Afi Nihaya Faradisa, Jadilah Seperti Malala

Hai, Afi Nihaya Faradisa….

Apa kabar? Terima kasih atas tulisanmu yang berjudul Warisan, saya kira ia banyak bicara tentang pentingnya berpikir kritis. Sesuatu yang mungkin kebanyakan umat beragama jarang miliki karena dogma. Kamu benar, banyak dari kita tak bisa memeluk apa yang kita mau. Jangankan agama, memilih istri saja kadang susah, mesti seagama, mesti satu ras, mesti PNS, mesti bukan Gemini…

Boleh saya panggil kamu Afi, ya? Kamu juga boleh panggil nama saya. Saya ingin memperlakukan kamu setara. Di antara dua orang yang berdiskusi, relasi setara adalah hal paling penting. Jika seseorang memanggilmu ‘Dik’ dengan tendensi merendahkan, mungkin dalam kepalanya ia merasa lebih baik. Sesuatu yang menjijikkan dalam diskusi. Tapi tentu kita tak perlu meladeni hal-hal yang menjijikan.

Sebagai anak, kamu bisa memilih agama apa yang kamu peluk, tapi kamu tak bisa memilih oleh siapa kamu dilahirkan. Warisan adalah sesuatu yang kamu miliki karena sebuah prakondisi dengan syarat tertentu telah kamu penuhi. Sementara fitrah adalah sesuatu yang kamu miliki tanpa bisa kamu kendalikan.

Warisan adalah apa yang bisa kamu kendalikan, seperti memilih agama. Fitrah adalah apa yang tak bisa kamu kendalikan, seperti jenis kelamin dan juga ras. Tapi kadang jadi goblok itu juga adalah pilihan. Misal, kamu mengutip sebuah hadis tanpa memahami konteks historisnya, tanpa penjelasan azbabun nuzul dan azbabul wurudnya.

Hadis “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR Bukhari 1296) itu sebenarnya  menegaskan argumenmu bahwa agama adalah warisan. Teks tersebut menyebutkan setiap anak yang lahir di dunia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kecuali orang tuanya menjadikannya (mewarisinya keyakinan) Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Maka jika ada orang yang memiliki pemahaman teks buruk atau kemampuan linguistik rendah menyebut bahwa setiap orang terlahir fitrah sebagai muslim, maka dia perlu belajar bahasa sekali lagi.

Tugas terbesar manusia adalah menjadi rahmat bagi sesamanya, otak hanya alat, sebagaimana juga hati nurani. Maka kita perlu tahu apa yang hendak kita capai dalam hidup ini.

Perkara agama? Mungkin kamu perlu baca surat Ibrahim: 4, “Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” Jika ada lulusan kampus luar negeri dengan pemahaman agama pas-pasan bilang setiap bayi yang dilahirkan adalah Islam, mungkin ia tak pernah membaca Al-Qur’an.

Syarat seseorang menjadi muslim adalah syahadat, dan bayi belum bisa melakukan itu. Saat dewasa, orang bisa memilih agama apa yang ia mau: Islam, Kristen, Katolik, atau Monster Spageti Terbang. Setiap agama yang kita pilih tergantung rahmat dan petunjuk yang Allah kehendaki. Tidak seorang pun bisa membuat seorang muslim jadi murtad kecuali karena kehendak Allah, juga sebaliknya.

Aku suka caramu menuliskan Warisan, terlepas ejekan “anak SD” dengan maksud merendahkan yang dilekatkan padamu. Ingatlah, sesungguhnya anak-anak lebih bisa mengubah dunia daripada orang dewasa lulusan kampus Jerman yang pikirannya cupet. Kamu tahu Katherine Johnson? Salah seorang perempuan kulit hitam yang mengubah lanskap penerbangan luar angkasa itu masuk kuliah di usia 10 tahun. Dan banyak orang dewasa yang insekyur, kalah pintar, dan kurang luwes pikirannya merasa takut kalah argumen. Alih-alih mendebat dan memeriksa alur logika, orang dewasa itu menyerang identitas personalmu.

Prinsip lahir dari caramu memandang hidup. Jika kamu terbiasa kritis berpikir, kamu akan mendapatkan pencerahan yang baik. Dalam beragama, kata Imam Ali bin Abi Thalib; pelajarilah, jangan warisi. Ia mengingatkan bahwa meski terlahir sebagai muslim, kamu jangan taklid buta dan menerimanya sebagai sesuatu yang terberi, tapi belajarlah, kenali, lantas jalani karena proses berpikirmu yang merdeka. Maka pelajarilah agamamu, kuasai bahasa Arab, pahami sejarahnya, dan kuasai Mantiq. Untuk bisa memahami agama, tidak cukup hanya dengan menerjemahkan; menafsirkan, dan menghadirkan pemahaman sesuai konteks itu penting.

