Anak Saya Tuli dan Saya Harus Berterima Kasih ke Bu Risma

Karena saya pun pernah melakukan apa yang dilakukan oleh Bu Risma ke anak saya yang tuli atau tunarungu. Selama bertahun-tahun.

MOJOK.CO Tak hanya Bu Risma sebenarnya yang pernah memaksa orang tuli atau tunarungu untuk bisa bicara. Kebetulan saja blio pejabat, jadi “damage”-nya langsung terasa.

Kalau boleh jujur, di lingkungan kita, sebenarnya masih banyak orang tua, guru, dan terapis yang punya pola pikir seperti Bu Risma, Menteri Sosial kita.

Demi mengejar kemampuan anak berbicara sebaik mungkin, anak tuli harus dipaksa. Dalihnya, karena suatu hari mereka akan terjun di “dunia orang dengar” dan mereka harus menyesuaikannya.

Saya bisa tahu persis, karena saya pun pernah melakukan apa yang dilakukan oleh Bu Risma ke anak saya yang tuli. Selama bertahun-tahun. Hasilnya?

Anak saya, seorang lelaki, yang sejak kecil lebih suka untuk melarikan diri kalau dipaksa bicara, lebih suka naik kursi dan mengambil barang di atas lemari kalau saya mengharuskannya bicara dulu kalau mau minta sesuatu ke saya.

Sekali waktu, anak saya mengetes kelapangan hati ibunya dengan menyerudukkan kepalanya ke pintu atau lantai. Itu terjadi kalau saya masih tidak paham juga apa yang sebenarnya dia mau.

Di situlah saya sadar bahwa ada kepercayaan yang menyesatkan yang menyatakan bahwa semua anak bisa bicara, dan yang mesti kita lakukan adalah memaksanya.

Ada pula kepercayaan menyesatkan bahwa menjadi tuli adalah karena gangguan dari jin atau kurang pijatan, sehingga harus disembuhkan di klinik paranormal atau terapi telinga, yang tarifnya puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Dengan pilihan, pengetahuan, dan fasilitas terbatas mengenai tuli, menjadi orang tua dari anak tuli seolah merupakan jalan gelap nan buntu.

Oh iya, ada alasan khusus kenapa saya memakai kata “tuli” alih-alih “tunarungu” barusan tadi. Hal ini terjadi setelah saya intens berinteraksi dengan orang tuli yang sudah dewasa.

Meski awalnya merasa risih karena terasa kasar, ternyata istilah “tuli” bukan sekadar perkara tidak mampu mendengar, tapi juga mewakili budaya minoritas yang antara lain berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dan memproses informasi secara visual.

Oleh sebab itu, istilah “tunarungu” sebenarnya tidak benar-benar mewakili teman-teman tuli.

Istilah “tunarungu” baru relevan kalau kita bicara dalam dunia medis. Seorang anak yang menyandang gangguan pendengaran, memang perlu disebut tunarungu untuk menggambarkan diagnosis kondisi fisiknya.

Kalau seorang anak diduga tunarungu, maka solusi yang ditawarkan adalah skrining pendengaran sejak usia dini. Hal ini perlu dilakukan sedini mungkin dengan menggunakan alat bantu dengar dan menerima input suara.

Selanjutnya, anak-anak tunarungu ini akan diarahkan untuk terapi wicara atau terapi wicara sekaligus terapi mendengar (AVT-Auditory Verbal Therapy).

Nah, karena urusan kemampuan bicara ada efek dari kemampuan mendengar, maka masalah seorang anak tunarungu biasanya terjadi karena keterlambatan diagnosis. Ya apalagi kalau bukan karena ketidaktahuan orang tua?

Ada juga soal ketidakmampuan membeli alat yang sesuai dengan kebutuhan mendengar anak tunarungu, penolakan dari dalam dirinya karena tidak nyaman (semisal seperti yang dilakukan anak saya), ketidaktelatenan orang tua untuk mengulang materi terapi. Apalagi kalau si orang tua mesti bekerja formal, mengurus rumah tangga, atau memiliki anak lebih dari satu.

