3 Penjelasan Psikologis Kenapa Dewa Kipas Tetap Didukung Netizen Indonesia

MOJOK.COMeski akhirnya kalah, Dewa Kipas tak dihujat seperti prediksi awal. Malah dia dibela dan didukung. Kok bisa? Ini penjelasan psikologisnya.

Nggak di Twitter, nggak di Instagram, nggak di Facebook, nggak di Tiktok, semua platform media sosial pada Senin 22 Maret 2021 sore tiba-tiba jadi ajang mengasah skill bacotnya netizen soal catur. Edan.

Isunya sama.

Pak Dadang, pemilik akun Dewa Kipas di chess.com, seorang pensiunan berusia 60-an tahun tanding catur melawan Irene Sukandar, Woman Grand Master (WGM).

Disiarkan langsung oleh seorang mantan mentalis profesional, Deddy “Corbuzier” Cahyadi, lewat streaming akun YouTube-nya. Siaran yang viral sekali karena sampai ditonton jutaan orang.

Bacot netizen mengomentari pertandingan itu, ada banyak ragam pembahasannya. Macam-macam. Bhineka Tunggal Ika.

Buat yang nggak gitu-gitu amat paham catur, mereka tetep berkontribusi dengan hanya menjadikan pertandingan Dewa Kipas versus WGM ini sebagai lucu-lucuan. Kayak meme di bawah ini misalnya.

Meski begitu, ada juga yang lumayan serius bahas strategi betulan.

Pakai istilah-istilah catur kayak Defense Caro yang merupakan langkah pembukaan Dewa Kipas di partai pertama, atau bahas London System yang jadi langkah pembukaan Irene Sukandar di partai ketiga.

Istilah-istilah yang mungkin didapat karena semalaman bingewatching channel YouTube Gothamchess milik Levy Rozman.

Iya, iya, si Levy yang itu.

Orang pertama yang memicu kehebohan besar ini. Orang pertama yang mencurigai Dewa Kipas main curang, di catur online Chess.com pada tanggal 2 Maret 2021. Aksi yang berujung bulian massal dari netizen Indonesia. Netizen dengan bacot paling kejam se-Asia Tenggara versi Microsoft.

Oke, saya tahu. Catur memang bukan olahraga yang populer di dunia maupun di Indonesia. Iya semua orang Indonesia juga tahu catur. Setidaknya tahu caranya menjalankan bidak-bidak catur.

Hanya saja, dibandingkan olahraga seperti sepak bola atau bulu tangkis, catur bisa dikatakan berada di peringkat medioker untuk jumlah peminat. Kalau soal jumlah komentatornya sih, nggak perlu ditanya lah ya.

Oke, oke, meski tidak populer sebagai olahraga profesional di Indonesia, catur sebagai sebuah permainan bukan barang asing di Indonesia. Kita semua tahu papan catur sudah jadi kayak inventaris wajib di tiap pos ronda, warung kopi, atau loket satpam di seluruh Indonesia.

Karena itu, agaknya kurang lazim jika obrolan mengenai catur baru kali ini menarik perhatian banyak orang sekarang-sekarang ini. Kenapa?

Selain—tentu saja—karena YouTube-nya Deddy Cahyadi, saya menduga drama Dewa Kipas tidak akan seviral ini jika bukan karena satu kecenderungan alamiah yang dimiliki manusia, yakni: suka memihak atau mendukung underdogs alias pihak non-unggulan.

Buat kita, cerita pihak medioker berhasil mengalahkan superior adalah oasis. Itu distingsi. Beda. Unik.

Ambil saja contoh betapa legendarisnya kisah David yang berhasil menumbangkan sang raksasa Goliath, dongeng kancil bisa mengalahkan buaya, atau kisah dengan logika bak cerita Cinderella.

Ini pola yang sama dengan drama tayangan pertandingan Dewa Kipas melawan Grandmaster Irene Sukandar. Pertandingan yang merepresentasikan kisah the underdog melawan the superior.

Seorang profesor ilmu psikiatri dan ilmu perilaku dari Baylor University, Dr. Asim Shah melalui studinya menemukan setidaknya ada tiga penjelasan psikologis mengapa orang-orang memiliki kecenderungan alamiah untuk memihak ke sisi non-unggulan.

