MOJOK.CO – Potret angkringan atau hik zaman sekarang: tidak ada lagi kedekatan antara penjaja dan pelanggan. Kini berjarak tak sehangat dulu.
Wedangan atau hik merupakan salah satu gaya hidup wong Solo. Sementara itu, Yogyakarta mengenalnya sebagai angkringan. Ketika prime time, antara pukul 19.00 hingga 22.00 WIB, mudah dijumpai rombongan suami-istri beserta anak-anak mendatangi tempat-tempat wedangan favorit.
Tingkat popularitas sebuah hik atau angkringan ditentukan oleh ciri keunggulan menunya. Bisa karena sambalnya yang punya rasa khas, kikilnya yang lezat nan empuk, atau sajian tehnya yang wangi, kental dan sepatnya tak ketulungan.
Soal penampilan bisa diabaikan. Walau lokasinya bagus dan penataannya menarik, jika tak punya menu yang memanjakan lidah, tak akan dikangeni pelanggan.
Contoh menarik adalah hik milik Mas Kuat di lor prapatan (utara perempatan) Pasar Delanggu, Klaten. Nasi langgi dan belut gorengnya membuat banyak orang Solo sering bertandang, bahkan seolah adu cepat, sebab takut tidak kebagian. Belut yang digoreng tepung merupakan hasil tangkapan atau nyuluh di sawah.
Angkringan Mas Kuat bisa disebut benar-benar wedangan kaki lima yang otentik. Masih menggunakan angkring untuk menempatkan beberapa jenis dagangannya, dan hanya ada tiga bangku panjang yang melingkari tiga sisinya, sementara penjajanya duduk di dhingklik, membelakangi pintu toko. Masing-masing bangku hanya bisa diduduki oleh maksimal tiga orang berdesakan.
Jika datang pukul 19.00, hampir bisa dipastikan Anda tidak kebagian nasi langgi atau belut gorengnya. Walau pisang goreng dan tempe-tahu bacemnya tak kalah lezat, pelanggan masih sering kebagian jika datang menjelang pukul 21.00.
Begitulah potret orang Solo yang dhemen berburu asupan perut. Syaratnya: harus lolos kurasi lidah! Asal approved, harga dan jarak tak pernah jadi masalah. Dan, sungguh tak penting destinasi wisata keplek ilat itu termasuk dalam kategori instagramable atau tidak.
Sejarah hik atau angkringan di Solo
Berbeda dengan hik Mas Kuat Delanggu yang jadul, wedangan ala gerobak dorong yang mulai populer sejak pertengahan 1980-an, mudah dijumpai di seluruh penjuru Kota Solo.
Penelitian Solo Institute mengenai bisnis angkringan di Kota Solo pada 2015 menghasilkan temuan, terdapat sedikitnya 1.132 hik. Jumlah itu meningkat 55 persen dari dua tahun sebelumnya yang “hanya” 728.
Sebarannya pun merata. Jumlah hik per kelurahan berkisar belasan hingga 60an. Makin padat penduduknya, semakin banyak jumlahnya. Usia hik tertua yang masih eksis hingga kini, ada yang berdiri sejak 1953, bahkan ketika penjajah Jepang masuk Indonesia, 1942!
Temuan itu tidak mengagetkan penulis, yang pada saat penelitian itu dilakukan, juga sedang merintis usaha wedangan kecil-kecilan di RBI, basecamp kami.
Peningkatan populasi hik di Kota Solo itu klop dengan pernyataan sejumlah pedagang peralatan dapur di Pasar Kabangan, Solo, yang mengaku saat itu kebanjiran permintaan akan ceret seng atau aluminium, tungku atau anglo, hingga planggrangan untuk memanggang jajanan gorengan.
Tak hanya dari kota Solo, pembeli piranti usaha hik juga banyak datang dari kota-kota sekitar, bahkan dari Magetan, Madiun hingga Surabaya dan Jakarta, bahkan luar pulau. Para pembeli itu mengaku memulai usaha wedangan di daerah masing-masing.
Tradisi hik atau angkringan
Yang menarik dari tradisi wedangan di Solo adalah adanya sejumlah pembeli yang bisa dibilang “itu-itu saja”. Hampir tiap malam, satu-dua orang yang sama selalu ada. Tapi, teman-temannya yang sering gonta-ganti.
