Ademnya Tafsir tentang Jodoh dan Pernikahan Menurut Quraish Shihab

quraish-shihab-mojok

quraish-shihab-mojok

Lupakan soal boikot salat Idulfitri hanya karena Quraish Shihab menjadi khatibnya. Jelas gagal total. Istiqlal penuh seperti biasa. Pertanda kampanye boikot itu tidak signifikan dampaknya dan khotbah Habib Shihab disukai banyak orang Islam.

Dan seperti biasa pula, khotbah beliau jernih, sepenuh-penuhnya mewedarkan semangat persatuan dan kebangsaan, menjauhi kebencian dan politisasi agama. Itulah kualitas orang yang mendalami Alquran seumur hidupnya; kualitas seorang ulama, ‘orang yang berilmu’.

Saya punya satu metode sederhana tapi berakurasi tinggi untuk menilai kualitas seseorang. Cukup Anda bertanya secara acak kepada sebagian orang di satu wilayah yang mengenal orang tersebut, jawaban akumulatifnya akan mencerminkan kualitas orang itu sesungguhnya. Tidaklah mungkin semua orang bersekutu untuk berdusta. Bagaimana sebenarnya sosok Quraish Shihab menurut Anda? Jamaah Istiqlal telah menjawabnya.

Gaya dakwah Quraish Shihab ditopang kompetensi keilmuan yang telah diakui luas. “Membumikan” Al-Quran, salah sebuah karya akademisnya, menjadi naskah babon di perkuliahan kajian Islam. Kitab tafsirnya, Tafsir Al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an yang terdiri dari 15 juz, ditulis dengan nalar akademis yang mengontekstualkan bahasannya. Tafsirnya berdasar metodologi keilmuan, bukan otak atik gathuk yang disesuaikan dengan kepentingan politis seperti ustadz fesbuk yang itu.

Di antara sekian banyak tafsir yang beliau susun, saya menukil dua contoh yang niscaya akan membuat adem Anda yang tengah melajang dan berminat untuk menikah.

Pertama, tafsir Quraish Shihab tentang sekufu (selevel) dalam perkara jodoh.

Soal ini memang tekstual termaktub dalam An-Nur: 26. Di ayat tersebut dinyatakan, “Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji, dan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki- laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik.”

Jika dipahami secara tekstual (bayani) belaka, betapa malangnya kaum lelaki dan perempuan yang punya masa lalu buruk. Betapa tidak adilnya Gusti Allah kepada manusia-manusia yang menginsyafi kesalahan-kesalahannya. Betapa tertutupnya pintu tobat.

Padahal kita juga diajarkan dengan benderang oleh Alquran dan Rasulullah untuk bertobat, tidak putus asa akan pertolongan-Nya, dan banyak berdoa agar diberi khusnul khatimah.

Quraish Shihab memberi penjelasan membahagiakan bahwa ayat tersebut menjadi tidak logis jika dimaksudkan untuk memvonis dengan harga mati siapa pun yang pernah melakukan kesalahan atau keburukan sebagai orang yang selalu salah dan buruk, dan kemudian mengalami su-ul khatimah. Makna ayat sekufu tersebut lebih logis dan adil bila dijadikan motivasi hijrah (ini istilah saya) bahwa rahmat Allah selalu terbuka kepada siapa saja, pendosa sekalipun, asalkan ia bergerak dinamis untuk “memantaskan diri”.

Dalam bahasa kekinian yang syar’i, ini disebut berhijrah. Jadi, sekufu tersebut berlaku dinamis, sesuai dengan kebaikan-kebaikan yang kita kembangkan di kemudian hari.

Suami istri yang punya latar berbeda jomplang sekalipun akan sangat dipengaruhi oleh gerakan-gerakan dinamis di dalam rumah tangganya. Boleh jadi sang suami, maaf, dulu “tukang jajan”, lalu ia menikah dengan seorang santriwati. Sepanjang sang suami melakukan gerakan dinamis untuk berhijrah itu, dapat dipastikan keduanya menjadi sekufu kemudian.

Contoh konkretnya begini. Mungkinkah Kalis Mardiasih akan menikah sama Agus Mulyadi?

