Arti Tuman itu Bukan “Aku Yahudi”, tapi…

MOJOK.CO – Kata tuman konon berasal dari “tumaen” atau “tumanen” yang origin-nya untuk nyebut binatang tuma (kutu rambut). Jadi jelas, arti tuman bukan “Aku Yahudi”.

Sejauh yang saya tahu, arti tuman adalah kebiasaan (suka, gemar, dan sebagainya) sesudah merasai senangnya, enaknya, dan sebagainya. Dan saya baru tahu kalau ternyata kata “tuman” itu sudah termasuk jadi bahasa Indonesia. Ada juga di KBBI yang artinya sama persis seperti di atas.

Setelah dipikir nggak panjang-panjang amat, saya ingat kalau kata “tuman” itu punya akar dari bahasa Jawa. Tapi asli Jawa sebelah mana belum saya pikirkan (di bahasa Sunda juga ada soalnya). Ya maklum, pikiran saya kan paketnya kuota harian, jadi harus diirit-irit biar bisa dipakai 24 jam.

Kalau dari bahasa Jawa, asal kata dari tuman itu konon dari “tumaen” atau “tumanen” yang origin-nya dimaksudkan untuk menyebut binatang tuma (kutu rambut).

Setelah mendapatkan akhiran en atau nen maka akan bermakna rambut yang banyak tuma-nya. Biar lebih sederhana dan enak didengar berubah jadi tuman. Jadi jelas maknanya bukan “Aku Yahudi” kayak yang sedang ramai di medsos belakangan ini.

Lha terus kaitannya dengan arti yang di KBBI kok jauh? Emang itu “tuman” yang mana, Setaaan?

Lah, kalau di KBBI artinya kan “menjadi suka sesudah merasai senangnya”, yang sebetulnya adalah efek dari tumanen (rambut berkutu), yaitu kegiatan garuk-garuk (karena gatel digigit kutu) yang dilakukan berulang kali.

Kegiatan garuk-garuk ini enak lho. Bahkan waktu saya muda dulu (sekarang juga masih muda) ada yang buat lagu.

Potongan liriknya begini:

Digaruk-garuk enak….

Nggak digaruk nggak enak….

Digaruk-garuk enak….

Nggak digaruk nggak enak….

Jreng… Jreng…. Jreng… Jreng…. Jreng.

(Udah, saya hafal cuma sampai segitu….)

Mungkin untuk lebih jelasnya kita butuh tanya pada Wiro Sableng yang punya hobi garuk-garuk kepala. Padahal saya tahu dengan pasti, Wiro selalu garuk-garuk meski kepalanya nggak gatel.

Nah, asal kalian tahu Sobat Tuman, penghuni kepala yang bikin gatal itu sebenarnya bukan cuma tuma, tapi ada juga kor dan lingsa. Lalu pertanyaan fundamentalnya adalah: kenapa cuma tuma yang jadi tersangkanya?

Ya jelas karena tuma adalah induknya, sementara kor itu anaknya tuma yang baru menetas, sedangkan lingsa adalah telur dari tuma.

Berdasarkan silsilah penghuni kepala yang bikin gatal, maka yang paling berhak jadi tersangka tentu saja induk persoalannya, yaitu tuma. Demikian laporan fakta yang terjadi di TKP, Komandan.

Sebenarnya, untuk urusan menggaruk-garuk gatel kayak gitu sih tidak hanya terjadi di batok kepala saja. Ada bagian lain yang sering menjadi sasaran garukan juga, dan isunya jauh lebih sensitif. Yakni selangkangan.

Setelah dilakukan penelitian kualitatif yang mendalam, ternyata kutu juga suka bagian tersebut. Habitat alaminya juga. Bagi Anda yang pernah kena jump-pest (atau jampes), ternyata yang begituan juga disebabkan oleh tuma lho.

Duh, saya kok jadi terkenang masa lalu. Digaruk, digaruk, sampai ledes bodal-badel, perih, dan iritasi.

