20 Sesat Logika versi Anak Jurusan Filsafat yang Kerap Terjadi di Medsos

Cucok buat mereka, calon peternak lele yang overthinking.

MOJOK.COInilah daftar 20 sesat logika yang kerap terjadi di medsos, versi anak Jurusan Filsafat tentunya. Versi calon peternak lele sukses.

Doktor Abdul Gaffar Karim seperti khotib Jumat yang selalu mengingatkan jamaahnya untuk selalu bertakwa kepada Tuhan ketika membahas istilah “oposisi” yang kerap digunakan media dan jadi perbincangan netizen Indonesia.

Berkali-kali staf pengajar UGM itu menjelaskan, oposisi itu tidak ada dalam sistem presidensial seperti yang dianut di Indonesia. Ia hanya ada dalam sistem parlementer seperti di Inggris, lengkap dengan kabinet bayangannya.

Sayangnya, upaya keras itu kerap tak membuahkan hasil. Media tetap saja merujuk parpol seperti PKS dan Partai Demokrat (atau tokoh kritis) sebagai oposisi.

Banyak dari kita pun juga pasti juga merujuk hal yang sama. Hayo ngaku! Wong saya sendiri aja sebelum mengikuti kulwap beliau juga merujuk pada hal yang sama. Hehe.

Begitu pula halnya dengan istilah “metafisika”. Banyak orang yang menggunakan istilah itu serampangan, bahkan di Twitter, saya sempat melihat seorang cerdik cendekiawan lulusan universitas terkemuka mengidentikkan metafisika dengan hal-hal terkait penampakan hantu. Hadeh.

Padahal, setiap mahasiswa Jurusan Filsafat boleh dibilang sangat “hormat” dengan metafisika. Bukan apa-apa, sebab ia adalah cabang Filsafat yang cukup sulit.

Pada dasarnya, metafisika atau ontologi secara gampangannya adalah membahas tentang “Yang Ada”.

Kenapa aku ada? Apakah ada-ku sama dengan ada kursi? Apakah sama dengan ada wit sawo kecik di pedalaman Papua? Jika beda, lalu apa bedanya? Apa makna kita ada? Apakah eksistensi kita mendahului esensi, atau sebaliknya. Esensi kita mendahului eksistensi?

Terasa Rumit? Ya iyalah. Sulit mendapat nilai A untuk mata kuliah ini. Bukunya babon-babon.

Dulu saat kuliah, saya pernah mendapat tugas kebagian mengerjakan makalah soal konsep Ontologi Martin Heidegger, salah seorang filsuf yang rumit (menurut saya sih). Pertanyaan pembukanya aja seperti ini: “why are there essents rather than nothing?”

Untuk bisa memahami dan menerjemahkan pertanyaannya ini saja, sudah butuh beberapa hari. Yang ternyata intinya: “Kenapa sih dunia ini ada?”

Lalu, hal yang rumit, serius, dan terlihat sangat agung ini bagaimana bisa diidentikkan dengan kuntilanak, genderuwo, jerangkong, santet, dan sejumlah hal klenik lainnya? Sungguh ter-la-lu.

Itu yang rumit-rumit. Belum lagi kesalahan sederhana seperti pernyataan “Matahari terbit dari Timur”. Matahari tak benar-benar terbit, karena yang bergerak itu Bumi ya, Gaes.

Kesalahan-kesalahan seperti itu semakin kelihatan wujudnya terutama di era media sosial, apalagi saat gelut atau debat online. Kita kerap kok menemukan banyak sesat logika dari lawan debat kita.

Sering juga kita merasakan, “Eh, ini argumentasi lawan kok ada yang nggak pas, ya? Tapi apa ya?”

Yup, kamu tak salah. Karena, banyak yang menggunakan fallacy atau sesat pikir pada istilah “Logika” dalam berargumentasi.

