MOJOK.CO – Esai ‘Seni Suara Sebagai Makanan Jiwa’ ini dibacakan Ki Ageng Suryomentaram di tengah kegawatan yang hebat oleh Perang Revolusi pada forum Kongres Kebudayaan, di Magelang, Sabtu, 21 Agustus 1948. Terbayang, di tengah perang, penulis dan pemikir kita masih menulis dan bepikir tentang masa depan kebudayaan Indonesia.
Ki Ageng Suryomentaram merupakan putra dari Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan HB VII yang memilih menanggalkan gelar kebangsawanannya untuk menjadi rakyat jelata. Ia dikenal dengan ajarannya yaitu Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang diartikan sebagai ilmu bahagia.Â
Esai ini dimuat kembali di Majalah Indonesia Edisi Kongres, No. I-II, Juni-Juli 1950, Tahun ke-I, hlm. 25-28
Seni Suara Sebagai Makanan JiwaÂ
Oleh: Ki Ageng Soejomentaraman
A.
I. Kesenian adalah satu dari kelahiran kebudayaan batin. Kebudayaan adalah mempunyai dua bagian, lahir dan batin. Kebudayaan bagian lahir terlahir menjadi alat pengupadjiwa dan alat pergaulan hidup. Sedang bagian batin terlahir menjadi ilmu jiwa, filsafat dan kesenian.
II. Jadi kebudayaan adalah kelahiran hidup dan penghidupan seseorang dan masyarakat atau bangsa. Jadi tiap-tiap orang dan bangsa tentu melahirkan kebudayaan. Dari sebab itu maka tiap-tiap orang dan bangsa tentu mempunyai kebudayaan masing-masing menurut hidup, dan penghidupan mereka.
III. Jadi kebudayaan bagian batin adalah kelahiran hidup orang dan bangsa, sedang bagian lahir adalah kelahiran penghidupan orang dan bangsa. Dari sebab itu corak hidup dan penghidupan bangsa dapat dilihat dari kelahiran kebudayaan bangsa itu begitulah hidup dan penghidupannya.
IV. Kesenian adalah kelahiran hasrat hidup untuk mengerti diri sendiri didalam keindahan. Kesenian adalah mempunyai bermacam-macam lapangan, misalnya rupa, suara, tari, kesusastraan dan lain-lain. Jadi kesenian didalam lapangan rupa ialah tersebut seni rupa dan didalam suara disebut seni suara dan sebagainya.
V. Disini kami akan membentangkan tentang faedah seni suara menurut pengalaman kami. Seni suara adalah lapangan hasrat hidup didalam suara. Jadi suara adalah salah satu lapangan hasrat hidup untuk mengerti diri sendiri didalam keindahan.
VI. Seni suara mengandung seni cipta, ciptaan dan sipenerima. Sipencipta adalah jiwa orang dan ciptaan adalah lagu-lagu dan sipenerima adalah jiwa orang lain melalui indera pendengaran. Jadi seni suara ialah perhubungan jiwa dengan jiwa dengan lagu-lagu sebagai alat dan indera pendengaran sebagai perantara
VII. Jiwa mencipta lagu artinya jiwa menggetar, dan getaran itu mewujudkan lagu. Selanjutnya getaran yang berwujud lagu itu melalui indera pendengaran mengenai jiwa lain yang merasakan lagu itu. Apabila jiwa yang menerima itu dapat memperhatikan lagu tersebut dengan penuh dan tidak dengan gangguan getaran sendiri, maka dapatlah jiwa itu merasakan rasa lagu itu seperti rasanya sipencipta.
VIII. Dengan lain perkataan, apabila sipenerima dapat mempersatukan diri dengan lagu itu, maka dapatlah ia merasakan lagu itu seperti rasanya sipencipta. Penerima seni suara didalam keadaan demikian sering-sering disebut mabok (fana). Perkataan mabok disini tidak berarti jelek.
IX. Didalam keadaan mabok perasaan sipenerima itu dikuasai oleh rasa lagu itu, tidak dapat mengendalikan diri. Hal ini dapat dilihat pada anak-anak waktu mendengar gamelan yang biasanya untuk menari, lantas mulai menari atau waktu anak-anak itu berjalan-jalan dan mendengar lagu yang biasanya untuk berbaris, lantas melaraskan langkah kakinya dengan lagu itu. Jadi perasaan itu mudah dipengaruhi atau dikuasai oleh lagu-lagu.
