Antara Ahok dan Manchester United

Antara Ahok dan Manchester United

Antara Ahok dan Manchester United

Salah satu tautan viral di Facebook adalah soal kejayaan orang-orang yang menyebut dirinya generasi 1970 hingga 1990-an. Mereka membagikan tautan tersebut seolah-olah generasi sesudah itu adalah sebenar-benarnya generasi yang hanya bergantung kepada gawai. Lantaran terlalu sibuk membagikan tautan tersebut, mereka sepertinya lupa bahwa anak-anak mereka juga mengerti soal gawai ya karena dikasih sama mereka sendiri. Ya, toh?

Nah, salah satu keniscayaan bagi generasi tersebut adalah sebuah klub bernama Manchester United. Terlebih bagi mereka yang bertumbuh kembang sebagai balita makmur pada era 1990-an, tentu sangat memahami betapa masyhurnya Emyu.

Bayangkan: dari musim 1992/93 hingga 2001/02, nama MU muncul 7 kali sebagai juara dan 2 kali sebagai juara kedua. Hanya di musim 2001/02, Emyu enggak nongol di dua besar. Hanya Blackburn Rovers (94/95) dan Arsenal (97/98 dan 01/02) saja yang mampu menggoyang hegemoni Emyu.

Namun demikian, terlalu jagonya Setan Merah ketika itu ternyata menciptakan dua kubu. Fans Emyu garis keras, misalnya, yang sebagian di antaranya hobi menegakkan kerah bak Eric Cantona dan kerap memajang poster David Beckham di kamarnya.

Kubu lainnya bagaimana? Nah, ini. Ternyata ada gerakan bernama ‘Anyone but United’ yang seringkali disingkat ABU. Dalam perspektif kenusantaraan, ABU itu kiranya bermakna ‘Pokoknya Bukan MU’.

Sebagaimana namanya, gerakan ini bercita-cita menginginkan Emyu menjalani laku anti kemapanan. ABU akan menyebut penggemar Emyu lainnya semata-mata hanya glory hunter. Persis siapa gitu ada pesohor ganteng yang selalu bisa mencari celah dalam setiap aktivitas Presiden.

Pada sisi lain, para United Fans–atau sesekali disebut Manchunian, meski konon Manchunian itu merujuk pada orang yang lahir dan besar di Manchester–sering menghina pilihan hidup para pengikut ABU karena mendukung sesuatu tanpa tujuan yang jelas. Macam apa itu?

Maka, dengan posisi klasemen Liga Inggris seperti sekarang di mana Emyu berada di nomor 6–persis mengekor West Ham United seperti dua musim sebelumnya–jelas para penganut ABU bahagia.

Bagaimana tidak senang, sebab ternyata ada sebuah musim di mana Emyu takluk melulu oleh tim besar maupun tim kecil. Sementara untuk musim lalu–terlepas dari posisi Emyu yang membaik–pembelian gagal atas nama Angel di Maria dan peminjaman absurd Radamel Falcao, Emyu juga tetap menjadi bulan-bulanan para penganut ABU.

Ya, pokoknya 3 musim ini orang-orang yang lantang berteriak ‘yang penting bukan Emyu’ memang sedang hepi-hepinya.

Ihwal ABU ini kiranya tampak pula dalam konstelasi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Seperti saya baca di Kompas.com (30/03/2016), Habiburokhman, salah seorang inisiator Tim Jakarta Bergerak, menyatakan:

“Melihat track record hampir 5 tahun Ahok memimpin DKI, dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada Ahok, kami berkeyakinan bahwa Jakarta akan lebih baik jika tidak lagi dipimpin Ahok.”

Tampak sebuah kemiripan: “Liga Inggris akan baik jika tidak lagi dipimpin Emyu,” begitu kira-kira kata penggerak ABU. Dan seumpama mereka ditanyai klub mana yang pantas memimpin, jawabannya bisa beragam, dari Leeds United sampai Leicester City. Yang penting bukan Emyu.