Nah, sebagai panduan agar kamu nggak sesat pikir juga, berikut ini saya kumpulkan deretan 20 kesalahan atau sesat logika yang kerap terjadi dalam bermedsos. Ya sedikit saya sesuaikan dengan jurusan waktu saya mahasiswa dulu, filsafat. Bidang yang saya agak ngerti. Dikit.

Silakan dipelajari, diidentifikasi, dan dihindari.

Ad Hominem

Dalam bahasa Latin berarti “kepada seseorang”. Ini adalah sesat pikir yang paling kerap dilakukan (terutama jika nuansanya politik). Juga paling terkenal. Alih-alih mengkritisi mengenai isi argumentasi, si penyerang malah menghabisi karakter lawannya.

Bahasa kerennya sekarang: Kill The Messenger.

Texas Sharpshooter

Analoginya adalah seorang mahasiswa Jurusan Filsafat menembak senapan di sembarang sasaran di tembok. Lalu, kemudian mengecat di sekeliling lubang peluru itu untuk mengesankan seolah-olah ia menembak tepat sasaran.

Ilmiahnya, dia mengambil sejumlah data yang mendukung kesimpulannya, dan mengabaikan bukti-bukti ilmiah lainnya yang mungkin membantah kesimpulannya.

Misalnya, seorang pengusaha yang membangga-banggakan diri dirinya selalu sukses di depan banyak orang, dan memilih menyembunyikan fakta-fakta kegagalannya supaya terlihat selalu sukses.

The Bandwagon Fallacy

Mengambil kesimpulan dari asumsi-asumsi yang diyakini banyak orang. Biasanya kerap terjadi pada orang-orang awam.

Misal, memutuskan lebih baik punya anak banyak karena ada pepatah yang diamini banyak orang bahwa “banyak anak itu banyak rezeki” atau anak Jurusan Filsafat dianggap nggak bisa kerja karena dikira “cuma bisa mikir”.

Strawman Fallacy

Mengambil sebagian dari argumentasi lawan dan dibuat simplifikasi yang menyesatkan. Misalnya, seperti sempat ramai soal ceramah Gus Baha. Banyak yang kemudian mengkritisi beliau menolak Sukarno. Padahal, konteksnya tidak seperti itu.

Red Herring

Nama ini berasal dari tradisi para pelatih anjing yang menggunakan ikan red herring untuk melatih fokus anjing mencium bau sesuatu. Ikan red herring ini digunakan untuk melakukan distraksi.

Jadi, biasanya para penyanggah mendistrak sebuah argumen dengan sesuatu yang kelihatannya berkaitan (padahal sama sekali tidak berkaitan).

Contohnya seperti ini:

A: Perempuan lebih pintar ketimbang laki-laki.

B: Buktinya apa?

A: Karena memang demikian adanya.

B: Ya, mengapa kok bisa seperti itu?

A: Buktinya banyak. Margaret Thatcher bisa memimpin Inggris, Joan of Arc menyelamatkan Prancis, Megawati bisa jadi presiden.

B: Tapi, kamu belum menjawab. Apa buktinya, perempuan lebih pintar ketimbang laki-laki?

A: Ya, aku pintar, dan kamu bodoh. Aku ranking 1 kamu ranking 15.

Hasty Generalization

Melompat pada kesimpulan. Biasanya, menggunakan bukti-bukti yang tidak kuat untuk sekadar menjustifikasi kesimpulan yang sudah diklaim.

Misalnya, kamu bertemu dengan beberapa orang lulusan Jurusan Filsafat yang ganteng, dan kemudian kamu mengambil kesimpulan bahwa lulusan Jurusan Filsafat ganteng-ganteng. Padahal kan belum tentu.

Bisa aja ada anak Jurusan Filsafat yang sangat ganteng, misalnya.

No True Scotsman

Menggunakan pengubahan argumen awal untuk melakukan counter-argument. Contohnya, dari asal mula nama fallacy ini.

Kamu mengklaim bahwa seorang Skotlandia sejati tak akan minum scots dengan soda. Namun, temanmu yang merupakan orang Skotlandia membantah, bahwa dia minum scots dengan soda.