Pertama; orang-orang cenderung memihak ke underdog karena kenikmatan yang didapat dari sebuah tontonan berpotensi jadi berlipat ganda. Ada semacam twist di situ yang ditunggu-tunggu.

Kalau Irene menang, ah itu biasa. Tapi kalau sampai Dewa Kipas yang menang? Nah, itu bakal meruntuhkan segala macam teori. Ini menarik!

Jika skenarionya seperti itu. Pertandingan Dewa Kipas versus WGM bakal lebih terasa heboh karena sangat jarang terjadi.

Kenapa sangat jarang? Karena itu sangat sulit terjadi. Semakin mustahil bisa terjadi, maka efek twist-nya akan semakin besar. Semakin heboh.

Dan itulah yang terjadi dengan awal keviralan ini. Ketika Dewa Kipas mengalahkan Levy, seorang pecatur level internasional di chess.com, terlepas soal dugaan kecurangan, orang-orang cenderung langsung mendukung Dewa Kipas.

Berangkat dari sana, saya sebenarnya cukup yakin ada banyak orang yang diam-diam tetap menaruh harapan ke Dewa Kipas ketimbang ke Irene Sukandar. Bahkan mau semustahil apapun peluang itu.

Kedua; kita cenderung memihak ke pihak non-unggulan karena kita merasa lebih relate kepada the underdog ketimbang the superiors.

Orang kayak Pak Dadang sangat mungkin sering kita jumpai di sekitar kita. Barangkali kita punya paman, bapak, saudara, atau tetangga yang citranya sama seperti Pak Dadang.

Sementara orang-orang seperti Irene Sukandar atau Levy, mereka yang bergelar Grand Master itu, mereka adalah sosok yang begitu berjarak dengan kebanyakan orang. Secara alam bawah sadar, kemampuan mereka terasa jauh sekali dengan rakyat jelata seperti kita ini.

Hal itulah yang akhirnya bikin kita tidak relate dengan mereka. Dan karena tidak relate, simpati dan empati kita tidak ada di wilayah mereka.

Terakhir atau ketiga; kita cenderung memihak ke non-unggulan karena fenomena psikologis yang dikenal dengan sebutan “schadenfreude”.

Schadenfreude merupakan pengalaman bahagia yang bakal dirasakan kita ketika orang lain yang dianggap lebih sukses dari kita mengalami sebuah kesialan. Hal ini bisa terjadi karena ada banyak orang secara tidak sadar merasa cemburu pada sosok yang lebih unggul.

Kecemburuan ini bisa terjadi karena efek piramida. Bahwa hanya ada sedikit orang seperti Irene Sukandar di dunia ini. Dia adalah sosok yang berada di bagian pucuk piramida pecatur andal. Sedangkan semakin ke bawah, kerumunan semakin banyak.

Nah, orang-orang di bagian piramida paling bawah ini lah yang bakal mendapat efek bahagia ketika orang-orang di pucuk piramida itu terjatuh. Orang-orang ini juga lah yang bakal bersorak-sorai paling awal ketika hal itu terjadi.

Lantas pertanyannya kemudian; apakah netizen Indonesia di sini merasa diwakilkan oleh Pak Dadang pemilik akun Dewa Kipas dalam pertandingan itu?

Oh, tidak.

Netizen Indonesia tidak diwakilkan oleh Pak Dadang, netizen Indonesia sebenarnya diwakilkan oleh Deddy Cahyadi. Sosok yang diam-diam paling berharap Irene Sukandar kandas.

Cuma, kita semua tahu, si Deddy ini pura-pura terlihat netral aja. Padahal sudah kelihatan sejak awal bagaimana Deddy Cahyadi ini kepengin lihat ada potensi cerita zero to hero dalam pertandingan ini.

Kenapa begitu? Apakah karena ini ada hubungannya dengan nasionalisme? Apakah ini agar Pak Dadang mendapat perhatian dari Menpora? Apakah ini karena Deddy begitu mulia memperhatikan perkembangan catur Indonesia?

Oh, tidak. Tidak seperti itu.

Ini semua dilakukan Deddy, biar bisa dijadikan konten bersambung lagi ke depannya. Viral lagi. Cuan lagi.

Ya iyalah. Kamu mau berharap apa memangnya?

BACA JUGA Analisis Kekalahan Pak Dadang Ketika Melawan GM Irene Sukandar dan tulisan soal Catur lainnya.

Exit mobile version