6 Tipe Nama Kampus Indonesia, UGM dan Undip Paling Ruwet

6 Tipe Nama Kampus Indonesia, UGM dan Undip Paling Ruwet

6 Tipe Nama Kampus Indonesia, UGM dan Undip Paling Ruwet

MOJOK.CONama kampus di Indonesia bisa dibaca polanya. Tapi pas ngebaca pola penamaan UGM dan Undip, kok malah nggak nyambung.

Apa yang bisa kita pahami dari nama kampus-kampus di Indonesia? Jika diamati, nama-nama kampus negeri maupun swasta di republik yang bersikeras berbentuk negara kesatuan ini dapatlah digolongkan ke dalam enam tipe penamaan.

Tipe nama kampus #1 Optimistis dan progresif

Disebut begitu karena penamaan yang digunakan merepresentasikan visi maupun klaim bahwa pendidikan tinggi adalah kunci masa depan cerah. Ciri khasnya adalah pilihan kata yang menunjukkan kepercayaan diri bahwa perguruan tinggi adalah institusi pemasok calon budak korporat dan umbi-umbian PNS penempa anak bangsa agar cerdas, maju, dan sukses.

Bahasa yang digunakan bisa berupa bahasa Indonesia sepenuhnya, bisa juga berpadu dengan bahasa asing semacam bahasa Inggris, Arab, atau Ibrani. Tak sedikit pula yang malah memanfaatkan bahasa lokal semacam bahasa Jawa atau versi kunonya, bahasa Kawi.

Oh ya, perguruan-perguruan tinggi yang dilekati nama institusi atau yayasan yang memayunginya termasuk juga di klaster penamaan tipe optimistis ini. Soalnya keberadaan perguruan tinggi tersebut dianggap jadi bukti nyata kontribusi lembaga lewat dunia pendidikan. Bisa mengangkat prestise ketua, barisan petinggi, dan para pengajarnya di mata khalayak lho. Jelas lumayan memberi citra positif jika dijadikan portofolio nyaleg atau maju pilkada.

Contoh kampus-kampus dengan tipe nama seperti ini sangatlah banyak, bisa ditemukan di seantero Indonesia. Misal, yang memanfaatkan bahasa Indonesia seharfiah-harfiahnya adalah Universitas Indonesia (UI), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Institut Seni Indonesia (ISI), Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Universitas Islam Indonesia (UII), dan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Masih dalam barisan yang sama meski tanpa embel-embel Indonesia ialah Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” dan Universitas Pelita Harapan (UPH).

Nama kampus bergaya optimistis-progresif dalam versi lain memanfaatkan perpaduan bahasa Indonesia dengan bahasa lain. Kita bisa menemukan contoh terbanyaknya pada daftar universitas Muhammadiyah dan universitas Nahdlatul Ulama, yang memadukan bahasa Indonesia-Arab, di berbagai kota.

Di luar itu, ada Universitas Trisakti (Usakti), Universitas Kristen Maranatha, Universitas Sanata Dharma (USD), dan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST). Trisakti-nya Usakti berasal dari bahasa Sanskerta dan Kawi yang kurang lebih bermakna ‘tiga kekuatan’. Sebelum disematkan ke kampus yang dulunya bernama Universitas Res Publica ini, istilah Trisakti merujuk kepada tiga organisasi yang dipasrahi pemerintah Republik Indonesia usai Geger 1965. Sementara, maranatha berasal dari bahasa Ibrani yang bermakna ‘Tuhan datang’, dan sanata dharma dari bahasa Sanskerta dan Kawi yang kurang lebih bermakna ‘bakti kebenaran secara nyata’. Untuk sarjanawiyata Tamansiswa, namanya berasal dari bahasa Kawi dan Jawa yang bermakna ‘pendidikan orang-orang berilmu oleh lembaga Tamansiswa’.

Tipe nama kampus #2 Makronim hasil metamorfosis

Makronim adalah singkatan dalam singkatan, dan lumayan banyak kampus memakai bentuk ini untuk nama mereka.

Tidak salah jika menyebut tipe penamaan ini sebagai reinkarnasi tanggung. Pasalnya, penamaan yang dipakai memang menggambarkan kondisi terjebak di antara hendak bergerak ke masa depan sekaligus secara kronis enggan menghapus kenangan.

