Ia adalah kabar gembira.
Selaku networker kebudayaan kontemporer, Dhani punya jaringan yang melingkupi hampir semua disiplin dan terkesan ringan saja menghubungkan orang-orang, seakan dirinyalah yang dulu dijanjikan Nokia lewat jargon connecting people. Sebagai pesohor media sosial, pelbagai soal yang dikomentarinya tak butuh waktu lama untuk kebanjiran perhatian. Sebagai pendebat, ya Tuhan, saya kira Cicero yang masyhur pun bakal menjura sambil berkata “Gusti, beranjaklah dari sini, telah kau cemoohkan tangis pada mataku” di hadapan beliau.
Tetapi di atas semua pencapaian itu, sepak-terjang Arman Dhani selaku penulislah yang utama. Ia sanggup menulis tentang apa saja yang mungkin merisaukan kita, mulai dari hukuman mati hingga Megawati, mulai dari ideologi ISIS hingga derita berkarat para anggota Gilda Pemuda Penyayang.
Meski ia amat produktif (seseorang sampai menjulukinya pemakan bangkai; tapi terus terang saja, itu julukan yang keji sekali dan orang yang sanggup memberikan julukan sekeji itu mesti segera dikirimkan ke lubang biawak dengan karcis satu jurusan), kita tahu Dhani berusaha tak membosankan pembacanya. Beragam gaya dan teknik penulisan telah ia jajal. Sebagian berhasil, sebagian naas, tapi toh menulis memang tak pernah gampang dan itu tidak mengurangi nilai penting keberadaan Dhani di sekitar kita.
Beberapa pekan silam Mojok menerbitkan surat cinta Dhani kepada Dwitasari. Bagi yang belum tahu, Dwitasari adalah seorang penulis alakadarnya yang membangun karir di atas setumpuk gimmick idiot ala televisi. Sebagaimana lazimnya surat cinta, yang disampaikan Dhani adalah perpaduan mengharukan dari sedikit rayuan, sedikit rajukan, godaan-godaan kecil yang sengaja diselipkan di sejumlah tempat namun terkesan alamiah, sejumlah truisme, dan ditutup dengan pernyataan yang menunjukkan amarah sekaligus rasa sayang.
Lewat tulisan itu, kita tahu sebenarnya Dhani kesulitan membedakan antara menjiplak, meniru, dengan menyadur. Tapi itu bukan masalah. Yang tak bisa dilakukan oleh seseorang bakal dikerjakan oleh orang lain.
Apabila semasa kecil Anda gemar menangguk ikan di sungai bersama teman-teman, Anda akan mengerti bahwasanya yang dilakukan Dhani itu serupa menghalau ikan-ikan agar berenang menuju tangguk. Itu tugas yang memerlukan daya tahan besar. Seorang pengarak mesti menutup segala kemungkinan selain yang telah ia siapkan, dan itu berarti ia tak boleh segan membikin ribut, menepuk-nepuk air dengan kayu, menghentakkan kaki ke sana kemari, berkubang di air keruh, sementara pihak yang memegang tangguk berjaga sambil tertawa-tawa.
Saya jarang sekali mengubah pendapat saya tentang orang lain, dan Arman Dhani adalah satu dari sedikit perkecualian.
Tulisan pertama Dhani yang saya baca adalah 5 Buku Tidak Layak Terbit 2012 yang ditayangkan Jakarta Beat. Karena tulisan jelek selalu membuat saya minder, saya jadi malas mencari tahu siapa Dhani dan membaca tulisan-tulisannya yang lain—yang mungkin saja lebih baik.
Namun pikiran itu berubah beberapa bulan silam, saat saya secara tidak sengaja menemukan tulisan Dhani tentang buku puisi Irwan Bajang, Kepulangan Kelima. Saya tahu ia sebetulnya tak paham-paham amat tentang puisi, tapi tulisan itu tidaklah buruk. Dan yang lebih penting: sementara kebanyakan orang menggambarkan keadaan kritik sastra di Indonesia dengan keterangan-keterangan suram seperti mampet, remuk-redam, mati suri, dan sebagainya, Dhani mengerjakan satu-satunya hal yang perlu dilakukan: menulis kritik. Dan keputusannya membahas karya penyair muda seperti Bajang adalah nilai lebih.
Belum lama ini Dhani juga menulis tentang Hiatus, kumpulan puisi berbahasa Inggris karya Dwiputri Pertiwi.
Kita tahu, hubungan antara mayoritas pembaca Indonesia dengan puisi cenderung mengkhawatirkan. Lihat saja bagaimana film-film kita, mulai dari Ada Apa dengan Cinta hingga Tendangan dari Langit memotret karakter-karakter yang gemar membaca buku puisi: kalau bukan penderita sembelit yang tindak-tanduknya jauh dari kewajaran macam Rangga, ya, imbisil yang tidak sanggup menahan hasrat untuk berdeklamasi.
Itu baru pembaca puisi-puisi berbahasa Indonesia, lho. Lalu ingatlah ungkapan norak pribumi ketika mendapati temannya membaca buku berbahasa Inggris: “Ciee, bacaannya bahasa Inggris.” Jika situasi itu berlanjut, bukan tidak mungkin suatu saat nanti Anda diguyur disinfektan oleh segerombol orang gara-gara kedapatan membaca William Blake di tempat umum.
Bagi saya, tulisan Dhani tentang Kepulangan Kelima dan Hiatus, sedikit-banyak, adalah usaha mendekatkan puisi kepada penerimaan yang wajar. Orang-orang lugu perlu dibangunkan dan diberitahu bahwasanya karya yang bagus, ditulis dalam bentuk dan bahasa apa pun, tetap saja bagus dan perlu dibaca.
Kembali ke perumpamaan menangguk ikan tadi: jika kesusastraan Indonesia diibaratkan sebagai sebuah sungai dan bidang-bidang lain sebagai sungai-sungai lain, jelaslah bahwa Arman Dhani, pria yang di masa mudanya pernah mendaku liyan itu, telah mempermudah urusan banyak orang—mulai dari kaum beragama cinta damai hingga pejuang hak-hak perempuan, mulai dari kelompok-kelompok musik kurang populer hingga para pendukung Manchester United cabang dalam negeri yang setengah mati menelan kebanggaan mereka sendiri dan mulai sibuk membicarakan fosil alih-alih sepakbola—dengan perannya sebagai pengarak yang tak keberatan menceburkan diri ke sungai mana pun.
Bertahun-tahun lalu, ketika saya berangkat merantau, tukang ojek yang mengantarkan saya ke pelabuhan menyampaikan dua petuah. Pertama, jangan tinggalkan salat. Kedua, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang-orang lain. Saya telah mengabaikan nasihat yang pertama sedikitnya ribuan kali dan tidak setuju dengan yang kedua. Menurut saya, sebaik-baiknya manusia adalah Jessica Veranda Ayana Shahab.
Tapi begini: seandainya Anda pun pernah menerima nasihat semacam itu dan hendak menjalankannya, namun tidak kunjung mengerti apa yang perlu dilakukan agar “bermanfaat bagi orang lain”, Arman Dhani barangkali bisa dijadikan suri teladan.