Di sini, orang Solo biasa janji bertemu. Mirip-mirip fenomena di Jakarta, yang menjadikan tempat ngopi berfasilitas wifi sebagai titik temu kawan dan relasi, bahkan klien.
Di Solo, angkringan hanya menjadi tempat rasan-rasan, ngegosip, atau ajang sekadar nongkrong bersama teman-teman. Tak ada orang menyelesaikan pekerjaan di sini, kecuali sejumlah makelar motor/mobil atau makelar tanah, yang menjadikannya sebagai titik temu.
Konon, Pak Kumis, pemilik angkringan di Faroka, Jajar, adalah contoh bakul yang sering kecipratan uang dengar atau komisi dari para makelar yang berhasil melakukan transaksi. Penjaja hik bahkan dipaksa berperan sebagai penyampai pesan antara calon penjual dan pembeli.
Tak hanya itu, seorang bakul hik juga kerap menjadi pendengung atau amplifikator sebuah isu, gosip, atau kabar baik. Materi obrolan yang berseliweran lewat pembicaraan para pelanggan yang tak sengaja didengarnya, akan tersampaikan kepada pelanggan lain, yang biasanya menjadi dekat tak berjarak.
Cerita tentang peristiwa perampokan, misalnya, akan segera menyebar luas jika diobrolkan di wedangan. Itulah potret kekuatan WOM atau word of mouth, yang hingga kini masih dianggap sebagai strategi komunikasi paling efektif oleh para praktisi marketing dan komunikasi pemasaran. Banyak orang tidak menyadari, gethok tular adalah potret komunikasi paling efektif yang diyakini masyarakat Jawa.
Sebutan wong edan bakal ndadi yen wis mlebu pasar atau orang gila akan benar-benar disebut gila secara luas jika sudah masuk ke pasar, adalah analogi kecepatan terbentuknya sebuah citra atau persepsi yang massif atas sesuatu.
Jadi, angkringan atau hik (apalagi yang ramai pengunjung) memiliki posisi strategis sebagai locus untuk menyebar gosip bahkan hoaks dengan pendekatan WOM tadi! Gak percaya? Cobanen!
Angkringan atau hik memang dunia yang unik. Tiap libur panjang, apalagi saat perayaan hari-hari besar agama, hik menjadi lokasi kencan pertemuan antarteman yang lama tak bersua. Memori masa lalu bisa menjadi bahan obrolan hingga kerinduan terobati. Apalagi, di lokasi-lokasi angkringan yang tetap eksis hingga kini, meski penjual dan pembelinya sudah berganti-ganti generasi.
Angkringan Kemin di Ngesus (seberang Monumen Pers) yang konon berdiri sejak 1960-an, misalnya, kini masih jadi ajang reuni lintas generasi meski lokasinya berpindah ke belakang Monumen Pers, dan dilayani oleh generasi ketiganya. Kikil sapi dan sate wader (ikan kali) adalah menu andalan dan terkenal, yang masih dipertahankan hingga kini.
Begitu pula angkringan Mbah Wir di Purwosari, yang sejak dulu dikenal dengan konsep wedangan keluarga. Cirinya: deretan bangku panjang berhadapan dengan meja panjang yang di atasnya terhidang telur rebus, sate usus, beragam jenis gorengan, dan nasi dibungkus daun pisang. Wedang tape (ketan), teh tape, atau jahe tape termasuk sebagai menu pembeda dengan wedangan-wedangan lain.
Dinamika usaha angkringan atau hik
Terlepas dari lokasi-lokasi yang melegenda, dinamika usaha angkringan juga menarik ditelisik. Jauh sebelum penjaja dari Bayat (Klaten) menyerbu kota-kota besar sebelum Solo dan Yogya, di Solo sudah lebih dahulu dikenal hik.
Sebutan hik mengacu pada kode suara penjaja aneka jajanan tradisional, yang berkeliling keluar-masuk kampung dengan cara dipikul. Isinya beragam: klenyem, tempe/tahu bacem, singkong dan ubi rebus, tempe koro, balung kethek, dan sebagainya.
“Hiiikkk… hiiikkk… hikk!” Begitu penjual mengabari calon pembeli di rute-rute yang dilewati, untuk bersiap-siap menghentikan demi membeli sejumlah camilan. Jadi, hik bukan akronim Hidangan Istimewa Kampung seperti dilontarkan seorang sejarawan Solo pada awal 2000. Semasa kecil di Klaten hingga awal 1980, saya masih menjumpai kode serupa itu.