Masalah biaya adalah perkara utama ketika berurusan dengan dunia medis. Memang ada bagian BPJS yang memberikan fasilitas alat bantu atau implan anak tunarungu, tapi itu hanya sebagian kecil dari sekian puluh atau ratus juta yang mesti diusahakan orang tua demi anak bisa mendengar. Itu belum termasuk biaya perawatan alat tiap bulannya dan biaya terapinya.

Jika orang tua tak memiliki uang sebanyak itu, apakah berarti nasib anaknya akan buruk dan tak akan pernah maju?

SLB (Sekolah Luar Biasa)

Hanya ada dua SLB di Indonesia yang menggunakan bahasa isyarat, yaitu Little Hijabi Homeschooling di Bekasi dan Sushrusa di Bali. Selebihnya, semua sekolah luar biasa menggunakan sistem bahasa isyarat Indonesia (SIBI) dan sistem oral verbal.

Sebisa mungkin mereka mengajarkan bicara verbal dulu baru berisyarat. Ada yang memang berhasil berbicara dengan cukup baik, tapi lebih banyak yang tidak.

SIBI adalah sistem isyarat yang diterapkan pemerintah, yaitu dengan cara mengubah bahasa Indonesia dalam susunan baku menjadi isyarat satu per satu. Beda dengan isyarat alami yang biasa digunakan antar-tuli berkomunikasi.

Susunan kalimatnya diturunkan dari peristiwa visual, sehingga kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia baku seperti terbalik-balik. Padahal begitulah kaum tuli memproses informasi. Itulah keunikan bahasa, semua memiliki keunikan masing-masing penuturnya.

Bukankah bahasa Inggris dan bahasa Indonesia juga tak menggunakan pola yang sama?

Kelas dua di SDLB belum tentu setara dengan kelas dua di SD umum. Kita masih beranggapan bahwa itu karena anak-anak tuli kemampuannya terbatas, bisanya cuma diajari keterampilan.

Semenjak saya menggunakan isyarat untuk membantunya memahami materi dari sekolah, anak saya mengalami banyak kemajuan. Kalau dibilang sudah setara kaum dengar, ya belum dong. Lha wong si anak kan mengalami gap year yang belum terisi penuh.

***

Anak tuli perlu disekolahkan di SLB untuk masa awal sekolah dan juga perlu aktif di komunitas tuli. Semuanya untuk membentuk identitas dan konsep diri anak tuli.

Jika mampu, mereka bisa melanjutkan ke sekolah inklusi atau umum, yang sayangnya belum menyediakan juru bahasa isyarat. Pilihannya ya tadi, harus bisa mendengar dan bicara dengan sekian jenis tahapan.

David Ludden, profesor psikologi di Georgia Gwinnett College, menyatakan bahwa anak-anak tuli yang terjun dalam komunitas berisyarat, akan mampu belajar bahasa isyarat semudah anak dengar belajar bahasa oral verbal.

Mereka akan berteman dengan orang yang memiliki pengalaman yang sama. Ini yang akan memupuk rasa percaya diri mereka sebagai orang tuli.

Terlebih lagi, komunitas tuli memungkinkan banyak kesempatan yang bahkan mesti diraih dengan susah payah di dunia dengar. Semisal Udana, anak tuli Magelang, menjadi kontingen Indonesia pertama di WFDYS (World Federation of the Deaf Youth Section) atau kamp untuk anak tuli sedunia yang diadakan di Argentina tahun 2018, di usianya yang baru 13 tahun saat itu.

Phieter, mahasiswa pertama dari Indonesia yang mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di University of Gallaudet, Amerika. Semua peluang itu mereka dapatkan karena aktif dalam komunitas tuli.

Terapi wicara

Pertanyaannya: mau terapi yang seperti apa?

Dari yang lembut dan penuh perhatian sampai terapi yang memperlakukan anak seperti pesakitan yang dipaksa bicara dengan sejumlah ancaman, ada semuanya.

Cheryl L. Dickson, seorang pakar AVT bersertifikasi di dunia, tak pernah menyarankan orang tua untuk memaksa anak untuk berbicara mengikuti kemauan orang tua. Ada banyak metode yang bisa dipakai untuk mengajak dan membiasakan anak bicara, antara lain dengan bermain dan berinteraksi.

