Apalah Arti Kenaikan Tarif Commuter Line Dibanding Kabar Mario Teguh, Ahok, Jessica, Young Lex, dan AwKarin

Apalah Arti Kenaikan Tarif Commuter Line Dibanding Kabar Mario Teguh, Ahok, Jessica, Young Lex, dan AwKarin

Apalah Arti Kenaikan Tarif Commuter Line Dibanding Kabar Mario Teguh, Ahok, Jessica, Young Lex, dan AwKarin

AwKarin beres merilis video klip barunya dengan Young Lex, Mario Teguh sedang lucu-lucunya dengan Kiswinar, Ahok tengah lelah jual mahal hingga takluk di pelukan panas PDIP, dan Jessica Kumala Wongso masih sibuk syuting reality show di pengadilan, saat saya menulis racauan ini.

Keempat hal itu sebetulnya jadi sesepele kabar kucing tetangga sebelah berhasil melahirkan enam dedek kucing emesh semalem dan paginya saya tetap hidup baik-baik saja, biasa-biasa saja, seperti biasanya. Tokoh-tokoh di atas memang tidak spesial-spesial amat, terlebih untuk anak rantau yang belum ada tiga tahun di sekitaran ibukota seperti saya.

Sebagai pendatang, barangkali saya lebih konsen mengurusi sebutan aku-kamu-gue-elo yang nyatanya cukup rumit di sini. Bagaimana tidak, sedikit-sedikit dibilang ngerespon positif bribikan lakik ketika saya latah menyebut aku-kamu, di sisi lain saya masih terlampau medok untuk bilang gue-elo.

Tapi, sudahlah, semestinya ada hal lain yang lebih darurat kita bahas dibanding hal-hal remeh itu: mulai 1 Oktober 2016 tarif kereta rel listrik (KRL)—atau versi Londonya: commuter line—Jabodetabek resmi naik sebesar 1000 rupiah.

Dalam konferensi pers terkait penyesuaian tarif KRL kemarin, Zulfikri (Direktur Lalu Lintas Ditjen Kereta Api Kementerian Perhubungan) menyatakan bahwa kenaikan tarif berlaku pada litas 1-25 km pertama, tarif setelahnya tidak ada perubahan.

Sederhananya, jika kamu biasanya mengeluarkan uang 2000 rupiah untuk perjalanan Bogor-Depok, maka mulai Oktober besok akan dikenakan biaya sebesar 3000 rupiah (saja). Apakah berdampak signifikan?

Sebagai pelanggan setia sekaligus pecinta KRL—seperti halnya kamu yang mencintai senja dan hujan dan batu akik dan oncom dan jarum penthul—pertanyaan di atas tentu saja menarik serta lebih berdampak dibanding Awkarin dan Mario Teguh dan Kiswinar dan Jessica dan Ahok dan puisi Jonru. Eh.

Kamu mungkin akan selo membatin, apalah arti uang seribu, membayar tarif buang air di toilet dua kalinya aja kita lega-lega aja kok. Apa memang iya? Coba kita cermati terlebih dahulu, barangkali kenaikan tarif ini butuh kita perhatikan selain perihal puisi Jonru dan ekspresi Anies Baswedan yang malu-malu tapi mau itu.

Mari kita tengok satu per satu terlebih dahulu siapa saja klan atau penghuni tetap commuter line.

Klan pertama bisa kita mulai dari kelompok manusia kelelawar yang pulang-pergi kerja dengan bergantung pada besi panjang berjalan ini. Manusia-manusia yang membuat Jakarta hidup, dan sebaliknya dalam anggapan mereka—Jakarta yang membuat mereka bisa hidup.

Mereka rela mendesak dan berdesak-desakan di KRL, rela menyeret kantuknya bersama dengan ketergesaan naik turun penumpang di setiap stasiun, dan rela menjadi penyetia KRL demi sesuap harapan dan segepok rupiah untuk anak-anak mereka yang bersekolah dan anak-anak mereka yang tidak mampu bersekolah.

