MOJOK.CO – Jatuhnya Presiden Gus Dur pada Juli 2001 seharusnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Karena jabatan Gus Dur itu seharusnya milik Megawati.
Bagi penulis atau sejarawan, menemukan dokumen tanpa sengaja, atau tanpa kerja keras ibarat memperoleh durian runtuh. Begitulah yang terjadi pada penulis Virdika Rizky Utama, ketika menemukan surat yang ditulis Fuad Bawazier kepada Akbar Tandjung, dua tokoh politik dari masa yang telah lewat.
Surat empat lembar itu kemudian dikembangkan oleh Virdika menjadi sebuah buku, dan beberapa tulisan pendek, dan sebagaimana kita tahu, mendapat respons gila-gilaan dari publik tapi tidak dari media massa mainstream.
Apa yang dialami Virdika, mirip dengan yang pernah dialami Jess Melvin, seorang peneliti sejarah genosida 1965, ketika secara tidak sengaja menemukan setumpuk dokumen setebal 3000 halaman.
Bagi yang pernah meneliti sejarah, tentu bisa membayangkan, apa yang bisa kita perbuat dengan dokumen sedahsyat itu. Seperti Jess Melvin sendiri, berkat dokumen tersebut bisa menyusun disertasinya pada Universitas Melbourne (2014).
Surat empat lembar yang ditemukan Virdika tersebut, adalah “bahan mentah” yang bisa ditafsirkan atau diproses sesuai kepentingan penggunanya. Salah satunya telah dimanfaatkan (utamanya) pendukung Gus Dur, sebagai apologia atas tindakan Gus Dur selama sekitar dua tahun menjadi Presiden, termasuk bagaimana proses Gus Dur naik sebagai Presiden.
Dalam pandangan saya, baik Gus Dur maupun Megawati (yang kemudian menggantikannya), meminjam istilah remaja Jakarta, keduanya beda-beda tipis (BBT) dalam memandang kekuasaan. Demikian juga dengan dua tokoh lain, yakni Amien Rais dan Sri Sultan HB IX (bersama Gus Dur dan Megawati) yang pada 1998 dijuluki sebagai kuartet tokoh Reformasi.
Lumrah rasanya kalau keempat tokoh ini sama-sama memiliki hasrat kekuasaan—tegasnya sebagai presiden.
Amien Rais sangat jelas begitu berminat sebagai presiden, hanya sayang kurang beruntung pada 2004. Sementara Sri Sultan HB X memang tidak perlu bersusah-payah memburu posisi RI-1, karena sudah stabil posisinya sebagai “DIY-1”. Terlalu berisiko bila memaksakan maju pilpres dan kemudian kalah, citranya bisa jatuh di mata warga Jogja.
Hasrat yang sama juga terjadi pada nama-nama yang tertulis dalam surat yang ditemukan Virdika. Seperti Fuad Bawazier, Akbar Tandjung, Arifin Panigoro, dan seterusnya, termasuk politisi muda (pada saat itu) Priyo Budi Santoso.
Pendeknya, negeri ini tidak pernah kekurangan nama yang berambisi menjadi presiden, soal pantas atau tidaknya, tentu perkara lain lagi.
Seperti yang bisa kita saksikan pada Akbar Tandjung hingga kini, meski hanya sebatas di lingkup Golkar, Akbar Tandjung masih bisa menyalurkan hasrat kekuasaannya, dengan selalu duduk deretan depan dalam setiap acara Golkar.
Sama sekali tak terbayangkan, bagaimana kelak Akbar Tandjung duduk pada deretan kedua atau tengah dalam acara internal Golkar. Bila itu terjadi, tentu sebuah beban moril yang tak terperi bagi Bang Akbar.
Dari narasi di atas bagaimana kita harus membaca peralihan kekuasaan dari Gus Dur pada Megawati pada pertengahan tahun 2001?
Rasanya tidak ada yang istimewa kalau Gus Dur jatuh karena intrik dan rekayasa politik di lingkaran elite. Bukankah itu sudah biasa terjadi sejak dulu?
Apakah kita bisa mengatakan, bahwa Habibie jatuh tanpa ada rekayasa dan intrik yang mengiringinya? Termasuk pula bagaimana saat Gus Dur terpilih sebagai Presiden pada Oktober 1999? Kejatuhan Gus Dur masih jauh lebih bagus ketimbang kejatuhan Bung Karno dulu, yang harus dilalui dengan cara berdarah-darah.
Saya ingin meminjam konsep “karma” untuk menjelaskan kejatuhan Gus Dur pada Juli 2001. Dengan dukungan “poros tengah”, Gus Dur tega menelikung Megawati, yang sebelumnya dicitrakan sebagai kawan seperjuangannya sejak era Orde Baru.
Pada pemilihan presiden (saat itu melalui parlemen) Oktober 1999, seharusnya Megawati yang paling berhak menjadi presiden. Berdasar fakta lapangan, PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 1999. Namun dengan berbagai alasan (baca: intrik), maka persepsi diolah sedemikian rupa agar Gus Dur yang terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Ketika Gus Dur bersedia kompromi dengan poros tengah, dengan motornya Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra, tentu Gus Dur sadar, bahwa dirinya memang sangat berhasrat menjadi presiden.
Soal bagaimana Gus Dur tega meninggalkan Megawati, bagi saya tetaplah sebuah misteri. Yang bisa saya katakan, Gus Dur bersikap pragmatis. Seperti bunyi pepatah yang berasal Inggris, now or never.
Pada akhirnya barisan pendukung Gus Dur tidak perlu mellow bila membaca surat empat lembar tersebut. Seperti kata orang bijak, selalu ada hikmah di balik semua kejadian, dalam hal ini periode singkat pemerintahan Gus Dur, termasuk durasi kekuasaan Megawati juga.
Dengan durasi singkat, keduanya berhasil terhindar dari jebakan candu kekuasaan dan rasa jenuh masyarakat.
Coba bandingkan dengan pemimpin lain, yang masa berkuasanya lebih lama. Intrik yang terjadi relatif lebih sulit untuk bisa dibongkar. Sedangkan dalam kepimpinan Gus Dur dan Megawati—saat keduanya gantian menjadi presiden—intrik yang terjadi relatif lebih mudah untuk diurai dan dibaca.
Tak percaya? Coba saja tanyakan pada Virdika Rizky Utama.
BACA JUGA Gus Dur Bukan Dilengserkan ‘HMI Connection’ tapi Akbar Tandjung Connection’ atau tulisan Aris Santoso lainnya.