Tiga tahun lalu itu tak terbayangkan. Agus di Magelang, Kalis di Solo. Agus humoris, Kalis ukhti. Musykil. Lalu waktu berarak, keduanya bergerak ke Yogya. Keduanya melakukan dinamika-dinamika, dan tepat di satu titik keduanya jadian. Jadian tersebut jelas dianugerahkan oleh gerakan-gerakan dinamis keduanya: saling mendekatkan, saling memantaskan.

Maka, wahai para jomblo yang masih nakal-nakal, janganlah berputus asa akan pertolongan Allah. Lakukanlah gerakan-gerakan dinamis “memantaskan diri” itu, niscaya jodohmu akan direngkuh sesuai yang kamu idamkan.

Yang kedua dan ini menarik, ialah paparan Quraish Shihab tentang ayat pernikahan yang selalu dibacakan pada akad nikah: sakinah mawaddah warahmah.

Fakta dari sekian banyak pernikahan memperlihatkan, pacaran selama apa pun bukanlah jaminan akan pencapaian samara itu. Lamanya masa penjajakan tidak paralel dengan jembarnya stok pengertian-pengertian dalam rumah tangga untuk legawa pada perbedaan dan kepentingan. Lamanya penjajakan lebih empiris diartikan dengan makin luasnya jelajah tangan dan kemaluan.

Quraish Shihab menuturkan bahwa yang dimaksud sakinah mawaddah warahmah itu ialah ketenangan yang dinamis.

Sakinahnya adalah sakinah yang dinamis. Ini tahapan paling awal pada setiap pernikahan. Individu Agus dan individu Kalis adalah dua otonomi yang membawa serta langgam-langgam masa lalu, karakter, dan orientasi masing-masing. Mustahil dua individu otonom itu lebur begitu saja dalam sekejap sehingga sakinah, kemudian mawaddah, dan akhirnya rahmah. Musykil.

Ada proses dinamis yang harus ditempuhi oleh setiap pengantin. Namanya saja dinamika, niscaya naik turun. Ada gronjalan-gronjalannya. Marah, sebel, muring, mutung, ngambek, menjejalkan baju-baju ke tas sambil mecucu, lalu nyegat bus pulang ke Blora, dll.. Itu merupakan bagian proses dinamis sakinah itu.

Menurut Quraish Shihab, di level sakinah ini, ketenangannya adalah ketenangan yang naik turun. Teori psikologi pernikahan menyatakan masa-masa demikian alamiah berjalan sekira dua tahun. Jadi, sakinah yang dinamis itu umumnya akan berdurasi dua tahun.

Di atas itu, rumah tangga akan masuk ke level mawaddah. Penerimaan-penerimaan dan pengertian-pengertian menjadi lebih jembar di dada. Bukan berarti orang yang sudah menikah di atas dua tahun lantas steril dari mutung, ngambek, nesu. Tidak juga. Namun, ekspresinya sudah tidak menggunakan model ngemasi baju-baju ke tas lalu nyegat bus pulang ke Blora.

Fase terakhir ialah rahmah. Lihatlah orang tua kita, kakek nenek kita, nah si rahmah itu berdenyut di kelas tinggi demikian. Mau jelek, upilan, bau pecel, bukanlah suatu masalah lagi—sepanjang kopi dan Indomie goreng rutin disediakan. Selesai.

Dua tamsil tafsir Quraish Shihab itu, sekufu dan sakinah mawaddah warahmah, memperlihatkan dengan cemerlang jelajah keilmuan, nalar, dan kontekstualisasi yang sangat rasional sekaligus menyejukkan. Harapan-harapan seketika bertunas di kepala kita. Islam di tangan Quraish Shihab menjadi sangat manusiawi, membumi, dan rahmatan lil ‘alamin. Allah seketika terejawantah sedemikian adil, welas asih, dan memberikan ruang luas kepada manusia untuk berusaha lebih baik dan lebih baik lagi.

Seyogianya, dengan semaian tafsir yang optimistis demikian, tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak ngefans Quraish Shihab. Terutama kaum jomblo. Quraish Shihablah yang membela hak-hak kebahagiaan kalian, bukan ustadz fesbuk yang itu.

Jadi, tak usah membanding-bandingkan Habib Quraish dengan dia lagi, ya.

Exit mobile version