MOJOK.CO – Usmar Ismail, yang dikenal sebagai Bapak Film Nasional punya kisah berkesenian lain sebelum Indonesia merdeka. Tahun 1943, saat usianya baru 22 tahun ia bekerja di Keimin Bunka Sidosho atau Pusat Kebudayaan Jepang. Tak ingin dikekang Jepang, tahun 1944 ia mendirikan kelompok sandiwara yang ia namakan Sandiwarapenggemar “Maya” yang menyuarakan kebangsaan, kemanusiaan, dan ketuhanan.
Esai ini ditulis oleh Hans Bague Jassin atau HB Jassin yang dikenal sebagai Paus Sastra Indonesia di Majalah Mimbar Indonesia 19 Maret 1949. HB Jassin menceritakan sosok Usmar Ismail sebelum jadi orang film.
Sandiwarapenggemar “Maya”
Oleh HB Jassin
Salah satu pekerjaan balatentara Dai nippon sesudah pendaratannya di Pulau Jawa dalam bulan Maret 1943, ialah membentuk suatu badan kebudayaan propaganda yang dinamakan “Keimin Bunka Shidosho” atau “Pusat Kebudayaan” yang mulai bekerja bulan April 1943. Di dalam badan itu dikumpulkan seniman-seniman di segala lapangan guna menyumbangkan tenaga rohaninya untuk membantu perang total Dai Nippon.
Betapa luas daerah kebudayaan yang hendak dikuasainya itu, ternyata dari bagian-bagian Pusat Kebudayaan itu, yakni Senisastera, Senisuara, Senirupa, Sandiwara dan Film, empat yang tersebut pertama bekerja rapat yang satu dengan yang lain.
Di sinilah terjadi sajak-sajak, cerita-cerita, lagu-lagu, lukisan-lukisan dan cerita-cerita sandiwara yang berisi propaganda untuk menguatkan semangat perang dan menggiatkan usaha pembangunan di garis belakang guna kepentingan cita-cita kemakmuran bersama di Asia Timur Raya yang berpusat di Tokio.
Tidak perlu diterangkan bahwa jiwa seniman yang bebas lama kelamaan tidak bisa terus ditempa dialirkan ke hanya satu tujuan yang tidak pula mempunyai sumbernya pada kesadaran bangsa yang dalam. Fonds negeri yang kuatpun tidak bisa membeli kemerdekaan jiwa seniman itu.
Baca Juga: 15 Film Indonesia Terbaik yang Penting dan Tidak Boleh Dilupakan
Di dalam tekanan jiwa yang demikian itulah maka terlahir Sandiwarapenggemar “Maya” pada paroh kedua tahun 1944, yang mulai menyelenggarakan sandiwara-sanidwara radio dan sandiwara-sandiwara panggung serta membacakan cerita-cerita pendek di depan corongradio. Maya artinya bayangan atau impian, dunia yang dicita-citakan. Apakah isinya cita-cita ini? Ialah kebangsaan, kemanusiaan dan ke-tuhanan. Pengucapan jiwa yang sewajarnya bagi suatu bangsa yang ditindas dan hidup dalam kesengsaraan.
Tidak mudah bagi “Maya” untuk melancarkan bahteranya menghadapi suatu kekuasaan yang terang-terangan mengakui dirinya facist, dan tidak membiarkan setiap gerakan yang akan merugikan kepentingannya. Tapi berkat kebijaksanaan pengurusnya dapatlah juga “Maya” berjalan selamat, sehingga menjadi suatu kekuatan yang tersendiri di luar Pusat Kebudayaan yang resmi.
Dan di sinilah terjadi suatu keadaan di mana sebagian seniman-seniman karena terpaksa – berhenti dari jabatan berbarti kurungan dan siksaan dalam Kenpeitai – tetap menjadi pegawaitukang di Pusat Kebudayaan tapi untuk mencari kemerdekaan jiwanya menggabungkan diri dengan gerombolan Sandiwarapenggemar “Maya” yang meskipun bekerja dalam garis-garis kemungkinan yang ada, dalam isi lebih mengutamakan penanaman rasa kebangsaan dan kemanusiaan serta keinsyafan ketuhanan.
Pertemuan-pertemuan angkatan muda sasterawan yang saban bulan diselenggarakan oleh Pusat Kebudayaan sesudah setahun lamanya terpaksa dihentikan karena kekurangan perhatian. Sebaliknya “Maya” semakin kuat juga, karena selain mengadakan sandiwara-sandiwarapanggung dan radio serta cerita-cerita yang memberi kesempatan kepada seniman-seniman angkatan sasterawan muda untuk mengembangkan bakatnya, pun juga bagian senitari, dan senisuara yang diadakan sebagai selingan dan ilustrasi, menarik seniman-seniman dalam lapangan itu pula untuk masuk ke dalam “Maya”.
