Azab Harusnya Nggak Dibikin Bahan Bercandaan, Itu Nggak Lucu

MOJOK.CO – Sori nih, Mojok, kali ini kita nggak sejalan. Meskipun cuma buat bercandaan, humor soal azab begituan menurut saya kok nggak lucu ya?

Kuis “Apa Judul Azab Versi Kamu?” adalah konten media sosial terbaik yang bisa ditawarkan Indosiar setelah video serial Dzolim MNCTV lebih viral mengalahkannya sebagai senior. Meskipun sebenarnya kemenangan branding berada di pihak Indosiar sebab netizen tetap mengira video itu sebagai “sinetron Indosiar” dan bukan sinetron MNCTV.

Bukan itu yang mau saya bahas. Entah serial Indosiar atau MNCTV yang viral, sebagai penonton setia menurut saya pola serial “religi” macam itu sebenarnya sama. Jika Dzolim MNCTV kebetulan sering viral dibanding Azab Indosiar jelas karena keberanian berlebihnya dalam mengolah judul sampah yang membuat diri menyesal telah membacanya.

Akan tetapi berhubung netizen Indonesia ketika dikasih sampah justru minta tambah, mereka lalu kegirangan “bermain-main azab” dengan membuat aneka judul tandingan yang nggak kalah sampahnya. Makanya nggak heran kuis “Apa Judul Azab Versi Kamu?” jadi viral sebagai bahan bercandaan netizen.

Azab yang hakikatnya adalah peringatan justru menjelma menjadi hiburan. Receh pula. Termasuk Mojok yang juga bikin thread Macam-Macam Azab Pengguna Sosmed (yang katanya “lucu sampai ke kolom komen”).

Sori nih, Mojok, kali ini kita nggak sejalan. Meskipun cuma buat bercandaan, humor begituan menurut saya kok nggak lucu ya?

“Halah Mbak, selow. Kayak nggak tahu Mojok aja. Kita kan suka bercanda, myluv~”

Tapi kayaknya bercandaan soal Azab ini udah berlebihan deh, Jok.

Gini lho, saking seringnya terpapar judul serial macam yang aneh-aneh macam begini, netizen kita nggak lagi serius memaknai, bahkan nggak lagi percaya soal azab. Kalau dari awal nggak percaya yaudasiya, tapi lain soal kalau dia nggak lagi percaya azab karena terlalu mati rasa efek sering menertawakannya.

Bahkan sekarang setiap ada yang ngomongin perkara ini dalam konteks serius, akan dianggap kuno, kolot, nggak berpikiran terbuka (yah mungkin macam yang lagi dipikirin pembaca tulisan ini).

Apalagi ketika azab diperbincangkan dalam masa bencana seperti belakangan ini. Seolah kalau seseorang, pada tahun 2018 ini, masih percaya bawa bencana merupakan azab dan peringatan dari Tuhan, sepantasnya tinggal saja di zaman prasejarah.

Padahal ini soal kepercayaan, bagian dari ranah spiritual seseorang. Ketika dia meyakini dan menyampaikannya, sepanjang diungkapkan dengan adab yang baik, kenapa harus dipermasalahkan?

Emang sih braaaangseeeekaaaai sekali ketika kamu baru mendapat musibah lalu temanmu beramai-ramai mengatai, “Azab dari Allah tuh, kamu kan kurang sedekah,” atau ketika terjadi musibah lalu refleksi semacam ini diberikan dengan misi kampanye politik praktis. KZL.

Tapi ketika peringatan seperti ini diterima sebagai bahan muhasabah bersama, apakah masih nggak boleh? Terlebih seringkali ketika (seolah) menasihati orang lain, sebenarnya kita sedang menasihati diri sendiri.

Selama ini kita berpikiran hanya orang yang terkena bencana langsung lah yang bersalah sehingga terkena musibah. Makanya akan menjadi sangat tidak etis jika menganggap bencana sebagai azab.

“Kasihan kan, mereka masih berduka. Jangan ditambahi luka.”