Pada era sebelum 1980, sudah ada juragan hik, yang memproduksi aneka makanan dan menyediakan banyak alat pikulan. Para pendatang dari berbagai daerah sekitar datang secara musiman. Hingga dua tahun lalu, penulis sempat mewawancarai seorang pedagang hik pikulan yang singgah di pojok RS Brayat Minulyo.
Bapak penjual hik itu usianya sekitar 70 tahun, berasal dari Tanon, Sragen. Dia akan meninggalkan juragannya di daerah Pasar Burung Depok, ketika harus menggarap sawah di desanya. Entah itu saat musim tanam, waktunya menyiangi rumput atau pemupukan, atau ketika panen tiba. Mungkin, Bapak itu tinggal satu-satunya bakul hik pikulan yang tersisa di Kota Solo.
Beda dengan warung-warung angkringan yang digelar di teras-teras rumah kala itu, hik pikulan tidak menjual minuman. Selain orang sudah bikin teh atau kopi di rumah, memikul air dan tungku sangat jauh dari kata praktis dan tidak ekonomis.
Sementara era 1990an ke sini, gerobak angkringan berciri tiga ceret nangkring di atas tungku arang telah menjamur. Ada yang dijajakan keliling, tapi lebih banyak yang menetap.
Perubahan yang agak ekstrem adalah materi jualannya yang tak bisa menunjukkan ciri khasnya. Dulu, bungkusan lancip merupakan kode bagi nasi bandeng, dan nasi oseng-oseng untuk bungkusan yang lain. Kini, isi bungkusan harus ditonjolkan lewat potongan kertas foto kopi bertuliskan nama lauk!
Sajian nasi bungkus dengan beragam lauk yang dituliskan baru menjamur beberapa tahun belakangan, seiring menjamurnya angkringan ala kafe. Maraknya wisata kuliner telah menggerakkan kaum bermodal besar.
Jajanan tradisional di angkringan kakil ima dikesankan kurang higienis, sehingga harus dipajang di etalase kaca. Calon pembeli mengambil yang diinginkan, lantas disodorkan ke kasir sambil memesan minuman. Setelah dibayar, pembeli disodori nomor untuk ditaruh di atas meja, agar pelayan tidak salah mengantar menu yang dipesan.
Sekilas terkesan keren dan memanjakan pelanggan. Padahal, bagi penggemar angkringan konservatif seperti saya, cara seperti itu justru menghilangkan ruh.
Kedekatan penjual dan pelanggan jadi hilang, trust atau kepercayaan kepada pembeli pun musnah. Seorang penjaja hik tradisional pasti tahu pelanggannya mengonsumsi apa saja berikut jumlahnya. Ketika pembeli curang, mengaku hanya makan dua padahal empat, tak akan ditegur. Ia diam, tapi hitungan rupiahnya tak membuatnya tekor. Jika seseorang terlalu sering nggabrul atau curang, paling banter hanya ditandai.
Angkringan, wedangan, atau hik, memang beda sifat dibanding ala kafe. Hik kaki lima memang terkesan kecil, meski sejatinya ada kebesaran di baliknya. Kebanyakan penjual hik hanya bermodal tenaga. Gerobak dan isinya (kecuali bahan baku minuman) disiapkan juragan yang dulunya juga penjaja seperti mereka. Ia hanya menyetor uang senilai makanan yang terjual, sehingga tidak menanggung rugi. Istilahnya, konsinyasi.
Sementara pengusaha kafe ala-ala angkringan sudah keluar modal besar untuk sewa tempat strategis, menyediakan sendiri menu hidangan, ongkos desain interior dan bayaran untuk banyak karyawan. Maka, agar return of investment-nya cepat, harga jualnya harus di atas rata-rata alias lebih mahal. Apalagi jika modalnya berasal dari pinjaman bank.
Mewajibkan pembeli melapor kepada kasir atas semua yang dipilihnya hanyalah semacam mekanisme kontrol. Wajar jika pembeli tidak mungkin bisa nggabrul karena pembeli dipaksa membayar di muka. Itu semua semata-mata demi meminimalisir kerugian. Begitulah potret kelas menengah nge-hik zaman sekarang!
BACA JUGA Jogja Tercipta dari Kenangan dan Teh di Angkringan, bukan Kopi di Kafe Tongkrongan dan tulisan-tulisan lainnya di rubrik ESAI.