Belajar Menghukum Koruptor Sampai Ke Negeri Cina

MOJOK.CO – Dari dipenggal kepalanya sampai dikuliti hidup-hidup adalah hukuman lumrah bagi koruptor di Negeri Cina zaman dulu. Sungguh berbeda dengan negeri suci kita.

Bagi Indonesia yang rakyatnya masih banyak yang missqueen kendati kini angka kemiskinannya dielu-elukan berada di titik terendah sepanjang sejarah, komentar politikus Partai Nasdem cum anggota Komisi III DPR RI macam Taufiqulhadi ini tak pelak merupakan kepongahan yang sungguh luwar biyasa.

Bijimana tyda? Dia menyatakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Lapas Sukamiskin kapan hari adalah “OTT ecek-ecek” buat mencari sensasi belaka. Pasalnya, uang yang terkait hanya di kisaran ratusan juta.

“OTT yang adillah. Di situ ada korupsi atau tidak? Di situ kan cuma ada sejumlah kegiatan jual-beli sel yang kemudian di dalam kamar itu ditemukan uang 100 juta mungkin. Itu kan nggak ada relevansinya,” ketusnya. Ebuset.

Padahal, negeri sekaya Cina saja, sejak zaman baheula nggak pernah menyepelekan hal-hal yang berkelindan dengan rasuah walau hanya sebesar biji żarrah.

Begini, izinkan saya bercerita.

Dahulu kala, ketika zaman Dinasti Qin (221–206 SM), Kaisar Qin Shihuang mengesahkan Undang-Undang Qin (Qin Lü) which is menetapkan; “Siapa pun yang menerima suap atau menilap duit negara senilai satu koin perunggu saja, mukanya akan ditato dan diwajibkan menjalani kerja paksa.” Kalimat itu saya dapat dari kepingan-kepingan Qin Lü yang ditemukan di Kabupaten Yunmeng, Provinsi Hebei, 1975 silam.

Oh pasti, yang digambar di wajah mereka bukanlah titik-titik hitam di jidat layaknya Krillin teman Goku, melainkan tanda khusus yang gampang diketahui orang kalau yang bersangkutan telah berbuat korup.

Kenapa harus begitu? Karena Dinasti Qin menganggap koruptor, apa pun bentuknya, tak ubahnya perampok. Bahkan, tingkat kejahatannya disamakan dengan perampokan yang dilakukan berjamaah. Hukuman paling ringan bagi mereka adalah “zhan zuo zhi”, dipotong kaki kirinya. Kalau belum jera? Ya tinggal dipenggal kepalanya.

Makanya, Jalan Menjadi Pejabat (Wei Li zhi Dao), naskah Dinasti Qin yang digurat di lempengan bambu yang terciduk bareng Qin Lü, langsung tancap gas pol sejak kalimat pertamanya, “Wei li zhi dao, bi jing jie zheng zhi.” Artinya: Orang yang menjadi pejabat itu harus kompeten, bersih, adil, dan lurus.

Akan tetapi itu belum semuanya. Wei Li zhi Dao masih menyebut Dinasti Qin mengecap pejabat negerinya yang mempunyai lima tabiat berikut sebagai yang tak layak pakai dan sebaiknya segera dikandangkan saja.

Apa saja?

Pertama, banyak bicara sedikit kerja (kua yi li). Kedua, sombong tapi nihil prestasi (gui yi tai). Ketiga, serampangan dalam menjalankan tugas (shan ji ge). Keempat, tidak taat hukum padahal paham hukum (fan shang fu zhi hai). Kelima, bersikap murahan dan mata duitan (jian shi er gui huo bei).

See? Bukankah itu gambaran nyata dari tak sedikit politikus kita hari ini? Kalau politikus-politikus pro koruptor ini nyaleg di masa pejabat Dinasti Qin yang kafir kaffah saja tak lolos kualifikasi, apalagi menjadi pejabat Indonesia yang religius? Udah, tenggelamkan saja mereka, Bu Susi.

Dinasti Han (202 SM–220 M) yang menggantikan Dinasti Qin pun tak kalah sangar. Ada kelakar yang tersebar di Cina, “Di era Dinati Han, koruptor cuma akan mati dengan dua cara: disembelih algojo, atau bunuh diri.” Meskipun cuma kelakar, tapi ini candaan serius. Buktinya, Li Cai, Perdana Menteri Dinasti Han yang ketahuan menggelapkan tanah negara, lebih pilih mengakhiri sendiri nyawanya lantaran takut diinterogasi lebih lanjut.

Tapi, hukuman kayak begitu masih belum seberapa.

Dinasti Ming (1368–1644) jauh lebih beringas lagi. Maklum, kaisar pertamanya, Zhu Yuanzhang, berasal dari kalangan akar rumput. Wong Ndeso yang kaffah. Dia paham betul kesengsaraan kaum proletar. Baginya, biang kerok kemelaratan rakyat jelata sebagaimana yang pernah dirasakannya sendiri bersama keluarganya, tak lain dan tak bukan adalah pejabat-pejabat korup.

Oleh karena itu, begitu Zhu Yuanzhang naik takhta, tegas mengumumkan tidak akan membiarkan pejabat-pejabat korup beraksi dengan leluasa.

Dan benar saja. Satu per satu koruptor ditangkap kemudian jatuhi hukuman mati. Bahkan Zhu Yuanzhang tak segan menghukum menantunya sendiri, Ouyang Lun. Seolah-olah Zhu sedang mempraktikkan wejangan Mbah Pramoedya Ananta Toer, “Sudah adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”

Selain itu, demi menimbulkan efek jera yang lebih terasa, Zhu Yuanzhang menciptakan hukuman khusus koruptor yang tidak pernah ada di Cina sebelumnya. Namanya “bao pi xuan cao.” Kalau diterjemahkan secara harfiah maknanya “mengelupaskan kulit menjejalkan rumput.” Hiii, hukuman macam mana pula itu?

