Hoax Surat Suara: Belajar Satire dari Sandiaga Uno, Belajar Mengimbau dari Andi Arief

MOJOK.CO Sandiaga ingatkan agar tim kampanyenya tak sebar hoax. Beberapa jam sebelumnya Andi Arief ngetweet soal 7 kontainer surat suara udah dicoblos. Hm, satire.

Sandiaga Uno mewanti-wanti kepada relawannya agar menggunakan cara-cara yang baik dalam berkampanye. “Tidak boleh sebar berita yang belum terverifikasi, kabar burung jangan kita aplikasi, apalagi broadcast. Karena itu akan mempengaruhi ketidakpercayaan masyarakat,” katanya.

Hm, sikap Sandi yang ingin politik sepanjang Pilpres 2019 tetap sportif ini memang harus diapresiasi. Plis, ini serius. Jangan ketawa. Ya ketawa dikit nggak apa-apa lah. Dikit aja tapi.

Apalagi mengingat pernyataan Sandi ini disampaikan di hadapan para wartawan pada Kamis (3/1) malam. Artinya, sekitar kurang dari 2×24 jam dari geger Andi Arief soal kicauan di akun Twitter.

“Mohon dicek kabarnya ada 7 kontainer surat suara yg sudah dicoblos di Tanjung Priok. Supaya tidak fitnah harap dicek kebenarannya. Karena ini kabar sudah beredar.”

Hal yang tentu bikin kita jadi bingung, ini Bang Sandi pinter amat sih bikin satire nyindir ke Bang Andi.

Sebelumnya isu mengenai 7 kontainer surat suara memang sudah mengemuka ke khalayak. KPU sendiri sudah mengonfirmasi bahwa kabar tersebut merupakan hoax. Cuma jadi semakin renyah gorengannya karena Andi Arief, politisi dari Demokrat yang kebetulan satu kubu dengan Sandi malah ikut nyebarin kabar ini.

Nggak main-main, hoax ini menyebut bahwa ada 70 juta surat suara yang sudah dicoblos dengan masing-masing satu kontainer berisi 10 juta suara. Waat? Berarti ada 70 juta surat suara udah dicoblos, Mamen!


Itu yang nyoblos bijimana capeknya? Oh, tapi kan kita punya jutaan tenaga kerja aseng yang diimpor ding ya? Bikin aja pengumuman kerjaan ngelem benang teh celup. Ramai pasti yang daftar. Apalagi kalau sistem kerjanya dibikin sistem MLM.

Terlepas dari informasi hoax itu, 70 juta itu kalau dipikir-pikir banyak sekali. Duit aja kalau sebanyak itu lalu dipakai buat beli cilok bisa jadi renang mandi cilok. Buset ini kertas suara yang ukurannya jelas lebih gede dari duit kertas jumlahnya 70 juta dan udah dicobolos….

…maksud saya, ini kenapa kalau bikin hoax nggak pikir-pikir dulu gitu soal tingkat kemasuk-akalannya.

Iya deh iya, hoax kan emang nggak perlu akal sehat, cuma ya plis, mbok ya jangan goblok-goblok banget gitu.

Bukankah bikin hoax itu rencananya biar orang gampang percaya? Bahkan semakin banyak orang percaya, semakin dianggap sukses besar? Lha ini, dipikir sambil boker aja ya susah kalau orang mau percaya: 70 juta surat suara, Mamen. Mana surat suaranya belum dibikin KPU lagi.

Lha kan guoblok kuadrat jadinya.

Dalam bahasa yang puwitis ini mah namanya: senja kegoblokan tetiba terbit dari barat daya.

Ya harus diakui, menggunakan ungkapan angka-angka untuk hoax itu memang salah satu cara biar sebuah kabar jadi terkesan statistik aja. Ibarat kalau hoax Ratna Sarumpaet itu merupakan hoax kualitatif, nah yang ini namanya hoax kuantitatif.

Soalnya penggunaan angka emang lebih gampang untuk meleburkan fakta-fakta sebenarnya. Ya kan narasi macam 10 juta suara tercoblos dalam satu kontainer mirip kayak narasi 8 juta, 11 juta, 212 juta, dan sebagainya.

Joseph Stalin aja sampai bilang, “Kematian satu orang adalah tragedi, kematian jutaan orang hanya statistik.”