Tak jauh berbeda dengan problematika terkini di Jakarta. Katanya ibukota tidak layak dipimpin lagi oleh Ahok. Pendukung Ahok pun bertanya, “lantas siapa yang pantas memimpin Jakarta?”. Jawabannya tiada pasti. Ada yang bilang Sandiaga Uno, ada yang menyebut Bu Risma, hingga ada yang bilang dengan lantang, “wanita emas!”.

Jika lantas ada perspektif yang serupa untuk “pokoknya bukan” Ahok dan Emyu, saya jadi curiga jangan-jangan keduanya memang ada kesamaan. Juara Liga Inggris dan Gubernur itu sama-sama hanya satu, lho. Yah, meskipun di Jakarta ini ada “Gubernur Tandingan” juga, sih.

Salah satu yang mungkin menyamakan keduanya adalah mulut besar. Kalau omongan Ahok tak perlu kiranya saya tuliskan lagi, sudah banyak yang menuliskannya di Mojok. Lalu omong besar Emyu bagaimana? Tak perlu jauh-jauh, kapan itu Wayne Rooney yang notabene kapten pernah mengatakan sesuatu:

“He has been incredible and for me. He is right up there in world football in terms of centre-halves. He is in the top three centre-halves in the world. I think he is that good.”

Itu Wayne Rooney merujuk siapa? United Fans pasti tahu nama yang dimaksud. Ya, Chris Smailling. Nama yang oleh Daily Mail sekalipun tidak masuk ke dalam daftar 10 bek terbaik dunia.

Kembali ke Ahok. Dengan dorongan Teman Ahok, pria bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama ini mencoba menggaet Heru Budi Hartono sebagai calon Wakil Gubernur. Pertanyaannya: mengapa Heru? Ahok berkali-kali bilang, ini adalah misinya untuk menjelaskan bahwa ada lho PNS yang baik dan bisa dipercaya.

Ah, Ahok ini ada-ada saja. Sekarang mah semua PNS baik-baik, sudah tidak lagi rapat di hotel dan sering makan singkong. Boleh jadi Ahok memilih Heru itu biar slogan kampanyenya pas. Jakarta BARU: BAsuki dan heRU. Atau yang tidak kalah mentereng: Ahok-Heru, disingkat Aher.

Cerita tentang tidak populernya nama Heru Budi Hartono saat dipilih Ahok sama seperti ketika Louis van Gaal memainkan Marcus Rashford di Liga Europa. Siapa pemain tersebut sebelumnya, tak ada orang yang tahu.

Bedanya, jika Heru belum terbukti membawa Ahok memuncaki DKI1 kembali, Rashford si orbitan muda ini minimal telah membobol gawang Petr Cech, ketika Emyu menumbangkan Arsenal 3-2 pada akhir Februari lalu.

Perbedaan lain, Ahok dikenal oleh gerakan ‘pokoknya-bukan-Ahok’ sebagai Gubernur dengan tingkat penyerapan anggaran yang rendah. Sedangkan Emyu? Tak usah ditanya berapa banyak uang yang dibelanjakan mereka.

Seorang Falcao, misalnya, yang mainnya lebih buruk dari Kiatisuk Senamuang itu dipinjam dengan harga sewa yang sekian kali lipat gajinya Marcus Rashford. Atau bagaimana mungkin seorang-yang-entah-siapa bernama Anthony Martial bisa diboyong dengan harga transfer fantastis?

Dengan sederet persamaan (dan perbedaan) yang segaris ini antara Ahok dan Emyu, lantas apa bedanya menonton Liga Inggris dengan menyimak Pilgub DKI? Toh keduanya sama-sama tidak berdampak pada kehidupan sendiri secara langsung. Tetapi, barangkali jawabannya begini:

Kalau mendukung Emyu, Anda mesti pintar-pintar bersabar karena selepas akhir pekan pasti kena bulian. Lalu kalau pilih Ahok? Ya belum tahu saya, lha wong pertandingannya juga masih lama.

Exit mobile version