Baca Juga: Film Reboot dan Peluang Balikan dengan Mantan
Demikianlah “Maya” telah bisa mempertunjukkan tiga sandiwara besar karangan Dr. El Hakim, yakni “Taufan di Atas Asia”, “Intelek Istimewa”, dan “Dewi Reni”, serta satu tonil karangan Ibsen “De Kleine Eyolf” yang disadur oleh Karim Halim menjadi “Djeritan Hidup Baru”. Dari Usmar Ismail telah dipertunjukkan Sandiwara Radio: “Pamanku”, “Tempat Yang Kosong”, dan “Mutiara Dari Nusa Laut” serta sandiwara panggung “Liburan Seniman”. Demikian besarnya kegembiraan dalam kalangan “Maya” dan perhatian dari kalangan masyarakat, sehingga pernah “Maya” diundang memainkan lakon “Taufan di Atas Asia” di Kota Bandung..
Insaf akan kekurangan-kekurangan dalam kesandiwaraan, pemimpin “Maya”, Usmar Ismail dibantu oleh Rosihan Anwar, senantiasa melakukan percobaan-percobaan untuk memperbaiki cerita, permainan, dekor, dan teknik sandiwara, sehingga “Maya” merupakan suatu sandiwarapenggemar percobaan yang lebih maju dari sandiwara-sandiwaratetap tatkala itu, terbukti dari penghargaan besar dari pemimpin sandiwara “Bintang Surabaya” Njoo Cheong Seng.
“Liburan Seniman” adalah lukisan perjuangan cita-cita kesandiwaraan seperti yang dikehendaki oleh “Maya” sebagai lawan cara-cara sandiwara lama yang telah usang. Demikian juga ketiga lakon Dr. El-Hakim adalah contoh lakon-lakon yang lain komposisinya, isinya dan cara membawakannya dari yang selama ini dilihat orang di atas panggung. Proolog dan epiloog, percakapan-percakapan mendalam yang agak panjang, diksi yang tidak dibikin-bikin seperti dalam kebangsawanan, adalah percobaan-percobaan baru dalam kesandiwaraan Indonesia.
Baca Juga: Rekomendasi Film Tepat yang Membantumu Self Healing Versi Hemat
Dalam hubungan ini pula harus dilihat percobaan mempertunjukkan salah satu lakon internasional dari Henrik Ibsen yang ternyata sadurannya bisa dimainkan dengan sangat baik oleh-pemain-pemainnya dan telah mengagumkan penonton-penonton intelektual Indonesia.
Baik juga diketahui bahwa pertunjukan Ibsen ini dengan sangat susah payah baru lolos dari sensor Jepang “Hodahan” yang menaruh keberatan oleh karena pengarangnya orang Barat. Pada naskah yang kembali dari sensor ditulis catatan seperti berikut: Perhatikan! Kata-kata papa dalam cerita ini harus diganti dengan bapak atau ayah… suatu bukti betapa telitinya mereka hendak menghilangkan segala yang berbau barat.
Selain dalam lapangan sandiwara oleh “Maya” juga dicari kemungkinan-kemungkinan baru dalam lapangan senisuara. Dalam pertunjukan sandiwararadio dan pembacaan cerita pendek di muka radio selalu dipergunakan musik sebagai ilustrasi, begitu juga di dalam “Dewi Reni” dipertunjukkan suatu seni deklamasi dengan disertai bunyi piano oleh C. Simandjuntak almarhum, telah dibentuk suatu koor dan diusahakannya suatu opera “Madah Kelana” kerjasama dengan Sanusi Pane.
Sayang sekali opera itu tidak sempat disiapkannya, karena pecahnya revolusi, tapi sebagian dari opera itu telah dipertunjukkan juga oleh “Maya” yakni “Tari Rhapsodi” suatu tarian bidadari dengan musik yang menghanyutkan.
Baca Juga: Ngobrolin Resep ‘The Science of Fictions’ Menang FFI tanpa Dialog
Yang nyata ialah bahwa geopolitik Kebudayaan Jepang yang mau memusatkan segalanya ke Timur, telah gagal, karena jiwa merdeka mau mencari kebenaran dan keindahan ke seluruh jagat. Apakah yang hendak dibikinnya, kalau mau buat proolog, dan epiloog pada “Taufan di Atas Asia” yang lakonnya bernafaskan keTuhanan dipergunakan ilustrasi musik Beethoven atau Pastorale Oups 68? Sebaliknya tidak ada suatu kekuasaanpun yang bisa memaksa kita hanya melihat ke Barat saja sebab di Timur pun banyak keindahan yang bisa dijadikan ramuan untuk kebudayaan Indonesia.
Sekarang “Maya” telah muncul kembali, dalam cita-citanya tetap hendak mencapai yang setinggi-tingginya bisa tercapai dalam kesenian Indonesia.
Pada tanggal 22 dan 23 Maret yang akan datang “Maya” akan mempertunjukkan lakon Usmar Ismail: “API” di Gedung Komidi (Schouwburg) jakarta ialah lakon yang pernah dipertunjukkan juga oleh sandiwara tetap “Pantja Warna”. (***)
Penulis: HB Jassin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Maria Ulfa, Perempuan yang Tumbuh dalam Dinamika Politik Internasional di rubrik ESAI.