Jadi begini. Pertama-tama koruptornya dikuliti hidup-hidup dulu. Ya dibiarkan saja meski si terhukum ini sampai teriak-teriak kesakitan menunggu Malaikat Izrail yang tak kunjung datang. Penyiksaan yang dilakukan ini tujuannya memang supaya si koruptor tahu bahwa kezalimannya selama ini telah mengakibatkan penderitaan umat, eh rakyat, yang tak kalah pedihnya dengan yang dia rasakan sekarang.

Setelah dikuliti dan si terhukum koit, kulit yang sudah dikelupas ini dipakaikan ke rumput kering yang dibentuk menyerupai orang-orangan sawah. Lalu ditaruh di kantor penerusnya sebagai peringatan untuk tidak melakukan korupsi layaknya pendahulunya. Ngeri-ngeri sedap sekali, bukan?

Itu sekilas bagaimana tidak main-mainnya Cina era kedinastian dalam memerangi korupsi.

Sekarang, sekalipun hukuman mati tetap dikenakan kepada pelaku korupsi, tapi cara eksekusinya memang sudah tidak sesadis dulu. Namun, bukan berarti ketegasan Cina—yang sejak 1949 dipimpin Partai Komunis Cina (PKC)—melibas koruptor lantas jadi kendor.

Jangan pernah bermimpi koruptor di negeri komunis-kafir-laknatullah tersebut bakal mendapatkan perlakuan manusiawi seperti yang diharapkan beberapa politisi negeri ini. Sebab, PKC memang tak pernah menganggap pelaku korupsi sebagai orang yang patut dikasihani.

Bayangkan saja, belum dua tahun Cina berdiri, tepatnya pada 10 Februari 1952, PKC sudah langsung mengeksekusi mati dua kadernya: Liu Qingshan dan Zhang Zishan di muka umum. Padahal, keduanya jelas-jelas adalah kader brilian PKC yang ikut baku hantam melawan pasukan Partai Nasionalis Kuomintang bareng Mao Zedong.

Tapi Mbah Mao mana peduli. Beliau malah berujar dengan santainya, “Koruptor adalah musuh rakyat. Mereka sudah bukan kawan kita lagi. Makanya harus disikat semua dengan sebersih-bersihnya. Tidak patut ada sedikit pun rasa belas kasihan terhadap pelaku korupsi.”

Buset, garang sekali ya, Bung? Fatwanya itu saya terjemahkan secara ugal-ugalan dari jilid 6 Kumpulan Tulisan Mao Zedong (Mao Zedong Wenji) terbitan 1999 pagina 195.

Kebiasaan ini ternyata masih dipraktikkan juga oleh semua petinggi Cina sesudah Mao, mewarisi kebengisan yang sama terhadap koruptor. Zhu Rongji, misalnya, kita lumrah dengan kata-katanya, “Di sini aku siapkan 100 peti mati, 99 buat koruptor, 1 buat aku sendiri jika korupsi.”

Presiden Cina saat ini, Xi Jinping, apalagi. Sejak menjadi Sekjen PKC pada 2012, doi langsung membikin kampanye antikorupsi besar-besaran yang disebutnya “laohu cangying yiqi da”, menangkap harimau dan lalat sekaligus. Maksudnya, tak urus nominal korupsinya besar atau kecil, semua koruptor bakal sama-sama diganyang.

Na‘am, itu bukan sebatas slogan sejenis “Katakan tidak, pada(hal) korupsi!” ala salah satu partai di Indonesia. PKC tak pernah main-main dengan ucapannya. Korbannya bejibun. Bulan Maret 2018 kemarin, pengadilan Cina resmi menjatuhkan vonis mati terhadap Zhang Zhongsheng yang merupakan Wakil Wali Kota Lü Liang, Provinsi Shanxi, lantaran terbukti menerima suap terkait pertambangan batu bara.

Koruptor lainnya tinggal menunggu giliran saja. Kalau nggak dihukum mati, ya kemungkinan besar akan mendekam di penjara seumur hidup. Tentu saja bukan bui rasa hotel yang penghuninya bebas keluar-masuk kayak Lapas Sukamiskin itu.

Memang kenapa sih Cina tanpa ampun memberantas korupsi di negerinya? Karena sejak dulu Cina sadar bahwa, walau bagaimanapun, kata Hakim Bao Zheng (999–1062) yang masyhur itu, “tan zhe, min zhi zei,” koruptor adalah maling rakyat. Dan, sabda Kaisar Zhu Yuanzhang, “tan zhe, bi juan ren yi fei ji,” koruptor pasti membikin rakyat kurus untuk menjadikan dirinya gemuk. Mereka semua adalah parasit. Dan yang namanya parasit ya memang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya.

Ajaibnya, berbanding terbalik dengan negeri kaya tapi penuh dosa itu, negeri kita yang suci tapi miskin ini dininabobokan untuk percaya bahwa koruptor itu harus dimanusiakan juga. Bahkan tidak cuma dimanusiakan, melainkan juga diberikan hak-haknya sebagai orang kaya, dari dispenser, televisi layar datar, pendingin udara, kulkas, bahkan sampai sepeda statis segala. Komplet amat.

Nggak sekalian bikin toko bangunan di dalam lapas aja, Pak?

Exit mobile version