Makanya, saya curiga, jangan-jangan tradisi memaksa anak ini memang sudah jadi bagian dari budaya kita? Eh.

Setidak itu terjadi ketika ada masa, anak saya ketakutan sambil menggambarkan orang-orang dari tempat terapi yang menurutnya sangat seram. Kerjaan mereka melotot melulu sampai anak takut dan patuh, baru dilatih bicara.

Saya rasa ketakutannya sudah berlebihan dan itu berimbas pada intensitas tantrum yang lebih sering, sehingga saya terpaksa menghentikan terapi.

Efek samping yang tak terduga setelah berhenti adalah anak saya masih terus aja ngamuk tiap kali melewati daerah tempat terapi itu, setidaknya sampai satu tahun kemudian. Saya pun jadi bertanya-tanya, saya ini mengejar kemampuan bicara dia itu demi anak saya atau demi saya sendiri?

Bukankah setiap orang tua juga menginginkan mental anak yang sehat dan tangguh, karena kehidupan kaum disabilitas belum tampak akan inklusif dan setara, setidaknya dalam waktu dekat ini?  

Sejumlah psikolog menyarankan bahwa terapi wicara akan efektif ketika anak sudah paham apa gunanya terapi. Memang otot mereka tak selentur seperti saat mereka masih kecil, tapi mereka memiliki kemauannya sendiri dan inilah motivasi yang lebih kuat daripada tekanan orang lain.

Anak saya pun begitu. Tiba-tiba minta tolong saya mengajarinya bicara, setelah sekian lama nyaman menggunakan gestur dan isyarat, Berulang kali pula dia merasakan kesulitan. Dia mengeluhkan, “Kenapa sih, Bun, aku tak bisa bicara dengan benar?”

Kalau kalian di posisi saya, apa ya tega kalau bilang itu karena dia kurang keras berusaha? Padahal dia sudah memegangi tenggorokannya yang kesakitan dan mata yang sayu kelelahan mengulang?

Tak hanya dia, banyak anak tuli lain yang merasa sudah paham kualitas suaranya, minta sendiri ke ibunya mau terapi wicara supaya artikulasinya lebih baik.

In fact, tuli dan bodoh itu bukan satu paket ya. Tuli ya tuli, bodoh ya bodoh. Kedua istilah ini berdiri sendiri. Ketika bicara dipaksakan tanpa consent yang bersangkutan, secara tak langsung kita sudah mengakui bahwa paket itu benar adanya.

***

Sekitar 90% anak tuli terlahir dari keluarga dengar, termasuk anak saya, sehingga kami ini pada awalnya juga tak tahu harus bagaimana ketika menyadari anak saya tuli.

Bagi orang dengar layaknya Bu Risma, kemampuan mendengar sudah terbentuk sejak di dalam kandungan dan mereka baru lancar bicara di usia setidaknya dua tahun. Ada satu dua anak yang mampu mendengar dan merespon ketika pertama kali alat bantu terpasang di telinganya, tapi lebih banyak yang tidak.

Sementara itu, tantangan menjalani pilihan berbahasa isyarat, karena tidak umum, tentu saja banyak sekali.

Setiap ketemu neneknya, saya selalu ditanya kapan anak saya bisa mendengar? Kapan anak saya bisa bicara? Berulang kali saya katakan bahwa saya menerima paket uniknya dan kami baik-baik saja.

Bahkan ketika saya ceritakan bahwa anak saya mengikuti berbagai kegiatan dan memiliki prestasi di kelasnya, selalu terselip pertanyaan, “Apa sekarang dia sudah bisa mendengar? Apa dia melakukannya dengan berbicara? Coba sih, tunjukkan cara dia berbicara.”

Saya emoh dong mencabik lagi harga diri anak saya di depan orang lain, sementara mereka tak ikut bertanggungjawab atas pengasuhan, biaya hidup, bahkan masa depannya.

