MOJOK.CO – Feminisme tidak harus ditunjukkan dengan berprinsip nggak mau menikah atau menjadi perempuan yang nggak butuh laki-laki. Bagi saya, feminisme bisa saja mengalir menjadi sebuah filosofi hidup.
Kira-kira, apa yang muncul pertama kali ketika mendengar istilah feminisme? Ada yang menyimpulkan feminisme sebagai gerakan perempuan untuk bisa setara dengan laki-laki. Ada yang langsung ngeri mendengar istilah feminisme karena dianggap gerakan perempuan untuk membenci laki-laki. Ada laki-laki yang langsung merasa terancam karena gerakan feminisme dianggap sebagai agenda perempuan untuk menguasai dunia. Ada pula yang menganggap feminisme sebagai ajaran sesat karena bertentangan dengan syariat agama. Jeng jeng jeng~
Awal mula saya mendengar istilah feminisme, adalah ketika masih duduk di bangku kuliah semester awal. Dengan nalar goblok—karena cuma sekelebat denger dari mulut sana-sini—saya langsung mengartikan bahwa feminisme adalah paham yang mengajak perempuan untuk membenci laki-laki. Jelas nggak mau dong cari tahu lebih jauh, lha wong saya nggak suka benci-bencian alias orang yang cinta damai. Ya, seperti netizen males pada umumnya lah. Kalau nggak sependapat langsung tutup telinga, auto kafir, merasa paling benar dan yang lain salah. Titik.
Seiring berjalannya waktu, perspektif mengenai feminisme kian berubah. Saya mulai membuka diri untuk belajar feminisme ketika merasa ada relasi timpang dalam hubungan asmara, alias terjebak dalam toxic relationship. Saat itu saya belum tertarik membaca buku-buku feminism yang bahasanya terlalu berat untuk dipahami. Akhirnya, saya belajar melalui akun-akun di media sosial, dan menyadari bahwa…
…yang saya alami termasuk kekerasan dalam pacaran. Berupa kekerasan verbal dan mental, seperti ancaman bunuh diri, dipertontonkan tindakan menyakiti diri, manipulasi pikiran, dan ucapan-ucapan kasar yang merendahkan harga diri saya sebagai perempuan.
Saya cukup terbantu dengan postingan akun-akun tersebut. Saya jadi lebih berani untuk memperjuangkan hak saya sebagai perempuan. Namun, pemahaman saya ketika itu masih sangat bias. Saya menyimpulkan bahwa perempuan feminis harus koar-koar, nggak menikah, nggak butuh laki-laki, ataupun aktif demonstrasi menentang kebijakan seksis.
Postingan dalam akun tersebut memang mewakili ekspresi kemarahan perempuan. Jadi dengan mudahnya saya menyimpulkan kalau saya nggak galak, masih butuh laki-laki, nggak ikut demonstrasi, maka saya bukan perempuan feminis.
Hingga suatu ketika saya mengikuti sebuah acara di Yogyakarta. Di sana saya dipertemukan dengan seorang Ibu yang membukakan perspektif baru terkait feminisme ini. Dari beliaulah saya belajar beberapa hal,
Pertama, perempuan disebut feminis ketika ia punya kesadaran—berdasarkan pengalaman pribadi—bahwa ada konstruksi sosial di budaya patriarkat yang merugikan perempuan. Jadi ketika kita sudah mulai sadar mengalami ketidakadilan hanya karena kita perempuan. Maka di situ kita telah memegang nilai-nilai feminis. Perkara perjuangan untuk terbebas dari penindasan, itu hal lain. Intinya kita telah mau mulai berproses. Hal ini tentu berbeda dengan perempuan yang tidak sadar sedang ‘ditindas’ dalam budaya partriarki. Lantas menerima begitu saja penindasan tersebut,
Maka yang namanya perempuan feminis, tidak melulu tentang perempuan yang koar-koar, ikut demo menentang kebijakan seksis, bahkan memilik untuk nggak menikah. Perempuan feminis, bisa jadi juga teman-teman kita yang diam-diam tengah berjuang terlepas dari kubangan toxic relationship. Bisa jadi tetangga kita yang sudah bercerai dari suaminya yang kasar dan berhasil menghidupi anaknya seorang diri. Atau ibu kita yang memperjuangkan kita agar bisa berpendidikan tinggi karena dulu ia belum sanggup menempuhnya. Maupun bisa jadi sahabat kita yang menjadi survivor dari trauma kekerasan seksual.
