Beda ‘Laskar Pelangi’ dan ‘Bad Genius’ dalam Suguhkan Impian Kuliah ke Luar Negeri

Beda ‘Laskar Pelangi’ dan ‘Bad Genius’ dalam Suguhkan Impian Kuliah ke Luar Negeri

Beda ‘Laskar Pelangi’ dan ‘Bad Genius’ dalam Suguhkan Impian Kuliah ke Luar Negeri

MOJOK.COSekolah ke luar negeri sering dianggap sebagai impian terbesar seorang anak ekonomi kelas bawah. Cuma caranya mau kayak Laskar Pelangi atau Bad Genius?

Sebelum film 5 cm kasih influence orang untuk naik gunung dan Filosofi Kopi kasih endorse kopi asli non-sachet sebagai minuman khas anak indie, Laskar Pelangi lebih dulu menebarkan pengaruhnya di bumi pertiwi.

Andrea Hirata menggambarkan pendidikan adalah pemutus rantai kemiskinan. Ia membuktikannya sendiri setelah menerbitkan novel mega-best-seller yang mengisahkan perjuangan putra daerah pergi kuliah ke luar negeri.

Laskar Pelangi menjadi waralaba sukses yang dialihwahanakan menjadi film, sinetron, drama musikal, dan lagu yang dinyanyikan oleh mantan band calon presiden. Bukunya pun telah beberapa kali dicetak ulang dan diterjemahkan ke dalam beragam bahasa di dunia. Salah satunya bahasa Swahili.

Semua ini berkat kritikan Andrea Hirata terhadap kualitas pendidikan Tanah Air yang belum merata serta kesejahteraan guru yang memprihatinkan. Sekaligus solusi yang ditawarkan sebagai happy ending: kuliah ke luar negeri.

Demi menuntut ilmu, sang penulis novel mengantarkan tokoh-tokohnya untuk menjelajahi Benua Eropa dan menjengkali Afrika. Sehingga para karakter novelnya bisa kuliah sembari traveling ala trenggiling backpacker, diselingi mencari cinta monyet yang hilang.

Setelah membaca tetralogi Laskar Pelangi, tak jarang seorang pelajar ingin mengikuti jejak karakter novel idolanya untuk masuk Universitas Indonesia (UI) dan lanjut kuliah pascasarjana ke luar negeri.

Laskar Pelangi memberikan role model lewat tokoh-tokohnya yang bisa mewujudkan impiannya dengan bekerja keras dan bekerja cerdas. Semua dilakukan dengan cara yang adiluhung dan patut diteladani oleh semua akademisi.

Nasib terlahir miskin tidak menyurutkan semangat sang pemimpi untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya, sejauh-jauhnya. Sebab di dunia ini tidak semua harus dibayar pakai uang (sendiri). Ada yang namanya beasiswa pendidikan.

Kalau mau tahu kisah pelajar yang kuliah ke luar negeri dengan biaya orang tua, kita bisa menonton film Rentang Kisah yang merupakan adaptasi novel berjudul sama karya Gita Savitri.

Ada adegan ketika orang tua kesulitan finansial di kampung halaman dan si anak harus bertahan hidup di negeri orang dengan cara-cara kreatif. Gitasav sampai ikut kajian demi jajanan dan mengumpulkan botol bekas untuk dijual lagi di Jerman. Sampai akhirnya dia menjadi selebgram dan youtuber inspiratif.

Namun, beasiswa tidak selalu menjadi solusi jitu untuk kendala biaya pendidikan. Pada praktiknya, di Indonesia saja, dana bantuan operasional sekolah (BOS) saja bisa dikorupsi. Beasiswa Bidikmisi dituding tidak tepat sasaran, Kartu Jakarta Pintar malah dipakai karaoke dan beli emas. Sementara beasiswa LPDP bisa jadi utang yang ditagih negara di kemudian hari.

Setidaknya, itulah yang ingin disampaikan oleh serial Thailand bertajuk Bad Genius: beasiswa dijadikan alat kepentingan oknum. Terkisah seorang gadis cerdas juara lomba scrabble bernama Lin. Impiannya adalah kuliah ke luar negeri. Mungkin ambisinya itu tercetus setelah menamatkan baca novel Laskar Pelangi bahasa Thailand.

Namun, beasiswa kuliah ke luar negeri itu tidak bisa dimenangkan begitu saja hanya dengan kepintaran Lin. Kepala Sekolah ingin Lin mengundurkan diri sebagai kandidat penerima beasiswa. Sebab Bu Kepsek punya keponakan yang ingin dapat beasiswa yang sama.

Di saat yang sama, ada Pat si anak orang kaya yang hendak dikirim oleh sang ayah untuk kuliah ke luar negeri. Namun, kualifikasi Pat belum memadai untuk lulus ujian STIC. Demi uang, Lin pun membantu para pelajar malas tapi berduit untuk lulus ujian dengan menjual sontekan.

Satu lagi cara cepat kaya ala orang Thailand. Setelah sebelumnya ada yang jadi miliarder dengan berjualan keripik rumput laut.

Rasa kecewa Lin terhadap sistem pendidikan di sekolahnya membuatnya jadi Bad Genius. Sehingga dia punya pembenaran untuk setiap kecurangan yang dilakukannya. Kalau dia tidak curang, hiduplah yang akan mencuranginya.

Namun, pada akhirnya, Lin bertobat ala sinetron azab. Lin meninjau kembali tentang impiannya untuk kuliah ke luar negeri. Yang artinya dia harus meninggalkan ayahnya, keluarga satu-satunya di Thailand, serta pujaan hati yang belum tentu kuat LDR. Terlebih meninggalkan sistem pendidikan di negaranya yang masih korup.

Alih-alih mewujudkan impiannya sendiri untuk kuliah ke luar negeri, Lin memilih bertahan di negaranya. Lalu mulai berusaha masuk ke kementerian pendidikan. Berkontribusi membenahi sistem dari dalam.

Pelajar pintar dan berprestasi di Laskar Pelangi dan Bad Genius sama-sama diuji. Di Laskar Pelangi, murid terjenius di kelas bernama Lintang harus putus sekolah karena sudah tidak punya pilihan selain menggantikan almarhum ayah untuk mencari nafkah. Namun, di Bad Genius, tokohnya harus memilih pilihan sulit demi membayar biaya pendidikan: anak cerdas yang tersakiti jadi pebisnis sontekan ujian.

Laskar Pelangi dan Bad Genius adalah dua kemungkinan untuk sebuah impian yang sama. Seseorang bisa berakhir seperti Ikal dan Arai: kuliah ke luar negeri, pulang kampung langsung sukses dan terkenal. Namun, apabila terbentur sistem yang tidak adil seperti di Bad Genius, seseorang bisa saja terbentuk menjadi calon koruptor.

BACA JUGA Sudah Tajir Kok Cari Beasiswa Bidikmisi, Kemaruk Amat Kayak Fir’aun dan tulisan Haris Firmansyah lainnya.

Exit mobile version