Penamaan yang demikian bisa dilihat pada kampus yang sudah punya nama baru, tapi tetap menyelipkan nama lama. Pola ini umumnya dipakai kampus yang semula berbentuk akademi (berfokus menyelenggarakan pendidikan D-3), lalu bertransformasi menjadi sekolah tinggi, institut, atau universitas yang menyelenggarakan pendidikan S-1 dan kadang juga S-2.

Universitas AMIKOM Yogyakarta, Institut Sains dan Teknologi AKPRIND (IST AKPRIND), serta Institut Pertanian STIPER (Instiper) adalah tiga contohnya. Tuh, lihat, bagaimana “akademi” tetap bisa nyelip di dalam nama universitas dan institut hasil transformasi.

Tipe nama kampus #3 Adorasi tokoh

Tipe penamaan ketiga ini biasanya dimaksudkan sebagai penghormatan kepada tokoh penting tertentu. Universitas Syiah Kuala (Unsyiah/USK), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Udayana (Unud), juga Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD) adalah beberapa contohnya.

Tipe penamaan merujuk tokoh tertentu semacam ini terbilang sangat banyak digunakan di Indonesia. Tapi kok rasanya tokoh-tokoh semacam raja, jagoan perang, dan jenderal lebih banyak dipakai ya ketimbang ilmuwan dan sastrawan.

Tipe nama kampus #4 Memori peristiwa

Disebut tipe memori peristiwa karena gaya penamaan ini diliputi penghormatan pada suatu peristiwa penting dan bersejarah. Contohnya tersua pada Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS, sering dikira singkatan Institut Teknologi Surabaya) dan Universitas Sebelas Maret (UNS, juga kaprah disangka kependekan Universitas Negeri Surakarta. Alasan disingkat jadi UNS bisa dibaca di sini). Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) dan Universitas Proklamasi 45 (UP45) juga termasuk. Hanya saja kampus yang memakai model nama seperti ini jumlahnya jauh di bawah kampus dengan nama tokoh.

Jika Anda atau keluarga berniat mendirikan perguruan tinggi, entah karena tergerak mencerdaskan bangsa atau semata dilatarbelakangi pertimbangan bisnis, model penamaan menurut peristiwa penting bersejarah patut juga dipertimbangkan. Pasalnya, catatan sejarah Indonesia sudah menyediakan sederet tanggal menarik yang bisa dieksplorasi. Ya, contohnya saja 28 Oktober, 1 Juni, 20 Mei, 2 Mei, 21 April, atau malah 11 Januari. Armand Maulana dan Dewi Gita nggak perlu repot mikir jika ingin buka kampus sendiri. Ya, takdir orang kan siapa yang tahu.

Tetapi sebagai catatan, demi kebaikan jasmani-rohani, sebaiknya tidak perlu coba-coba melirik 14 Februari (tebak ini peristiwa apa) apalagi 30 September.

Tipe nama kampus #5 Adorasi institusi

Tipe penamaan kelima ini merupakan wujud penghormatan dan upaya mengenang institusi, organisasi, atau komunitas tertentu yang berperan penting di dalam sejarah. Termasuk tipe penamaan ini adalah Universitas Sriwijaya (Unsri), Universitas Tarumanagara (Untar), dan Universitas Islam Negeri Walisongo (UIN Walisongo).

Tipe penamaan ini penggunaannya relatif senasib dengan tipe penamaan menurut peristiwa. Sama-sama tidak terlalu banyak dipakai.

Tipe nama kampus #6 Representasi lokal

Representasi lokal yang dipakai mulai dari nama kota, daerah, provinsi, hingga pulau yang ditempati. Branding representasi lokal semacam itu bisa memanfaatkan berbagai pilihan kata pembentuk. Bisa dengan toponimi kuno sampai kiwari dari daerah bersangkutan, nama binatang atau tumbuhan khas setempat, hingga elemen seni-budaya lokal.

Ternyata populer, penggunaan tipe penamaan kedaerahan bersaing secara jumlah dengan tipe penamaan ala tokoh. Contoh-contoh tipe ini adalah Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Andalas (Unand), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Jember (Unej), Universitas Nusa Cendana (Undana), dan Universitas Cenderawasih (Uncen).

Kalau mau fair, sebenarnya intensi representasi lokal juga dijumpai dalam tipe penamaan kampus berdasarkan adorasi tokoh, memori peristiwa, maupun adorasi institusi. Ini bisa Anda lihat dari lokasi Unsyiah/USK di Banda Aceh, Unsri yang menempati Kota Palembang, Unud di Pulau Bali, juga posisi ITS di Surabaya.