Artinya, angka punya kemampuan untuk menyembunyikan kedalaman informasi meski tetap bisa menyajikan fakta juga. Menggambarkan keadaan menjadi sesuatu yang ilmiah meski nggak melulu merepresentasikan kejadian sebenarnya.

Ya bisa dimengerti kemudian kenapa iklan produk di Indonesia kebanyakan demen banget pakai yang begini-begini. Contohnya misal: 9 dari 10 orang Indonesia kalau ketombean pakai sampo panadol. Seolah-olah dengan menggunakan angka kesan ilmiahnya didapat.

Padahal mah, hoax ya hoax aja. Mau kualitatif kek mau kuantitatif kek, sampah ya sampah aja.

Di sisi lain, kabar hoax juga akan jadi semakin berbahaya kalau yang bicara adalah seorang tokoh publik. Kalau info soal skandal politik muncul dari mulut Bu Paimo tukang pijet sebelah rumah saya—misalnya, ya wajar kalau orang nggak gampang percaya.

Kecuali kalau Bu Paimo jelasin bahwa ada teknik pijat terbaru, nah mungkin saya akan mendengar—karena sesuai dengan bidang kepakaran beliau.

Hal ini sama ketika informasi soal hoax 7 kontainer surat suara ini berseliweran jadi isu liar. Semua saling lempar sana-sini di media sosial. Karena yang nyebarin dan yang komen kelasnya sama: sama-sama pengamat, sama-sama penikmat.

Tapi ketika isu ini muncul dari mulut atau kicauan seorang politisi. Sosok yang secara reputasi memang berada di bidang ini, tentu bakal berbeda—dalam tataran tertentu bahkan bisa langsung dipercaya. Karena ucapannya dianggap mampu melegitimasi. Dan lha kok politisi yang melakukan itu ndilalah Andi Arief.

Andi pun gerak cepat segera membela diri. Disebutnya kicauan tersebut sebenarnya merupakan imbauan. Yak, sekali lagi: imbauan. Justru menurutnya hal itu merupakan bentuk kepeduliannya untuk membangun Pemilu yang adil dan sportif kayak yang sering disampaikan jagoannya: Bang Sandi.

Lha ya kan bener tho? Kalau diperhatikan betul-betul Andi Arief sedang mengimbau KPU untuk memeriksa kabar mengenai informasi ini. Apanya yang salah? Gitu kok ya pada baper sampai dilaporkan ke kepolisian segala?

Ini kan sama saja situ kalau kebetulan nanya ke cewek lewat Twitter misalnya secara random: “Mohon dicek kabarnya, katanya Anda termasuk dari 7 pelacur yang sering mangkal di Tanjung Priok. Supaya tidak fitnah harap dicek kebenarannya. Karena ini kabar sudah beredar.”

Ya pihak yang ditanya nggak usah marah. Itu kan namanya imbauan.

Cuma memastikan aja kok, betul apa tidak kabar itu? Kalau emang jebul kabar itu bohong ya tinggal bilang aja itu hoax. Gitu aja kan beres?

Kalau sampai bawa-bawa hal kayak begini sampai urusan kepolisian, apalagi dibilang pencemaran nama baik sampai dikatai tukang sebar hoax, memangnya dari mana kalimat tersebut yang menuduh? Kamu buta huruf ya?

Atau cuma kalimat tanya pada seseorang lewat status Facebook, “Katanya Bapak kamu suka maling ya? Supaya tidak fitnah harap dicek kebenarannya. Karena ini kabar sudah beredar.”

Lalu mendadak orang-orang mulai komentar di bawahnya: “Kalau emang betulan maling, betapa hinanya si bapak,” atau “jika betul bapaknya maling, semoga segera dilaknat,” atau yang lebih keren, “#2019GantiBapak”.

Sebuah hujatan, makian, ketidakpercayaan, sampai hinaan dari landasan prakondisi yang dibikin sendiri. Lalu kalau dicerca habis-habisan, ya bilang aja sedang mengimbau.

Hm, benar-benar jenius!

Tapi sebentar, sebentar, kalau memang kicauan Bang Andi Arief itu cuma imbauan, kenapa sampai dihapus? Jangan-jangan ada yang typo yha~

Exit mobile version