Begitulah Dwitasari

Begitulah Dwitasari

Begitulah Dwitasari

Minggu kemarin twitter ramai dengan sengketa antara Krishna Pabichara dan Dwitasari. Konon ini bermula dari puisi yang berjudul “Suatu Malam Ketika Aku Merindumu” milik Krishna dipakai tanpa ijin oleh Dwita. Puisi itu dipakai untuk musikalisasi puisi di Soundcloud, belakangan Dwita baru memberi penjelasan di laman soundcloud-nya perihal siapa penulis puisi tersebut.  Tentu saja bukan soal mencantumkan nama dan etika saya menulis ini, tapi ada yang lebih besar.

Saya jadi ingat seorang penulis yang konon terkenal, tapi gak terkenal-terkenal amat. Paling yang kenal cuma tetangga sama sodaranya. Namanya Puthut EA.

Mencari celah yang belum ditulis orang tentang Puthut EA, mungkin sama susahnya dengan mencari jawaban kenapa AS Roma masih di Serie A dan belum didegradasi. Banyak orang berusaha menulis tentang dirinya tapi gagal. Bahkan Puthut sendiri pun telah banyak menulis tentang dirinya sendiri. Tapi ya itu kadang tulisannya bual-bual belaka. Ngaku Rudi Garcia, tapi cara back up HP aja gak tahu. Di situ kadang saya merasa sedih.

Puthut adalah pertemuan segala hal yang ekstrem di dalam tubuh dan jiwanya. Di sana ada fanatisme berlebihan pada tempe, tapi secara sadar dan resmi mengakui tidak suka nasi goreng pake kecap. Ia juga masih suka mabuk kalau naik odong-odong. Tindakan-tindakannya masih penuh spontanitas yang sering di luar nalar manusia pada umumnya. Misalnya, mengaku bisa menurunkan kolesterol dengan minum UC 1000 setelah makan nasi padang gulai otak.

Saat kecil, Puthut termasuk anak rumahan, maksudnya suka main rumah-rumahan. Sampai ia besar sebetulnya ia juga orang yang gemar main rumah-rumahan. Di masa kecilnya, hampir semua jenis mainan anak seusianya tidak dimiliki Puthut. Mulai dari Boneka Susan sampai Barbie.  Namun di situlah semua kemudian berakhir. Pada usia yang termasuk matang, sebelum mimpi basah pertama, ia bercita-cita ingin jadi nabi. Tapi kalo mentok pengen jadi detektif partikelir, khusus urusan asmara penulis jomblo. Mengapa demikian? Saya juga gak tahu.

Nama lengkapnya: Puthut EA. EA singkatan dari Enak Anaknya. Kadang juga diplesetkan jadi Emang AS Roma. Soal nama ini juga kadang tidak jelas. Tapi lebih baik memang tidak usah dijelaskan, karena hanya akan membuat panjang.

Separuh tulisan ini menjiplak dari tulisan Puthut. Kenapa? Ya karena itu gampang. Menulis dengan cara menjiplak itu adalah cara tulis yang paling gampang. Tidak perlu ada kerja otak di situ, si penulis hanya perlu mengubah sedikit, menambah atau mengurangi sedikit, kasih bumbu, maka jadilah.

Untuk itu, Mbak Dwita, jangan malu untuk menjiplak.

Saya tidak tahu dan tidak punya bukti jika Anda menjiplak. Yang saya tahu, Anda ketahuan menggunakan puisi seseorang tanpa izin. Hanya Anda dan Tuhan yang tahu tulisan apa dan siapa lagi yang Anda pakai tanpa ijin.

Nek mung copy-paste, plagiat, nyontek, dan niru, saya ini jagonya. Mau gaya siapa? Goenawan Mohamad? Seno Gumira Ajidarma? Gampang, bisa diatur. Tapi, pertanyaannya, situ punya nyali untuk ngaku sebagai plagiator, ndak?

Lho, jangan salah, sebagai tukang jiplak, saya ini memiliki kebanggaan lebih. Berkali-kali niru, nyontoh dan plagiat gak ketahuan.  Kalo soal jiplak-menjiplak, ya harus niru dari ahlinya.

Pekerjaan menjiplak itu ada seninya lho, Mbak. Butuh nyali besar dan pemikiran kerdil bagi seseorang untuk melakukan plagiasi. Belum lagi kemampuan berkelit jika ketahuan. Misalnya Fareed Zakaria, jurnalis dan kolumnis di Amerika itu, dua kali ketahuan plagiat. Apakah dia kapok dan melakukan taubatan nasuha? Tidak, malah beberapa kali dia terus menulis dan tidak mau menanggapi tuduhan sebagai plagiator.

Slavoj Žižek, filsuf dan pengepul fillm, baru-baru ini juga ketahuan menjiplak. Apakah dia mengaku? Oh tidak, malah dia mengejek dan mengatakan bahwa dia kenal 2 -3 penulis lain yang melakukan plagiasi seperti dirinya. Mbak Dwita bisa menilai bukan? Untuk menjadi plagiator, selain butuh nyali, juga butuh muka setebal tembok untuk tidak mengakui plagiasi itu.

Kejauhan? Nah saya kasih contoh kasus di dalam negeri. Chairil Anwar misalnya, pernah dituduh telah menyadur puisi Archibald MacLeish, The Dead Young Soldiers, menjadi puisi Karawang-Bekasi. Tuduhan ini dilontarkan oleh HB Jassin, padahal kita semua tahu kalau Jassin adalah orang yang berjasa memperkenalkan sosok Chairil ke khalayak. Mbak Dwita pasti tahu, konon Anda kan anak sastra. Mosok gak tahu? Jadi gimana gitu, seorang yang pernah menempuh kuliah sastra, melakukan penyaduran, mengutip puisi tanpa izin. Di situ kadang saya merasa wedew.

Maka banggalah karena menjiplak, Mbak Dwita. Tapi ya jangan merendahkan orang lain dengan ketahuan menjiplak. Plagiasi juga semestinya ndak bikin si pengarang asli jadi terhina. Misalnya, saya nyolong puisi orang buat dinyanyikan, lalu follower saya mikir itu karya saya, sementara pengarang aslinya dituduh plagiator—seperti yang terjadi pada Khrisna karena ulah Anda. Itu kan asu.

Mbak Dwita pasti tahu, tiap penulis tahu, betapa susahnya menciptakan karya. Kok ya tega kayak gitu?

Ada baiknya situ berguru pada Puthut EA. Dulu beliau yang mengajari saya teknik mendapatkan pacar  menulis yang baik dan benar. Siapa tahu Mbaknya bisa mendapatkan keilmuan yang baru. Lha daripada capek-capek harus plagiat sana-sini, kan mending nulis sendiri.

Lagipula itulah gunanya otak, untuk berpikir dan menciptakan karya dengan baik.

Exit mobile version