Kedua, feminisme mengajarkan kita tentang kesetaraan. Pemahaman tentang kesetaraan ini, tidak hanya antara perempuan dan laki-laki saja. Namun, juga tentang kesetaraan antara sesama makhluk lain, termasuk hewan dan tumbuhan. Dengan sebuah kesetaraan, jika masih ada persepsi bahwa feminism adalah agenda perempuan untuk membeci laki-alki atau menguasai dunia itu sangat keliru.
Feminisme mengajarkan kepada kita dengan tidak menuntut laki-laki untuk selalu kuat. Bahkan menganggap wajar saja jika lelaki menangis. Pasalnya, bagi feminisme, tidak ada masalah jika lelaki dapat mengekspresikan kompleksitas emosi layaknya perempuan. Toh, emosi itu manusiawi.
Ketiga, laki-laki dan perempuan memang sama-sama manusia. Namun ada kebutuhan khusus dari perempuan yang perlu terwadai dengan baik dalam hak asasi manusia. Misalnya, kebutuhan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan khusus reproduksi perempuan, hak untuk bekerja dan memilih pekerjaan, hak terhindar dari penganiayaan dan kekejaman, dsb. Sayangnya, kebutuhan-kebutuhan tersebut, belum tercantum dalam hak asasi manusia. Padahal, perempuan juga manusia, kan?
Keempat, tidak ada yang namanya laki-laki feminis. Tunggu, jangan marah dulu. Begini, kita tahu bahwa rahim adalah pusat kehidupan mikrokosmik. Jadi, ketika laki-laki lahir, maka kehidupan mikorokosmik mereka terputus menuju kehidupan makrokosmik. Berbeda dengan perempuan yang kehidupan mikokosmik dan makrokosmiknya masih menyatu—pasalnya, perempuan memiliki rahim di mana kehidupan mikrokosmik tersebut terjadi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika perempuan cenderung memiliki intuisi yang lebih kuat.
Dengan alasan tersebut, maka tidak ada laki-laki yang feminis. Yang ada, ialah laki-laki yang paham feminisme. Hal ini dikarenakan, pemahaman laki-laki mengenai penindasan terhadap perempuan tidak berangkat dari pengalaman pribadi—mereka tidak memiliki tubuh, pikiran, dan roh sebagai perempuan—melainkan dari hal-hal yang mereka ketahui dari sekitarnya.
Monggo, bebas saja jika kita mau menganggap feminisme sebagai paham atau hal lainnya. Namun, bagi saya pribadi, saya lebih nyaman menyebut feminisme sebagai sebuah filosofi hidup. Bagi saya, istilah paham akan mempersempit ruang gerak saya. Pasalnya dalam beberapa hal, labelling justru akan mempersempit makna. Feminisme bagi saya bukan sesuatu yang saya telan mentah-mentah. Bukan menjadi paham tertentu yang jika kita telah menyetujuinya, maka kita seakan-akan menyetujui semua hal yang tertaut di dalamnya.
Oleh karena itu, saya lebih nyaman menyebutnya sebagai filosofi hidup, yakni pedoman untuk mewujudkan kehidupan yang setara—tidak hanya bagi kaum perempuan, tapi juga bagi laki-laki, tanaman, binatang, dan kebaikan alam semesta. Serta menjadi sebuah proses penggalian diri sebagai perempuan yang akan berlangsung seumur hidup.