Padahal bisa jadi yang jerawatan pipinya, padahal yang bermasalah pencernaannya. Alias bisa jadi yang diuji bencana di sini, sementara pelanggaran utamanya di sana. Sementara kita terlalu sering berfokus pada gejala dan bukan masalah utama.

Mereka yang aman dari bencana bukan berarti bebas azab. Bahkan ada yang meyakini bahwa para korban bencana sesungguhnya mendapat berkah menjemput syahid, sementara yang merasa aman dari bencana justru pihak yang sebenarnya sedang diuji dengan musibah. Makanya bagi mereka yang meyakini poin penting ketika ada bencana, selain berusaha membantu meringankan beban korban, adalah mengambil hikmah atau pelajaran. Termasuk dengan melihatnya sebagai probabilitas azab dari Tuhan untuk direnungi agar menjadi lebih baik.

Ketika ngobrol soal kerusuhan Poso beberapa tahun silam, ada perkataan warga yang jleb sekali buat saya: “Ya ini teguran juga dari Allah, Mbak. Dulu kan ibadah kami nggak bagus,” katanya sebelum menceritakan hal-hal off the record mengenai “pelanggaran sosial” di tanahnya itu.

Saya yang mempelajari kerusuhan Poso sebagai murni konflik kepentingan sungguh nggak terpikir sampai ke situ. Apalagi ini kan konflik horizontal, bukan bencana alam yang azab-able. Tapi ya meskipun mengernyitkan dahi, saya berusaha tetap menghormati pandangannya soal itu. Ketika musibah membuatnya tergerak lebih dekat dengan Tuhan, ya apa salahnya?

Pada lain waktu, saya ngobrol dengan masyarakat adat di Ciptagelar soal bagaimana manusia dan alam mesti saling menjaga. Kalau kita blangsakan ke alam, alam akan “berbicara”. Banjir, gempa, bahkan gagal panen—dalam kepercayaan mereka—merupakan wujud komunikasi alam ke manusia. Buat orang yang nggak percaya, pemikiran seperti itu pasti terasa absurd. Tapi itulah kepercayaan mereka yang sepatutnya kita hormati.

Sama halnya dengan muslim yang mempercayai azab sebagai cara Tuhan berkomunikasi dengan umatnya yang melampaui batas. Mungkin nggak logis buatmu, tapi dalam kepercayaan mereka, konsep ilmu tidak dibatasi hal-hal empiris tampak fisik melainkan juga metafisik.

Jadi memang nggak bakal ketemu dengan logikamu yang mengharuskan melihat sebelum meyakini. Makanya, jika belum bisa memahami, baiknya dihormati saja. Atau ketika memang keluasan hatimu belum selapang itu untuk menghormati, setidaknya nggak usah menjadikannya bahan bercandaan.

Sekadar info nih, terminologi azab bagi umat Islam berfungsi sebagai pengingat atas kuasa Allah terhadap (dosa) manusia. Kata “azab” sendiri setidaknya disebut sebanyak 309 kali dalam Al-Quran, kitab sucinya umat Islam.

Penyebutan sebanyak itu pun nggak ada yang konteksnya “bercanda doang, Keleus” meski cuma satu. Saking sensitifnya perkara ini, para ulama pun membahasnya secara serius dan jauh dari kelucuan macam “juragan tahu bulat mati tergoreng dadakan dikubur anget-anget” atau “mandor kejam terkubur coran beton dan tertimpa meteor”.

Kita mungkin nggak secerdas ulama terdahulu atau masyarakat adat untuk memahami hubungan tak kasat mata yang bekerja di balik perilaku manusia dan respons semesta. Meski begitu, nggak elok juga kalau kekurangan itu membuat kita menjadikan kepercayaan orang lain sebagai bahan bercandaan.

Oh iya, kalau kamu nyari di mana letak lucunya tulisan ini, mohon maaf nggak ada. Sebab ngomongin azab memang nggak sebercanda itu.

Exit mobile version