MOJOK.CO – Film Clickbait di Netflix seolah mengecat kemanusiaan dengan cat hitam. Manusia digambarkan semakin buruk. Terutama setelah keberadaan media sosial.
Limited series Netflix yang terbaru, Clickbait, sedang jadi buah bibir belakangan ini. Bahkan, seingat saya, Clickbait sempat jadi tayangan Netflix yang paling ditonton di Indonesia pekan lalu. Btw, saat tulisan ini saya buat, ia masih bertengger di urutan keempat.
Plotnya sih sebenarnya sederhana saja, tapi film bangsat yang bikin saya ketagihan ini memilih menggunakan teknik bertutur yang tidak biasa.
Lah gimana? Mereka sebenarnya punya delapan episode, tapi duo kreatornya, Tony Ayres dan Christian White malah menggunakan tujuh episode hanya untuk penggambaran karakter yang dibangun.
Sekilas emang kayak acara tujuhbelasan karang taruna, sambutan tokoh-tokoh kampung lebih lama dari inti acaranya. Dari sambutan Pak RT, ke sambutannya Pak RW, dari Pak RW ke Pak Dukuh. Nggak sekalian Lurah, Pak Camat, Bupati, sampai Sekjen PBB nih kasih sambutan?
Meski begitu, beda sama acara tujuhbelasan yang mboseni dan bertele-tele, penggambaran karakter di Clickbait ini terangkum sekaligus juga sebagai media untuk mengantar cerita. Jadi nggak yang bener-bener terpisah-pisah dari benang merah core ceritanya.
Lihat saja pembabakan episodenya. Episode satu berjudul “The Sister”, kemudian “The Detective”, lanjut ke “The Wife”, “The Mistress”, episode ke lima berjudul “The Reporter”, bersambung ke “The Brother”, dan yang ketujuh bertajuk “The Son”.
Baru kemudian, episode ke delapan berjudul “The Answer”, yang menjadi penutup limited series tersebut. Saya membayangkan udah kayak pembagian bab di skripsi secara sekilas. Bab terakhirnya kesimpulan atau jawaban.
Namun, tentu saja yang paling menjadi buah bibir adalah plot twist-nya. Pendapat pemirsa dibolak-balik dengan teknik bercerita seolah mengikuti trending topic di media sosial. Karena dari yang saya tangkap, pesan terbesar film ini terletak pada fenomena internet.
Lebih khusus lagi, bagaimana kita bermedia sosial. Lebih khusus lagi, kelakuan netizen Indonesia dalam berkerumun di ekosistem siber yang serba rumit.
Isu-isu besar bermedsos seperti catfishing (berpura-pura menjadi karakter orang lain), cancel culture, membuat foto palsu, dan sebagainya menjadi narasi besarnya. Apa yang terlihat di media sosial, meski terlihat solid dan punya bukti kuat sekalipun, ternyata menyimpan fakta yang jauh bertolak belakang.
Ini menjadi dasar cerita, sekaligus menjadi yang paling diandalkan film ini untuk “mempermainkan” persepsi pemirsa.
Beberapa scene memang sengaja dibuat untuk menjadi misleading, dan menjauhkan dari ending yang sudah disiapkan. Lapis demi lapis fakta dimunculkan satu per satu dengan alur pasti-membuat-kaget-tapi-tak-akan-bisa-ditebak. Untuk kemudian, diberi ending yang, “Lhoooalah, ternyata begitu.”
Teknik bercerita yang bagi mahasiswa filsafat langsung dikenali sebagai Red Herring Fallacy. Yakni, memberikan fakta-fakta distraktif yang menjauhkan pemirsa dari ending yang sudah disiapkan.
Sebagai hiburan, plot twist Clickbait memang cukup berhasil. Setidaknya, untuk menutupi banyak kelemahan yang terlihat di sekujur film yang ditotal berdurasi delapan jam tersebut.
Penggambaran karakter yang terlihat flat, konflik batin antar karakter yang entah bagaimana kurang terasa menyengat dan dipaksakan, plot hole yang menyisakan banyak pertanyaan.
Selain itu, karakter Nick Brewer yang menjadi pusat cerita, nyaris tak memunculkan keterikatan emosi kepada pemirsa. Meski berdurasi cukup panjang, film ini boleh dibilang tak berhasil menancapkan emosi dan kepedihan karakter-karakternya di benak penonton.
Ada catatan terhadap akting Zoe Kazan yang memerankan Pia Brewer. Dia cukup mampu menampilkan karakter yang menjadi mesin utama narasi penyelidikan tetap bergulir.
Sebenarnya, ada satu peran second lead yang cukup menjanjikan jika dieksplor. Yakni, karakter Reserse Sacramento Police Department, Detektif Amiri.
Potensinya ada. Kebobrokan sistem kerja di internal polisi hingga tensi relasi dengan Pia (yang diberi kode-kode, sempat mendekat, sebelum akhirnya digagalkan sama sekali). Namun, semuanya tak dieksplor dengan baik sehingga Detektif Amiri ya semacam sekadar pengisi peran dari sebuah cerita belaka.
Juga, pada ending. Meski mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul hingga episode tujuh, entah bagaimana, ending-nya terasa kurang nendang. Kurang satisfying, kalau kata orang Barat. Bagi saya, ending-nya semacam kombinasi dari sedih, tragis, bodoh, tapi juga sekaligus buruk.
Para penikmat film genre seperti ini mungkin lebih suka menonton American Murder: The Family Next Door yang dirilis Netflix tahun lalu. Kekuatan narasi yang cukup, dengan bahan semua dokumentasi asli perjalanan kasus tersebut, rasanya lebih menancap di benak kesedihannya.
Beberapa kritikus luar negeri bahkan menyebut Clickbait adalah film yang mengecat kemanusiaan dengan cat hitam. Manusia digambarkan begitu buruk. Diamplifikasi oleh media sosial, manusia bisa menjadi jauh lebih buruk.
Bagaimana hilangnya satu pria, bisa membuat orang di sekelilingnya mengalami masalah dan terpuruk berkepanjangan. Juga menunjukkan bagaimana cepat berubahnya (dan sekaligus merusak) persepsi orang lain terhadap karakter Nick Brewer.
Sesuatu yang sekarang ini jamak terjadi. Bagaimana cepat kita menghakimi, mengambil kesimpulan, dan secara tak sengaja membuat hidup beberapa orang yang menjadi objek bisa begitu rusak dan sulit direhabilitasi.
Apa pun, jika ditanya apakah film Clickbait ini layak ditonton, maka saya akan menjawab iya. Setidaknya, dari sana kamu bisa tahu, bahwa dalam media sosial, kamu merasa lagi iseng saja kadang-kadang itu bisa berujung dengan hilangnya nyawa seseorang di luar sana.
BACA JUGA 5 Admin Media Sosial Instansi yang Layak Naik Gaji atau tulisan Kardono Setyorakhmadi lainnya.