Akui Saja, Sejak Kecil Kita Memang Dididik untuk Rasis

diskriminasi

diskriminasi

[MOJOK.COJangan kaget melihat anak kecil rasis dan bahkan sampai melakukan kekerasan fisik. Itu sudah terjadi bergenerasi-generasi.

Empat orang anak mengepung saya. Memukul saya menggunakan tas milik mereka. Saya berusaha melindungi diri sebisa mungkin. Kantung plastik berisi es kelapa muda yang saya beli di halaman sekolah saya lemparkan ke arah salah seorang di antara mereka. Selanjutnya saya melepas tas yang saya gendong di punggung, menggunakannya untuk menghalau serangan dari keempat anak itu. 

Awalnya mereka menyerang saya karena kelas mereka kalah saat bertanding sepak bola dengan kelas saya. Entah mengapa saya yang menjadi bulan-bulanan mereka. Padahal ada belasan anak lain dari kelas saya. Tak berapa lama akhirnya saya paham mengapa saya yang mereka incar.

Sembari terus mencoba memukul saya, mereka berteriak, “Arab goblok!”, “Dasar onta!”, “Idung panjang! Idung pinokio! Idung gede!”, dan beberapa ejekan rasis lainnya.

Diskriminasi ini terjadi di perbatasan Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat saat saya duduk di kelas tiga sekolah dasar. Mereka yang menyerang saya setelah pulang sekolah adalah anak-anak kelas empat.

Dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan rumah, jika ada sedikit saja kesalahan yang saya lakukan, caci maki semacam “Arab bahlul”, “Onta geblek”, “kontol gede” harus saya terima dengan saksama. Hingga saat ini, entah dimulai sejak kapan, ketika kembali ke kampung saya di Rawabelong, saya masih disapa dengan panggilan “Idung”, sapaan rasis yang perlahan saya maklumi dan anggap candaan belaka.

Adik laki-laki saya disapa “Ayam Sayur” karena keturunan Arab dianggap pemalas dan lamban. Dan, bukan sekali dua saya mendengar mereka mengejek Umi dan saudara-saudara perempuan saya, mereka kerap bilang perempuan-perempuan keturunan Arab nafsu seksualnya besar. Saya yakin kamu-kamu semua juga kerap mendengar selentingan semacam itu, dan diam-diam banyak di antara kamu yang mengamini diskriminasi dan stereotipe itu.

Secara genetis, darah Arab di tubuh saya hanya seperempat saja. Itu berasal dari kakek saya dari pihak Ibu. Konon ia dan keluarga besarnya datang ke Batavia dari Hadramaut yang sekarang masuk wilayah Yaman. Ia datang untuk berdagang di Batavia, kemudian orang Arab ini menikah dengan gadis Betawi yang ia temui di Rawabelong.

Sedang dari pihak Bapak, gen saya murni Betawi. Konon lagi, nenek moyang Bapak adalah rombongan awal yang membuka kampung di Rawabelong. Jika merunut ini, saya lebih Betawi dibanding mereka yang mencemooh saya dan keluarga. Sayangnya, gen yang seperempat itu begitu dominan pada penampilan saya dan saudara-saudara saya. Hidung kami berbeda dari mereka, dan tampilan fisik kami lainnya pun begitu.

Serangan-serangan rasis yang saya alami semasa kecil akan mereda jika ada sasaran lain, bukan lagi kepada keturunan Arab, tetapi kepada mereka yang berada pada posisi puncak diskriminasi dan perlakuan rasis: para keturunan Tionghoa. Jika kepada saya ejekan biasanya diawali setelah saya membuat kesalahan, kepada mereka keturunan Tionghoa, tidak perlu semua itu.

Mereka datang, perilaku rasis lekas dimulai. Dahulu saya selalu merasa bersyukur saat ejekan kepada saya berhenti karena kedatangan anak-anak keturunan Tionghoa. Sering saya juga turut serta berlaku rasis agar dianggap setara dengan mereka yang berlaku rasis itu, sekaligus untuk melampiaskan kekesalan saya karena diperlakukan rasis.

“Cine”, “encek”, “sipit”, dan bermacam ejekan lainnya berhamburan menyerbu anak-anak keturunan Tionghoa tanpa mereka tahu apa salah mereka. “Pelit”, “Medit”, “Licik” keluar untuk menghina karena stereotip yang ditimpakan kepada mereka seperti itu. Sedang untuk mereka keturunan Tionghoa tetapi dianggap miskin, ejekan “Cina nggak punya toko” harus mereka terima. Sejak kecil perilaku-perilaku kebencian semacam ini sudah diajarkan. Entah semua itu dimulai sejak kapan, saya tidak tahu pasti. Dan apakah semua itu sudah dihentikan kini, saya juga tidak tahu pasti. Namun, saya pesimis jika semua itu sudah berhenti.

Perilaku-perilaku rasis terus-menerus diproduksi, direproduksi, dimodifikasi, dan diperbaharui. Selanjutnya, secara sadar atau tidak, perilaku itu ditularkan kepada generasi selanjutnya. Orang tua saya mengalami, saya mengalami, dan generasi di bawah saya, saya kira juga mengalaminya. Semua ini belum akan segera berakhir.

Selain keturunan Arab dan Tionghoa, masih di kampung saya, Jawa dan Padang juga kebagian jatah untuk diejek. Ejekan-ejekan yang saya dapatkan perlahan berkurang sejak saya merantau ke Yogya, tetapi kemudian pasang lagi dalam gelombang yang lebih deras setelah keberadaan media sosial dan Habib Rizieq membuat ulah.

Ketika di Jakarta, hampir semua suku dan etnis di luar Betawi menjadi bahan ejekan. Di Yogya pun begitu, yang dari luar Jawa kerap menjadi bahan ejekan karena Arab. Bahkan sama-sama berbahasa Jawa tapi beda logat (Banyumasan, misal) tetap menjadi bahan ejekan. Mungkin maksudnya sekadar candaan, namun saya pikir tidak ada candaan yang lebih busuk dibanding candaan-candaan berbau SARA.

Kecuali Kalimantan, saya sudah mengunjungi semua pulau-pulau besar di negeri ini. Dan di semua tempat, ada saja diskriminasi dan perlakuan-perlakuan rasis yang saya terima karena tampilan fisik saya yang berbeda. Saya enggan menggeneralisir, tetapi, ayolah, mari kita akui bersama-sama, berlaku rasis dan kerap menyinggung unsur SARA itu sudah menjadi tabiat bukan?

Cara demikian sudah menjadi cara untuk mempertahankan identitas dan merasa berkuasa terhadap sebuah wilayah. Kuasa politik dan terutama kuasa ekonomi. Maka, ketika isu pribumi kembali ramai diperbincangkan, kemudian ramai-ramai dipermasalahkan, akui saja, di lubuk hati terdalam, sentimen perbedaan serta diskriminasi entah itu perbedaan suku, agama, ras, dan golongan selalu bergejolak dalam diri kita. Perasaan paling pribumi selalu kita simpan karena memang sedari kecil, begitu kita dididik, bukan?

Exit mobile version