Saat ada orang yang gegabah menyodorkan terjemahan Al Baqarah: 2, atau Yunus: 37-38, tanpa memberi tafsir, apalagi cuma menyuruh sambil sok bijak, sebenarnya ia tidak sedang memberimu apa-apa kecuali kesombongannya sendiri. Kalau kamu mau, kamu bisa belajar kepada orang yang otoritatif, memiliki sanad ilmu agama yang terjamin, dan yang jelas punya sikap rendah hati. Saya tak punya kapasitas apa-apa untuk mendidikmu, karena saya tak punya standar minimum keilmuan untuk menjelaskan soal agama.

Afi yang baik, kelak jika kamu punya kesempatan, pertajam kemampuan kritismu dengan logika. Ini penting. Saya kira kemampuan analogimu sudah baik. Dan saya sepakat denganmu, tak ada yang berhak melabeli seseorang kafir atau bukan kecuali Allah. Untuk mendasari itu, kamu perlu membaca kisah marahnya Nabi Muhammad kepada Usamah bin Zaid. Saat perang ia membunuh seseorang yang bersyahadat, kepada Nabi ia berkilah bahwa yang orang yang ia bunuh itu hanya berpura-pura saja. Lantas Nabi berkata, “Apakah kamu tidak membelah dadanya?”

Apa relevansi peristiwa itu? Ada banyak, Afi. Kukira kita tak punya hak menilai apakah seseorang beriman atau tidak, kafir atau tidak, tanpa memahami apa yang ia lakukan. Ini bukan soal petugas warnet. Kita tak bisa menghakimi seseorang berdasarkan seragam yang ia pakai. Kamu tidak pernah tahu apa yang ia lakukan saat tidak menggunakan seragam itu. Kamu hanya bisa menghakimi apa yang kamu bisa lihat, tapi kamu mungkin tidak tahu apa yang ia lakukan saat kamu tidak melihatnya. Hanya orang picik, kerdil, dan sombong yang merasa tahu semua hal.

Kita tahu, tidak ada paksaan adalam agama. Tapi ingat, ada kala di mana penguasa yang beragama Islam melakukan aneksasi, peperangan, dan memaksa orang masuk Islam. Muslim yang baik tidak akan memaksa orang untuk memeluk agama Islam, tapi kita tahu ada despot atau penguasa jahat yang menggunakan agama untuk memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Kalau ada orang yang demikian bebal dan buta sejarah, maafkanlah, barangkali dia kurang membaca.

Semua orang berhak mengklaim agama mereka terbaik, yang dilarang adalah memaksakan kepada orang lain bahwa agamanya yang paling baik seraya menghina doktrin agama lain. Kamu tahu, Afi, seperti orang yang bilang, “Kalau Tuhan dilahirkan, bidannya siapa?”. Itu penghinaan. Maka Al An’am: 108 jadi penting untuk dipahami, dan kamu bisa membaca tafsir dan penjelasan Ibnul Qoyyim dalam I’lamul Muwaaqi’in.

Afi, jika kamu butuh buku bacaan, saya akan dengan senang hati memberikan ragam bacaan bermutu yang akan membuatmu semakin kritis, bukan malah jumud dan congkak. Kamu perlu banyak membaca biar tidak gampang mempercayai konspirasi.

Hanya orang yang lahir dengan privilise dan kurang akal yang membanggakan mayoritas-minoritas. Kamu tahu, Afi, jika ada yang menganalogikan rumahmu punya adat sendiri dan merasa berhak berbuat seenak udel sendiri, ia perlu belajar dari Nabi Muhammad yang mengizinkan umat kristen Najran beribadah di Masjid. Bayangkan, Nabi yang berkuasa, punya banyak pengikut dan jelas mayoritas, mengizinkan minoritas untuk melaksanakan ibadah di masjid! Ini bukan masalah mayoritas atau minoritas, tapi karakter, sesuatu yang tak semua orang punya.

Afi yang baik…

Sejarah Pancasila bukan sekadar soal sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa. Kamu perlu membaca bagaimana sidang tersebut berjalan, serta konteks sosio-politik yang ada saat itu. Jangan bayangkan bahwa saat itu Indonesia sudah berbentuk Sabang sampai Merauke. Dan jangan bayangkan pula semua muslim setuju dengan jalannya syariat Islam. Itu jadi penting biar kamu enggak delusional, ahistoris, dan mudah dibodoh-bodohi. Tanah yang kamu pijak ini diperoleh dari perjuangan seluruh kelas sosial, mulai dari ulama, santri, Tionghoa, Kristen, pendeta, dan tentunya diplomasi para Bapak Bangsa.

Saya harap suatu saat nanti kita bertemu, dan kita berdiskusi sebagai rekan yang setara. Ada banyak hal yang saya tidak tahu. Kita bisa berbagi, kamu bisa mengajari saya untuk berpikir lurus dengan adil. Saya berharap setelah ini kamu tak lagi sibuk mengurusi agama. Mungkin nanti kamu bisa belajar Fisika, Matematika, Kimia atau yang lain. Temukan obat untuk HIV/AIDS, kembangkan teknologi ramah lingkungan, dan mungkin kamu akan bisa benar-benar menyumbang kebaikan bagi peradaban dunia.

Jadilah seperti Malala; ubah dunia dengan pendidikan dan pemikiran kritis, bukan dengan dogma buta.

Exit mobile version