel Durov via Twitternya kelihatan bingung, kok bisa mau diblokir padahal tidak pernah ada permintaan apa pun dari pemerintah Indonesia?
Beberapa saat kemudian, Pak Durov mengeluarkan rilis yang mengabarkan bahwa dia nggak sadar ada permintaan dari pemerintah Indonesia terkait konten terorisme. Saya menduga email dari Kominfo nyangkut di folder Spam Pak Durov, jadi dia nggak sadar. Email nyangkut di Spam memang problem umat milenial. Untung folder Spamnya belum dihapus.
Nah, sampai di sini, saya kembali ke kuliah komunikasi dan resolusi konflik tadi. Konon kabarnya, kalau ada dialog, kesalahpahaman dan miskomunikasi bisa diminimalisir. Dalam konteks blokir Telegram, apakah kesalahpahaman sudah bisa diselesaikan?
Barangkali iya, masalah sudah selesai dengan komitmen Telegram untuk bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam membantu menangani terorisme. Semua tenang, nyaman, dan Telegram bisa diakses kembali. Tapi tunggu dulu, pemblokiran Telegram ini tidak bisa direduksi pada kesalahpahaman semata.
Saya melihat bahwa pemerintah terlihat sedang mempraktikkan prinsip blokir sebagai panglima. Cermati saja karena dalam waktu yang berdekatan, Menkominfo juga bilang bahwa ada kemungkinan pihaknya akan memblokir media sosial lain seperti Facebook, YouTube, Twitter, hingga Instagram jika tidak mau bekerja sama dalam menangani konten-konten radikalisme.
Blokir sebagai panglima ini tren yang bisa kita lihat selama usia pemerintahan ini.
Tahun 2015, Kominfo sempat memblokir 22 situs yang dianggap menyebarkan paham radikal. 2016, Tumblr juga mau diblokir karena dianggap menyebarkan pornografi. Sampai tahun 2016, Kominfo kabarnya sudah memblokir hampir 800 ribu situs. Sembilan puluh persen dari jumlah tersebut diblokir karena alasan pornografi. Dan sekarang, Kominfo mau bertindak lebih jauh dengan memblokir media sosial.
Rencana blokir besar-besaran itu katanya terkait konten terorisme. Dengan kata lain, blokir besar-besaran itu diproyeksikan sebagai kunci jawaban atas aksi para teroris menjadikan media sosial sebagai alat untuk berkomunikasi. Padahal menjadikan blokir sebagai panglima tentu bermasalah sejak dalam pikiran.
Saya kasih contoh. Telegram diblokir karena sering digunakan teroris untuk berkoordinasi. Tolong digarisbawahi, yang disasar adalah teroris dan pesan-pesan terorisme. Pertanyaannya, kalau kemudian Telegramnya yang diblokir, apakah pesan-pesan terorisme akan hilang? Tentu tidak. Yang ada, mereka yang bukan teroris dan menggunakan Telegram dengan baik-baik tentu akan jauh lebih dirugikan.
Itu ibarat memburu tikus di ladang dengan membakar ladangnya. Jangkrik-jangkrik di ladang yang bikin malam terasa syahdu juga akan terkena efeknya. Ladang pun rusak. Dengan logika Kominfo, panci semestinya diblokir karena bisa digunakan untuk membuat bom panci oleh para teroris. Telkomsel, XL, Indosat, Axis, dsb. juga harus diblokir karena sering mengirimkan SMS-SMS penipuan yang membahayakan banyak orang. Dan, Via Vallen juga mesti diblokir dari seluruh media sosial karena senyumnya yang, ah sudahlah ….
Jadi, buat saya blokir adalah sebentuk kemalasan dan minimnya kreativitas. Itu cara mudah dan paling gampang memang. “Lantas kalau tidak memblokir, solusinya apa dong? Jangan bisa mengkritik tanpa memberikan solusinya!” ujar netizen di sebelah sana. Netizen lain lagi bilang “Kasih solusi dengan karya dong!”
Memang susah hidup di Indonesia, setiap mengkritik harus disertasi solusi. Padahal kritik adalah bagian juga dalam mencari solusi. Tapi begini, akan saya kasih contoh cerita, bukan solusi sih. Di Jerman, Juni lalu parlemennya baru saja mengesahkan undang-undang yang isinya kira-kira memungkinkan pengadilan untuk mendenda platform media sosial seperti Facebook dan Twitter apabila tidak mampu mengatasi konten hate speech dan hoax. Dendanya tidak main-main, bisa sampai 53 juta dolar (sekitar 7 miliar rupiah).
Media sosial yang bersangkutan dikasih waktu 24 jam buat menghapus atau memblokir konten tersebut. Dalam undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa platform media sosial wajib memberikan laporan per semester ke pemerintah terkait apa yang sudah mereka lakukan dalam menghadapi konten-konten kebencian dan hoax.
Sebelum jadi undang-undang, ada penelitian awal di Jerman yang menyebutkan bahwa Facebook dan Twitter tidak cukup berusaha buat menghapus konten-konten kebencian dan hoax di platformnya. Penelitian itu dilakukan kurang lebih setahun.
Jadi, kalau mau belajar sedikit saja dari Jerman, butuh proses untuk mencari solusi yang ideal sehingga tidak serta merta blokir selalu jadi solusi atas segala persoalan.
Tentu saja saya tidak sedang mengusulkan kita bikin undang-undang serupa. Poinnya adalah butuh upaya struktural untuk memecahkan problem penyebaran radikalisme dan terorisme melalui media sosial. Masalah yang kompleks tidak akan selesai dengan blokar-blokir saja.