3 Suara Soe Hok Gie dari Semeru untuk Tahun Politik Pukimak

Sebagai mahasiswa sejarah yang tinggal di Jakarta, tentu Soe Hok Gie tahu bagaimana impak dari politik identitas pukimak warisan langgeng kolonial ini.

3 Suara Soe Hok Gie dari Semeru untuk Tahun Politik Pukimak MOJOK.CO

Ilustrasi 3 Suara Soe Hok Gie dari Semeru untuk Tahun Politik Pukimak. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CODari puncak Semeru yang sedang bergemuruh, arwah Soe Hok Gie mengingatkan kita agar kalau berpolitik jangan sebajingan itu.

Tahun politik nasional sudah di depan mata yang ditandai dengan KPU meng-approve 17 parpol. Heran saya, mengapa KPU nggak menggenapkan saja jadi 18 seperti jumlah peserta Liga Indonesia dengan, misalnya, meloloskan Partai Ummat bikinan Pak Amien Rais walau dengan disclaimer on.

Saya tiba-tiba ingat arwah Soe Hok Gie yang melesat dari puncak Semeru pada 16 Desember 53 tahun silam bersamaan dengan pasangnya keingintahuan rakyat tentang pemilu peristiwa “sayur lodeh (yang berisi) potongan jari manusia”. Yang saya ingat dari Soe Hok Gie di saat Semeru terus-menerus mengobarkan api dan mengembuskan asap beracun adalah sianida politik identitas dan perihal hak asasi manusia sekadar gimik politik pukimak.

Suara Gie dari Semeru itu saya rangkumkan dalam tiga pokok.

Pertama, soal kejahatan kemanusiaan yang menjadi komoditas politik lima tahunan. Saya kira, Soe Hok Gie adalah intelektual muda pertama yang anti atas politik komunisme dan sekaligus demokrasi terpimpin Sukarno yang menulis secara fair dan terbuka di koran perihal pembunuhan massal.

Saya perlu menegaskan di sini bawah Soe Hok Gie adalah eksponen mahasiswa pendobrak pemerintahan Sukarno. Tetapi, justru dia adalah kelompok dari yang berjumlah sangatlah sedikit, yang insyaf duluan betapa bahayanya rezim yang sedang melakukan “konsolidasi dini” dengan melakukan pembantaian massal atas nama ini dan itu.

Esainya di koran mingguan Mahasiswa Indonesia pada Desember setengah abad silam berjudul “Di Sekitar Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali” semacam proposal intelektual yang sangat berani dan berisiko tinggi.

Dikatakan berisiko tinggi karena paramiliter atau pasukan partikelir sedang melakukan konsolidasi usai kerasukan Bhuta Kala melakukan “pembunuhan besar-besaran” di tahun berdarah 65-66.

Jangan bayangkan Soe Hok Gie menulis esai ini di sebuah kondominium di luar negeri yang jauh dari pelaku yang sedang ditulisnya. Dia menulisnya justru di jantung kekuasaan yang sedang melakukan pembersihan total atas apa yang mereka sebut dengan “PKI”.

Tanpa perasaan takut sama sekali, Soe Hok Gie memilih dengan sadar diksi “penyembelihan” ketimbang “pembunuhan” untuk menggambarkan jalannya “peristiwa mengerikan yang tiada taranya dalam zaman modern ini”. Padanan kata “penyembelihan” itu dipakai barangkali lantaran terkait dengan propaganda agama yang menyertainya: “Membunuh PKI dibenarkan oleh Tuhan dan tidak akan disalahkan oleh hukum.”

Dan, peristiwa “penyembelihan besar-besaran” yang secara dini dideteksi Soe Hok Gie sebagai masalah besar bagi masa depan (politik) Indonesia menjadi kenyataan. Pelanggaran HAM berat ’65 itu seperti batu pemberat yang merantai kaki kiri untuk melangkah. Terlebih-lebih setelah reformasi. 

Pemerintah tak punya mandat moral apapun untuk bersuara ke dunia luar sebagai salah satu negara eksponen penting pendorong penegakan hak asasi manusia. Arwah Soe Hok Gie di Semeru, lewat salah satu esai terpenting yang ditulis dalam situasi yang sangat genting dan rawan, tetaplah hidup membayangi jejak politik kita. Apalagi, saat Indonesia kembali lagi dan lagi memasuki tahun-tahun politik pukimak. 

Pasti pula, penuntasan soal yang dituliskan Soe Hok Gie pada Desember setengah abad silam itu barangkali disinggung pun tidak, apalagi dijanjikan. Sebab, alih-alih menuntaskan, malah memasukkannya secara resmi dalam lembaran negara atau staatblaad sebagai Bhuta Kala yang tiap tahun digotong bersama dalam festival tahunan.

Kedua, saat perjalanan pulang dari lawatan ke Amerika pada 1968, Soe Hok Gie menuliskan refleksinya. Esai “Awal dan Akhir” yang kemudian dimuat di Sinar Harapan pada April 1969 itu adalah suara dengan gema yang lama yang diberikan oleh Gie. 

Di atas Pasifik atau Laut Teduh, demikian Soe Hok Gie menulis, dia sadar bahwa dunia tidaklah melulu terbagi antara blok komunis blok anti-komunis. Tidak. Dunia ini tidak lagi terbelah hitam dan putih, melainkan kelabu. Dalam kelabu itulah kata Gie, dunia terbagi dalam warna yang mencolok: blok kaya dan blok miskin. 

