MOJOK.CO – Begitu kenalan saya pada tahu kalau anak saya kelahiran Paris, reaksi mereka jadi beda ketimbang sama anak teman lain yang lahirnya di Demak Ijo.
Anak saya dua-duanya lahir di Eropa. Lahir di rumah sakit yang sama, cuma beda kamar bersalin saja. Tepatnya di Saint-Cloud, salah satu kota termakmur di barat daya kota Paris, Prancis.
Kalau kalian pernah dengar nama Marine Le Pen. Nah, pas musim mudik Natal beliau dapat dipastikan akan berkunjung ke Saint-Cloud, ke rumah bapaknya yaitu Jean-Marie Le Pen.
Mengetahui kedua anak saya lahir di Prancis, ada beberapa respons dan komentar dari kenalan maupun keluarga besar yang membuat saya mbatin, “Halah apaan sih?”
Mulai dari yang membahas tentang anak kami sebagai bayi bule maupun tentang betapa bangganya kami nanti sebagai orang tua karena akta dan KTP anak akan tertulis “Paris” sebagai tempat kelahiran.
Bahkan ada juga yang justru melayangkan protes karena nama kedua anak kami sangat nJawani, ndak ada unsur Prancisnya sama sekali. Lah, pitikih?
Gini lho sobat, emangnya kalau akta lahir atau KTP-nya tertulis Paris njuk kastanya lebih tinggi dari yang tulisannya Banyumas atau Sleman gitu? Terus otomatis dapat privilese pas ndaftar sekolah atau kerjaan gitu?
Kan ya ndak to? Pol mentok paling cuma ditanyain dulu ngapain kok bisa lahir di Paris? Udah. Sisanya? Ya nggak bakal peduli-peduli amat juga.
Lagian ngapain juga ngasih nama anak aneh-aneh. Masa iya nama “Nur”, misalnya, biar kelihatan kelahiran Prancis terus diganti jadi “Lumière”? Yang ada sih nanti diplesetin jadi “lumer” sama temen-temennya di desa atau sekolahan.
Gimana dengan nama lain seperti Jean-Christophe, Louise, atau Clément yang Prancis banget? Yaelah, selain ngrepotin kakek nenek sama teman-temannya pas manggil namanya, kami udah kebayang gimana ribetnya ntar masalah administrasi di tempat tinggal kami di Sleman.
Pengalaman tersebut membuat saya merenung, ternyata pada era empat titik nol seperti sekarang pun, kita dapat dengan mudah menjumpai khalayak yang masih suka minder dengan segala hal yang berasal dari—atau minimal—berbau-bau luar negeri.
Menganggap bahwa segala sesuatu yang berasal dari luar Indonesia, seperti Eropa, Amerika, Arab, atau Australia, itu pasti lebih bagus dibandingkan dengan produk atau buatan lokal. Biar-bingung-asal-British, gitu kalau kata Mas Krisyanto, vokalis Jamrud.
Terkait hal ini saya juga punya cerita bagaimana kita sebagai orang Indonesia nggak perlu inferior banget sebagai warga dunia.
Tahun 2014 saya berkunjung ke Rio de Janeiro dan mampir ke Estádio do Maracanã. Stadion yang menjadi markas klub Flamengo dan Fluminense, dan juga tempat perhelatan final Piala Dunia FIFA 2014.
Setelah mengelilingi stadion, di pintu keluar saya mampir ke tempat oleh-oleh. Ada kostum sepak bola tim nasional Brasil, pas saya cek lho kok tulisannya buatan Indonesia.
Kejadian yang sama juga saya alami sewaktu berkunjung ke markas Paris Saint Germain di Paris dan Lazio di Roma. Ya ngapain juga saya beli di situ, mending langsung ke pengrajinnya di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah ini adalah salah satu dampak dari doktrin dan narasi “dijajah” Belanda selama 350 tahun yang selalu didengungkan semenjak dini? Sehingga secara tidak sadar membentuk mental kita menjadi inferior? Minder ketika melihat makhluk yang lebih putih, lebih mancung, atau lebih fasih berbahasa asing?
Saya coba berikan contoh mental inferior skala kecil yang kadang tidak disadari. Misalnya dengan menyebut negara-negara yang berada di antara Laut Mediterania dan Teluk Persia sebagai negara Timur Tengah (Middle East).
Istilah Timur Tengah itu sangat Eropasentris. Kita ini hidup di Indonesia, seharusnya tidak ikut-ikutan menyebut Arab Saudi, Bahrain, Irak, atau Iran sebagai negara Timur Tengah. Lha wong mereka ada di sebelah barat Indonesia kok. Coba dibuka itu peta dunia kalau ndak percaya.