Saya hanya tunjukkan bahwa komunikasi kami lancar dan saling memahami dengan gestur dan isyarat. Kami bisa guyon sampai cekikikan, bahkan kami bisa rasan-rasan orang, tanpa yang bersangkutan tahu meski kami melakukannya di depannya.

Sayangnya, di tengah budaya audisme (budaya yang menganggap bahwa orang dengar lebih superior daripada orang tuli) yang masih mengakar, sebesar apapun kemajuan itu, tak ada yang berkenan mengakui kegunaan bahasa isyarat dan selalu mencari celah kelemahan yang bisa dimanfaatkan untuk menyerang.

Saya kerap kali ditertawakan atau dihina di depan umum, ketika stuck atau tak tahu isyarat dari suatu kata. Padahal bahasa itu kan berproses terus dan rasanya wajar kan kalau kita belum paham satu dua kata dari bahasa yang baru saja kita pelajari.

Di angkot, seorang ibu cas-cis-cus pernah mengatakan bahwa saya ini ibu yang kurang berusaha, memakai bahasa isyarat—katanya—malah bikin anak saya nggak bisa bicara. Kesimpulannya begitu cepat, hanya dari sekian menit pertemuan kami di angkot dan setahun pengalamannya berinteraksi dengan anak difabel yang bahkan bukan anaknya sendiri.

Di tempat penjualan alat bantu dengar, dari sekian menit pertemuan pertama pula, dengan cepatnya sales alat bantu itu menyimpulkan hal yang sama, bahwa saya terlalu malas mengajaknya berbicara sehingga anak saya hanya bisa menggumam dan menunjuk.

Di ruang tunggu kereta api, seorang ibu mengamati kedua anak saya (dengar dan tuli) yang asyik bercanda dan berlarian ke sana kemari tanpa kendala bahasa. Ketika suami datang untuk menjemput kami bertiga, si ibu ini menitipkan pesan ke saya.

“Kasih anak kamu obat batuk merek ABC (entah merek apa saya lupa), nanti pasti dia nggak akan serak dan bisa bicara,” katanya serius.

Saya tahu, seperti halnya Bu Risma, semua itu punya maksud baik. Sayangnya baik belum berarti tepat. Terutama kalau kamu tak punya pengalaman soal kebaikan yang kamu maksud itu.

Banyak orang merasa lebih tahu apa yang dibutuhkan para difabel, tanpa merasa perlu menanyakan bagaimana perasaan dan apa pilihan mereka. Banyak orang beranggapan bahwa kesuksesan seorang anak tuli ditentukan dari kemampuannya berbicara dan mendengar.

Lalu untuk apa dinamakan tuli, kalau harus disamaratakan dengan kamu? Iyaaa, kamu yang bisa mendengar dan bicara tanpa perlu bantuan alat dan terapi, serta bantuan lain seperti bahasa isyarat.

Lagipula, tak semua anak tuli bisa disamakan kemampuannya dengan Angkie Yudistia, Staf Khusus Jokowi, yang baru mengalami perjalanan sunyi di usia 11 tahun dan dia sudah memiliki memori bahasa verbal.

Bagaimana kalau dia tuli dari lahir seperti anak saya, yang tak memiliki memori bahasa verbal sama sekali. Kan jadi tidak relevan untuk dibandingkan?

Lagipula, kita saja tidak pernah nyaman kalau dibanding-bandingkan dengan prestasi orang lain. Apalagi anak tuli, yang dibandingkan karena semata-mata urusan kemampuan fisik seperti yang dilakukan Bu Risma.

Meski begitu, se-awkward apapun kejadian tersebut, saya tetap berterima kasih ke Bu Risma.

Soalnya, dari kelakuan beliau yang terlihat miskin pengalaman berinteraksi dengan orang tuli dan jadi perhatian banyak orang, saya malah bersyukur dan optimis ke depannya. 

Yah, setidaknya, makin banyak orang yang kini mulai peduli kepada orang-orang tuli, mau memahami orang-orang seperti anak saya.

BACA JUGA Alasan Daredevil dan Si Buta dari Goa Hantu Beneran Manusia Super bagi Saya atau ESAI lainnya.

Exit mobile version