Jadi, bukan blok paling Pancasila versus paling tidak Pancasila, melainkan blok “papi” dan blok “papah”.

Dari dini sekali Soe Hok Gie sudah good bye atas kampanye anti-komunis yang seakan-akan benar, tetapi mengaburkan fakta bahwa para bajingan politik itu hidup di blok-blok baru dengan pintu bertuliskan aksara jelas: orang miskin dilarang masuk.

Fantasi anti-komunis, dengan demikian, adalah peninggalan Perang Dunia II yang ada di gim-gim. Anehnya, para pembuat undang-undang di DPR hari ini yang usianya rata-rata belum bangkotan itu, justru memasukan fantasi Perang Dunia itu dalam produk legislasi yang mereka sebut dengan “undang-undang dekolonisasi”.

Keheranan saya pelan-pelan memudar saat membaca “Awal dan Akhir” Gie itu. Fantasi itu tetap dicipta agar oponen kaya dan miskin ini menjadi kabur. Sekabur statistik sederhana bahwa mayoritas anggota parlemen saat ini adalah pengusaha. Pada tahun politik kali ini, statistik pemain politik dari kelas ini tampaknya tidak berubah.

Di atas Pasifik, seperti halnya Ratulangi, Gie ingin ngasih pukulan, sudah gurem secara ekonomi politik di kawasan Pasifik, masih juga meracuni otak bangsanya dengan fantasi tua yang terbentuk bukan dari diskursus ilmu pengetahuan di universitas, melainkan berasal dari ilusi dan gorengan omong-omong. 

Ketiga, masih ada relasinya dengan fantasi tua, tapi kali ini lebih tua lagi ketimbang seumur Perang Dunia II. Yaitu, fantasi politik identitas. Fantasi ini tidak lagi hanya bersifat reguler atau muncul pada hari tertentu saja. Ia sudah menjadi watak; watak dalam birokrasi dan percakapan. 

Saya kutipkan paragraf dari esai Soe Hok Gie yang subjudulnya “Saya Orang Indonesia?”: 

“Waktu saya meminta paspor RI, Jawatan Imigrasi meminta saya untuk membuktikan, bahwa saya adalah warga negara Republik Indonesia. Saya tunjukkan surat asli, bahwa saya telah memilih Indonesia, dalam rangka persetujuan Dwi Kewarganegaraan (saya tidak setuju dengan perjanjian ini). Tetapi hal ini tidak cukup. Mereka ingin mengadakan checking, bahwa surat asli itu memang sah.”

“Lucu sekali rasanya, saya tidak pernah berpikir sedikitpun, bahwa saya bukan bangsa Indonesia. Tiba-tiba saya harus membuktikan bahwa saya adalah warga negara Indonesia.”

Salah satu scene film Gie besutan Riri Riza yang menampilkan sosok “Gie” memakai jas kedodoran bertemu dengan Sukarno di Istana Merdeka ada dalam file peliknya “politik identitas” ini. 

Di satu pihak, ada aliran ala Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang dipimpin Siauw Giok Tjhan, di sisi lain ada kelompok Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB).

Baperki ingin politik integrasi; nama, agama, suku bangsa tetap pakai Tionghoa, tetapi kiblat ekonomi politik adalah Indonesia. LPKB ingin politik asimilasi; nama dan agama luruh dengan budaya dan agama setempat.

Soe Hok Gie tidak sreg dengan Baperki karena terlalu dekat dengan Sukarno dan PKI, tetapi di LPKB dia juga tidak nyaman karena menjadi alat politik penentang Sukarno, termasuk kalangan militer. Di LPKB, Gie justru disebut agen ganda.

Politik identitas ini runyam. Tak pernah bisa selesai walaupun kakak Soe Hok Gie, yakni Soe Hok Djin, memilih substitusi nama menjadi Arief Budiman (aliran asimilasi). Atau, Gie tetap bertahan dengan nama Tionghoa-nya sebagaimana diperjuangkan Baperki.

Soe Hok Gie cawe-cawe memikirkan soal ini lantaran perihal ini merupakan api dalam sekam. Sebagai mahasiswa sejarah yang tinggal di Jakarta, tentu dia tahu bagaimana impak dari politik identitas pukimak warisan langgeng kolonial ini.

Suara Gie soal politik identitas di tahun politik pukimak ini memanas kembali di permukaan. Menyebut lawan politik sebagai “monyet”, “kadrun”, “cino”, “jawa”, “luar jawa” adalah politik identitas yang selalu menjadi bisul untuk Republik yang selalu mencitrakan dirinya di brosur-brosur pariwisata sebagai negeri yang hidup dalam keberagaman tradisi, budaya, suku, adat istiadat, dan ras.

Jadi, politik identitas ini bakal selalu menjadi bahan bakar untuk glorifikasi dalam perayaan tahun politik pukimak. Selain, tentu saja, isu jualan penyelesaian HAM berat dan fantasi komunisme.

Dari puncak Semeru yang sedang bergemuruh, arwah Soe Hok Gie mengingatkan kita agar kalau berpolitik dan memeluk kekuasaan demi akumulasi modal usaha, janganlah sevulgar dan sebajingan itu.

BACA JUGA 50 Tahun Meninggalnya Soe Hok Gie, si Idealis yang Mati Muda dan pemikiran menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Muhidin M. Dahlan

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version