Rasa rendah diri tersebut menurut saya juga diperparah dengan rapuhnya iman kebangsaan kita sebagai orang Indonesia. Hal yang satu ini saya kira salah satunya dapat dipengaruhi oleh semakin meningkatnya kadar keimanan kita sebagai umat beragama.
Sebagai orang beriman, alih-alih mengucapkan “semoga lekas sembuh”, kita lebih suka menyampaikan syafakallah atau syafakillah. Mengganti “semoga selamat sampai tujuan” dengan fii amanillah, ‘terima kasih’ dengan jazakumullah khairan, dan masih banyak contoh lainnya.
Ndak salah kok dengan itu, hanya saja hal itu merepresentasikan kalau kita inferior dengan bahasa kita sendiri—bahkan ketika berdialog dengan Dzat yang paling intim. Seolah-olah Gusti Pangeran ndak bakal mudeng kita berdoa dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah.
Eits, bentar, jangan buru-buru mengambil kesimpulan bahwa saya menganut paham chauvinisme ataupun malah menuduh saya sebagai penista agama. Plis deh, kebiasaan banget.
Gini lho, saya kasih tahu ya. Saya ini bukan tipe orang yang nggumunan alias mudah kagum. Empat tahun tinggal di Paris, puluhan kali ditugaskan ke luar negeri, dan bertemu dengan berbagai macam golongan tentu saja membuat saya bangga, tapi bukan karena ada unsur luar negerinya lho ya.
Saya bangga karena saya mampu untuk berjalan dengan dada membusung sebagai orang Indonesia.
Bukan, ini bukan karena sifat saya yang pada dasarnya memang sombong. Tapi gimana ya, lha wong kenyataannya kondisi di Indonesia itu ndak selalu lebih buruk kok.
Bahkan pada beberapa hal menurut saya malah seharusnya membuat kita bersyukur terlahir sebagai WNI.
Salah satu yang saya amati adalah belum ada yang mampu mengalahkan rasa percaya diri dan optimisme orang Indonesia dalam menghadapi kerasnya kehidupan.
Di Prancis, semuanya harus punya asuransi. Rumah, mobil, kesehatan, anak usia sekolah, aktivitas olahraga, bahkan hewan peliharaan juga ada asuransinya.
Tetangga apartemen saya, seorang penulis berkebangsaan Prancis, punya kucing dan ada asuransinya. Jadi tiap kali kucingnya berkelahi hingga terluka dan cedera, biaya pengobatan di klinik sudah ditanggung oleh asuransi.
Urusan olahraga juga begitu. Pada laga sepak bola perdana saya dengan teman-teman kantor, saya ditegur karena permainan yang keras menjurus kasar.
Maklum, kemampuan bermain bola saya yang pas-pasan tentunya harus diimbangi dengan “kemampuan” lainnya. Rupa-rupanya mereka takut cedera dan ndak punya asuransi untuk aktivitas olahraga. Ealah.
Saya jadi ingat salah satu cerita Cak Nun tentang betapa luar biasanya Indonesia. Bagaimana jutaan keluarga mampu bertahan hidup tanpa rasionalitas ekonomi. Gaji pas-pasan atau bahkan di bawah UMR tapi berani menikah njuk langsung kredit kendaraan.
Sangat percaya diri dan optimis.
Modalnya cuma premis begini: mending dipikir karo mlaku, ketimbang mikir ra mlaku-mlaku mung dadi tambah ngelu (lebih baik dipikir sambil dikerjakan, daripada dipikir tapi nggak dikerjakan dan cuma bikin tambah pusing).
Hal-hal santai dan rileks kayak gitu apa pernah ditemui di negara-negara yang membuat kita warga Indonesia minder? Babar blas nggak.
Mereka terlalu rigid dan menganggap kehidupan ini bisa dikontrol sepenuhnya. Hal yang justu bikin rasa kecewa dan tingkat stres mereka jauh lebih tinggi jika terjadi kegagalan atau ada hal di luar rencana.
Sangat beda dengan kita yang memang tak pernah punya rencana-rencana amat akan kehidupan ini, sehingga bikin kita jadi warga dunia paling selo, setidaknya segalaksi Bima Sakti ini. Kandyani og.
BACA JUGA 5 Keunggulan Bangsa Indonesia yang Tidak Dimiliki Bangsa Lainnya dan tulisan dari Bachtiar W. Mutaqin lainnya.