Contoh lain keterkaitan tokoh dan peristiwa terpilih dengan kota yang ditempatinya dapat dilihat dari penamaan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) di Purwokerto serta Universitas Airlangga (Unair) di Surabaya. Purwokerto bisa sangat dipahami sebagai lokasi Unsoed karena kota itu memang tempat Soedirman menjabat sebagai daidancho (komandan batalyon) PETA serta komandan divisi TKR—awal dari prestasi moncernya yang nanti berujung panglima besar militer Indonesia pada Perang Revolusi Kemerdekaan 1945-1949. Pun Surabaya dapat dipahami sebagai lokasi Universitas Airlangga karena seputaran kota pelabuhan itu menjadi titik awal pria Jawa-Bali tersebut membangun ulang kemaharajaan warisan mertuanya yang sempat tercerai-berai pada 1016-1019.

Nama kampus yang ruwet

Namun, ada pula nama-nama kampus yang sebenarnya kurang terkait, bisa dibilang roaming, dengan kota tempatnya berada. Dua di antara contohnya justru penghuni daftar 10 besar perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia versi Webometrics 2021, yakni Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta dan Universitas Diponegoro (Undip) di Semarang.

Dua kampus besar dengan penamaan bertipe adorasi tokoh ini jika dirunut-runut, minim saja keterkaitannya dengan kota domisili.

Pertama, UGM. Gajah Mada tidak tercatat lahir dan tumbuh di daerah yang kini dikenal sebagai Yogyakarta, dan yang di era Majapahit dikenal sebagai Mataram. Sewaktu mengungsikan Prabhu Jayanegara dari bahaya kudeta Kuti, Gajah Mada tidak menjadikan Mataram sebagai tujuan. Ia tidak pula mengucapkan Sumpah Palapa-nya di Mataram. Pun sewaktu menjabat sebagai Mahapatih Majapahit, Gajah Mada tidak benar-benar tercatat pernah berkunjung ke Mataram. Tanah lungguh jabatan Gajah Mada tidak pula terletak di Mataram.

Tidak usah pula berandai-andai siapa tahu ketika wafat Gajah Mada dimakamkan di sekitar Yogyakarta. Gajah Mada itu seorang buddhis. Ketika meninggal, jasadnya tentu diperabukan, bukan dikuburkan.

Karena itu, jika ditinjau dari soal penempatan kampus, UGM sejatinya lebih pas menempati salah satu kota di Jawa Timur.

Kedua, Undip. Dalam penamaan, kampus ini tidak cuma roaming, tapi sekaligus menyimpan ironi jika dikaitkan dengan kesejarahan Pangeran Diponegoro.

Sebelum Perang Jawa (1825-1830) meledak, Semarang kota yang kini ketempatan kampus Undip bukanlah tanah lungguh yang dipegang Pangeran Diponegoro. Kota pelabuhan di pesisir utara Jawa itu bahkan sudah berada di bawah kendali Belanda dari sekitar seabad sebelum lahirnya Diponegoro. Sebelum 29 Maret 1830, saya tak tahu apakah Diponegoro pernah berkunjung ke Semarang. Sependek saya tahu: tidak pernah. Kali pertama Diponegoro berkunjung ke Semarang ya pada 29 Maret-5 April 1830. Namun, sepekan itu dijalaninya di Wisma Residen di Bojong sebagai seorang yang berstatus tahanan, tepatnya sejak ia ditangkap tentara Belanda di tengah perundingan di Magelang pada 28 Maret.

Hari-hari yang dijalani Diponegoro di Semarang sekaligus menjadi kunjungan terakhirnya ke kota itu. Setelah nanti melewatkan beberapa lama di Batavia, Diponegoro diputuskan pemerintah kolonial untuk menjalani hukuman buang ke Sulawesi, pertama ke Manado, lalu dipindah ke Makassar. Demikian sampai ia wafat pada 1855, tanpa pernah lagi bisa menginjakkan kaki di tanah Jawa.

Sekitar seratus tahun lebih sedikit dari wafatnya Diponegoro, pemerintah Indonesia menamai universitas yang belum lama berdiri di Semarang sebagai Universitas Diponegoro. Umpama kabar penamaan Undip itu dapat didengar oleh Diponegoro, saya tak tahu bagaimana ia merasakannya, apakah merasa tersanjung atau malah merasa diledek.

BACA JUGA Andai Indonesia Dijajah Inggris Jauh Lebih Lama dan esai Yosef Kelik lainnya.

Exit mobile version