X. Apabila orang itu kerap kali dan bisa mendengar salah satu macam lagu, maka menjadi kebiasaanlah perasaan yang selaras dengan lagu itu. Pada hal perasaan itu menimbulkan tindakan. Jadi lagu-lagu itu mempunyai pengaruh mendidik orang.
XI. Oleh karena itu maka haruslah kita menilik atau mencipta lagu-lagu yang menimbulkan perasaan yang luhur-luhur dan memberantas lagu-lagu yang menimbulkan perasaan yang rendah-rendah. Umpamanya lagu-lagu yang menimbulkan perasaan asmara yang selanjutnya mungkin merusakkan rasa kesopanan itu harus diberantasnya. Jadi lagu-lagu itu ada yang menimbulkan perasaan yang luhur-luhur dan ada yang menimbulkan perasaan yang rendah-rendah.
XII. Jadi lagu-lagu yang menimbulkan perasaan yang luhur-luhur dapat disebut lagu-lagu luhur, yang menimbulkan perasaan yang rendah-rendah dapat disebut lagu-lagu rendah. Lagu-lagu luhur mempengaruhi baik bagi orang dan lagu-lagu rendah mempengaruhi tidak baik bagi orang. Jadi lagu-lagu itu bertingkat-tingkat, rendah, sedang (biasa) dan luhur.
XIII. Lagu-lagu rendah ialah lagu-lagu yang menimbulkan perasaan yang rendah-rendah, misalnya perasaan marah (kemropok) asmara yang merusak kesopanan dan sebagainya. Lagu-lagu sedang ialah lagu-lagu yang menimbulkan perasaan biasa, misalnya perasaan gembira, kesusahan, ngelangut dan sebagainya. Lagu-lagu luhur ialah lagu-lagu yang menimbulkan perasaan luhur-luhur misalnya perasaan bakti dan alam yang agung, cinta pada alam dan sesama hidup, keinsyafan hidup dan heran terhadap alam.
XIV. Begitulah corak bangsa kita jaman dahulu didalam kebudayaan batin bagian seni rupa, yang selaras dengan seni patungnya yang terdapat didalam candi Borobudur dan Prambanan. Patung-patung Siwa, Durga, dan Wisnu di Prambanan dan Buda di Borobudur dan patung-patung di Mendut roman mukanya menunjukkan perasaan hidup diluar panca indera. Jadi jaman dahulu seni suara dan seni patung kita sama tinggi dan sederajatnya.
XV. Sebegitulah tinggi dan dalamnya kebudayaan batin kita dijalan dahulu. Tentu saja dizaman jajahan merosotkan kebudayaan kita segala-galanya, sehingga bekas-bekasnya tinggal sebagai mayat. Untunglah bagi kita bangsa Indonesia, bahwa mayat-mayat itu masih mempunyai kekuatan untuk menimbulkan hasrat guna membangun kembali, apabila ada kesempatan.
XVI. Untunglah kesempatan itu sekarang terbuka didalam zaman merdeka. Pun pula didalam zaman merdeka itu tumbuhlah hasrat didalam sanubari kita untuk membangun kembali kebudayaan batin kita. Tentu saja wujud yang seperti Borobudur tidak akan terulang lagi.
B.Â
I. Karena wujud kelahiran kebudayaan batin adalah menurut zaman, padahal zaman abad dua puluh sekarang ini bangsa-bangsa saling tukar-menukar kebudayaan. Jadi wujud kelahiran kebudayaan batin kita tentu akan dipengaruhi oleh luar negeri.
II. Alhasil mudah-mudahan sumbangan kami yang seperti anak kecil yang mempersembahkan gangsir kepada bapaknya, yang rasanya menunjukkan telah menangkap gangsir, dapat diterima rasanya.
Penulis: Ki Ageng Suryomentaram
Editor: Agung Purwandono
Sumber: Warung Arsip
Â
BACA JUGA Pak Kasur tentang Anak-anak yang Kekurangan Hiburan dan tulisan lain di Rubrik ESAI.
Â
Â