Hal semacam ini yang sebenarnya pengen juga saya tanyakan pada Wiro Sableng. Apa beliau juga garuk-garuk selangkangan juga? Ya iya dong, kan lebih sempurna kalau menu garuk-garuk yang disediakan lengkap juga. Atas-bawah. Komplet. Lebih manusiawi aja kesannya.

Meski begitu kata tuman punya kecenderungan negatif ke arah yang cukup berbahaya ketimbang sebaliknya. Misalnya: garuk-garuk kepala yang dilakukan berulang akan menyebabkan kepala lecet. Terkadang sampai berdarah-darah.

Begitu kulit kepala kena lecet, episode tumanen akan bersambung menjadi menyanen. Menyanen ini adalah peristiwa ketika kulit kepala lecet yang habis digaruk mengeluarkan cairan, dan cairan itu akhirnya mengeras seperti kemenyan. Kalau udah keras, bentuknya sih jadi kayak peyek gitu.

Jadi setelah garuk-garuk, biasanya akan diikuti dengan kegiatan ngurek-urek luka lecet bekas garukan. Hasil urek-urekkan berupa serpihan kecil akan diambil, kadang dipuntir dikit, dilihat, terus dicium baunya, terus dipercik-percikkan.

Oh, kegiatan ini jelas beda dengan aktivitas ngupil—meski keseruannya hampir sama. Kalau ngupil kan ada dua keseruannya.

Keseruan yang pertama, ngupil, lalu dipuntir (dipilin pake telunjuk dan jempol) biar upil jadi bulet, terus abis itu disentil deh. Terbang. Migrasi.

Kedua, upil setelah dipilin, kemudian ditempelin di bawah meja. Dan inilah penyebab utama kenapa banyak meja di sekolah bagian bawahnya terasa lengket. Usut punya usut ternyata banyak upil berkoloni di sana.

Oke, baiklah, kita kembali ke tuman. Pada mulanya, setelah melakukan penerawangan yang mendalam, saya dapat wangsit kalau kata tuman itu dipakai untuk menasihati anak kecil jaman dulu.

Misalnya ada anak kecil suka maling buah manga tetangga, terus ketahuan. Perlu dimarahin dong biar jera. Lalu dinasihatin baik-baik, “Tuman!”

Artinya: “Ealah kebiasaan. Dasar bocah tengik!” (kok jadi panjang amat ya terjemahannya?).

Sudah tentu si anak bakalan jiper. Ya maklum anak jaman dulu kan lihat orang tua melotot aja udah takut, apalagi sampai dibentak.

Yah emang sih nggak semua anak kayak gitu, ada juga yang mbajing (kalau gede namanya bajingan). Nah kalau anak kayak gitu, habis dibilang tuman, biasanya langsung ditampol.

Hidup anak zaman dulu memang terkadang agak keras dibandingkan dengan anak sekarang. Tapi lebih baik nggak usah membandingin anak-anak, okay?

Inti dari makna tuman sebenarnya adalah suatu yang berdampak buruk (baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek) yang akhirnya akan menjadi kebiasaan apabila diteruskan dan dilakukan berulang. Mungkin kalau keterusan bisa masuk kategori kecanduan.

Sama seperti tuma-nen. Kalau efeknya sudah keblabasan, rasa gatal itu jelas bisa bikin kecanduan untuk digaruk. Bikin ketagihan. Enaknya kebangetan. Bahkan pada takaran tertentu sampai ada efek sakaw-nya segala. Bisa menggila kalau nggak digaruk.

Karena keduanya punya efek samping yang sama, saya sih punya kecurigaan yang berlebih kalau kata tuman ini sebenarnya berasal dari kata tuma (kutu). Meski setelah dipikir mendalam, ternyata analisis ini sih bisa aja salah.

Ealah, kayak begitu aja kok ya dipikirin, ditulis, dikirim, dimuat lagi. Kok selo banget ya saya?

Namun lebih daripada itu, yang lebih selo tentu saja Anda. Mau-maunya baca tulisan begini. Sampai kalimat terakhir lagi. Cuma pengen tahu arti kata tuman lagi. Idih, selo banget sih Anda? Pengangguran ya?

Exit mobile version