Jadi apalah arti kenaikan tarif seribu rupiah, jika dengan bersetia dengan KRL mereka tetap bisa menghemat dan mengakali biaya transportasi.

Saya sering berpikir bahwa gerbong perempuan diciptakan sebagai lapangan bola untuk para kaum Hawa. Tempat di mana setiap perempuan merasa berhak atas tempat duduk, sampai terkadang harus saling sikut dan bertengkar dalam hati.

Hal ini juga yang saya kira mengkontruksi klan kedua: mamah-mamah super yang siap jadi lebih super lagi. Dan biasanya mereka akan menghindari gerbong perempuan jika terlalu lelah bermain perasaan dengan mbak-mbak yang tertidur—dalam keadaan tidak ngantuk sekalipun.

Manusia super ini akan masuk ke gerbong umum dan membuktikan kekuatannya. Laki-laki tidak peka sekalipun barangkali akan mengalah dalam sekali tatap. Barangkali yang mampu survive dan tetap mempertahankan tempat duduknya hanya mas-mas yang sudah terbiasa dengan rasa sakit dan patah hati.

Maka apalah arti kenaikan seribu rupiah, jika dengan ber-KRL saja mamah-mamah ini bisa berubah menjadi superwoman tanpa harus berganti kostum.

Klan ketiga adalah manusia-manusia luar kota pembawa koper besar.

Stasiun Gambir, Pasar Senen, Jakarta Kota, dan Jatinegara adalah stasiun tempat pemberangkatan kereta jarak jauh. Selain stasiun Gambir, semuanya bisa dicapai dengan menggunakan KRL secara langsung.

Jadi jangan heran jika di dalam kereta, bukan saja mbak-mbak yang bawa tas kresek hitam gedhe berisi belanjaan dari tanah abang atau mas-mas yang bawa kardus besar berisi barang elektronik dari glodok, tapi juga manusia-manusia pembawa koper dan ransel besar untuk mudik atau sekedar berkunjung ke luar kota.

Seribu rupiah tentu saja tidak sebanding dengan besarnya rupiah yang harus dipotong jika mereka membatalkan tiket kereta api jarak jauh—sampai saat ini masih sebesar 25%. Dua puluh lima persen dari dua ratus ribu bisa tentu bisa kamu pakai buat nyarter odong-odong hias dan muter-muter alkid dengan pacar kamu—atau bukan pacar kamu.

Klan keempat dedek-dedek emesh penghuni kampus. Barangkali, mahasiswa dan mahasiswi ini menjadi penyetia KRL karena kampus mereka sangat mudah dijangkau dengan KRL, misalnya UI, UP, dan IKJ.

Atau alasan lain: terlalu letih dengan keajaiban-keajaiban yang akan mereka temui di jalan raya lebih lama jika tanpa KRL, semisal transjakarta yang harus bersitatap—nggak hanya berdampingan, tapi ber-a-d-u-ma-ta—dengan roda dua yang melawan arus di jalur busway, atau keajaiban lainnya: lampu bangjo yang mendadak kehilangan kehormatan gegara silau warnanya tidak lagi dilihat dan dimaknai, dan malah dibelakangi oleh pantat-pantat kendaraan dari pengendara ndableg.

Jadi apalah arti kenaikan seribu rupiah oleh sejumlah mahasiswa penyetia KRL, dibanding harus memutuskan turun ke jalan raya lebih lama dan turut menciptakan keajaiban-keajaiban lain di atas dalih melarikan diri dari kemacetan.

Sebagai penutup, mari bertanya sekali lagi: Apakah kenaikan seribu rupiah commuter line perlu dianggap lebih penting dibanding kasak-kusuk gosip seputar Awkarin, Mario Teguh, Kiswinar, Jessica, Ahok atau puisi Jonru? Atau lebih baik dibiarkan saja?

Toh hanya seribu. Belum dua ribu, belum lima ribu, belum sepuluh ribu, dan terutama: belum ada gerbong kereta yang dibajak…

Exit mobile version