Berhenti Menjadi Pendukung Jokowi Garis-Keras

Berhenti Menjadi Pendukung Jokowi Garis-Keras

Berhenti Menjadi Pendukung Jokowi Garis-Keras

Semestinya Ramadan menjadi bulan untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan. Tapi bagaimana mau berbuat kebaikan, memiliki jaminan berkeyakinan saja susahnya minta ampun?

Beberapa waktu lalu masjid milik jemaat Ahmadiyah disegel. Mereka dilarang beribadah, bahkan ketika jumatan, mereka mesti salat di jalan. Bagi saya, yang telah memutuskan murtad mendukung Jokowi, ini adalah salah satu alasan mengapa semestinya Jokowi diberhentikan saja dari jabatan presiden.

Saya memutuskan murtad ketika Jokowi tidak hanya lamban menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan, namun juga membiarkan mereka yang diduga pelaku kejahatan berat mengisi ruang-ruang jabatan penting yang berkaitan dengan penanganan kasus pelanggaran HAM. Seolah tak cukuk menunjukkan kedekatannya dengan AM Hendropriyono yang dianggap terlibat kaus Talangsari dan Munir, Jokowi malah memilih Sutiyoso sebagai kepala BIN. Padahal di kalangan aktivis kemanusiaan, Sutiyoso dianggap bermasalah. KontraS, misalnya, sampai perlu membuat surat atas penunjukan Sutiyoso.

Penyelesaian kasus Paniai juga tidak ada kabar hingga hari ini. Adakah yang bertanggung jawab? Kepada siapa keluarga lima siswa yang terbunuh di Paniai itu mesti meminta pertanggungjawaban? Jokowi hanya berkata “Rakyat Papua butuh didengar” tanpa ada upaya untuk memberikan keadilan. Apa gunanya? Jika keadilan untuk mereka yang dibunuh saja Jokowi tidak mampu memberikan jaminan, bagaimana ia akan bisa memberikan jaminan atas hal-hal yang lain?

Tentu saja tagar #SudahlahJokowi penting, barangkali sebagai penanda untuk menagih janji.

Sejak awal, saya berharap Jokowi akan menggenapi janji atas 42 prioritas utama kebijakan penegakan hukum. Kasus-kasus yang hingga hari ini masih belum jelas siapa pelaku dan yang bertanggung jawab seperti kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.

Mungkin saya naif, berharap negara akan bersikap terbuka dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan menghentikan impunitas. Untuk menuntut penyelesaian kasus pembunuhan Jopi Peranginangin saja, kawan-kawan Jopi mesti lintang-pukang menuntut sana-sini. Kasus yang sebenarnya bisa diselesaikan jika pihak yang bertanggung jawab mau terbuka.

Mungkin benar, di negara ini, seseorang mesti merebut keadilannya sendiri. Ia bukan sesuatu yang terberi oleh negara.

Sekadar mencaci #SudahiJokowi tanpa memberikan konteks yang jelas tentu pekerjaan mudah. Misalnya: mengatakan bahwa dolar mahal di zaman Jokowi itu benar, namun menyalahkan seluruhnya pada rezim ini tanpa memiliki pemahaman ekonomi yang benar itu ya kebacut. Atau menuduh Jokowi pro-Cina karena serbuan tenaga kerja murah, tapi ya diam saja ketika negara ini mengirim buruh migran murah ke negara-negara di semenanjung Arab. Bahkan orang dengan kualitas nalar sasetan mampu melakukan itu.

Kebencian dan dendam terhadap sebuah rezim memang bisa jadi alasan untuk melakukan serangan. Lagipula, berpikir itu aktivitas yang melelahkan bagi mereka yang tidak memiliki budaya kritis. Tapi toh ya itu halal, bukankah siapapun boleh berkomentar?

Jokowi pantas dikritik. Ia banyak berjanji dan terlalu sedikit yang ditepati. Barangkali ini waktu yang tepat untuk kembali memikirkan posisi kita. Pada isu apa kita peduli, pada hal apa kita mengerti, lantas melakukan tuntutan kepada Jokowi untuk menggenapi janji-janji yang ia buat sendiri.

Jika sedikit saja mau menggunakan otak, tentu ada alasan-alasan logis yang elegan untuk mengkritisi kebijakan Jokowi. Proses rekonsiliasi pengungsi muslim Syiah Sampang, misalnya. Hingga hari ini mereka masih terusir dari rumahnya. Atau yang kondisinya lebih mengenaskan, para pengungsi Ahmadiyah Lombok yang telah 10 tahun dalam pelarian. Jika rezim Jokowi punya nyali untuk berpihak pada hati nurani, para pengungsi itu semestinya dapat memperoleh kado lebaran berupa idul fitri di kampung halaman.

Dalam sebuah rilis, Jokowi mengatakan bahwa ia bagian dari Islam yang damai. “Saya bukan bagian dari Islam yang menindas agama lain. Saya bukan bagian dari Islam yang arogan dan menghunus pedang di tangan dan di mulut,” katanya.

Tapi Islam macam apa yang kemudian melanggar janji kemanusiaan yang ia buat sendiri? Terlebih membiarkan orang-orang yang beriman pada satu hal dipaksa menanggalkan keyakinannya karena ada orang lain yang merasa lebih benar?

Menjamin keyakinan seseorang tentu tidak akan menyelesaikan masalah ekonomi. Tapi setidaknya rezim ini bisa menunjukan kemampuannya untuk menjamin hak dasar, berkeyakinan dengan merdeka dan hidup tanpa rasa takut menjalaninya.

Memiliki iman tanpa diancam semestinya adalah hak setiap warga negara, dan negara wajib menjaminnya. Tapi ya itu, ini barangkali kerja besar. Sesuatu yang tidak akan selesai dengan makan siang limapuluh kali atau menerbitkan Kartu Indonesia Bebas Berkeyakinan.

 

Exit mobile version