Kamu kemudian bilang, “Kamu bukan orang Skotlandia sejati berarti.”

Sunk Cost Fallacy

Berasal dari bisnis. Singkatnya, sebuah perusahaan menanamkan investasi untuk satu bisnis, dan meski terlihat merugi, perusahaan itu tetap meneruskan dan akhirnya menjadi rugi banyak.

Begitu pula dengan berpikir sesat. Semakin dipertahankan klaimnya, semakin terlihat tidak masuk akal. Contohnya, adalah kasus dicarinya pembuat mural “Jokowi 404 not found”.

Appeal to Authority

Terlalu menggantungkan kesimpulan pada pernyataan seorang ahli. Contoh paling nyata terkait argumen dr. Lois.

Meski punya spesifikasi sebagai seorang tenaga medis, namun pendapatnya bisa menyesatkan, dan digunakan para penolak Covid-19 sebagai bahan penguat argumentasinya. Orang yang tidak membaca ulasan tenaga medis yang lain bisa termakan.

Non Sequitur

Melakukan penyimpulan yang diambil secara tidak logis dari premis yang ada. Menyediakan bukti yang tidak nyambung untuk memperkuat argumentasi.

Contohnya, tentu saja si Charles John Anthony, buzzer pemerintah yang nggak jelas itu. Status tentang kritikan terhadap pemerintah, selalu dijawab dengan, “Gubernur DKI yang salah.”

False Dilemma

Membuat polarisasi yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Misalnya, ketika seseorang mengkritik pemerintahan, langsung dicap kadrun. Padahal, niatnya mengkritik agar ada perubahan. Bukan karena ada maksud yang berkaitan dengan politik praktis.

Tu Quoque

Dalam bahasa Latin berarti “Anda juga”. Berusaha meng-counter argumentasi lawan dengan menunjuk perilaku lawan yang inkonsisten dengan argumentasinya. Tujuannya, hanya untuk membuat argumentasi lawan seolah-olah munafik.

“Jangan protes terus. Pak Jokowi sudah kerja keras. Apa sih yang sudah kamu lakukan untuk negara?”

Itu contohnya.

Slippery Slope

Argumentasi yang dilakukan untuk membuat sesuatu menjadi makin radikal dan ekstrem. Contohnya, ketika kita tergerak membantu satu tetangga kita dengan memberinya uang 10 juta buat modal usaha.

Lawan akan menyanggah, “Kenapa kok satu tetangga saja? Ada banyak yang kesusahan, harusnya kau membantu semua yang kesusahan karena Covid!”

Begging The Question

Sebuah argumentasi dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga kesimpulannya sudah ada dalam premisnya. Contoh: “Hantu itu nyata, karena saya pernah mengalami sesuatu yang pasti itu dilakukan oleh hantu.”

Loaded Question

Mengajukan sebuah pertanyaan dengan sebuah asumsi di dalamnya. Sehingga, orang yang ditanya terpaksa menjawab pertanyaan yang sesungguhnya tidak berdasar dan tidak relevan.

Misalnya: Ketika kamu dan seorang temanmu sesama anak Jurusan Filsafat yang alim sama-sama menyukai perempuan.

Nah, ketika ketemu, tiba-tiba saja kamu bertanya ke temanmu yang alim: “Masih suka melacur dengan waria?’’

Satu hal yang jelas tidak pernah dilakukan temanmu. Meski begitu temanmu tentu gelagapan menjawabnya, walau sudah pasti menjawab, “Tidak.”

Apapun jawabannya, pertanyaan itu sudah menjatuhkan reputasi temanmu di mata perempuan itu.

Post Hoc Ergo Propter Hoc

Argumentasi yang berdasar pada korelasi. Jika peristiwa A kemudian diikuti oleh peristiwa B, bukan berarti peristiwa B disebabkan oleh peristiwa A.

Contohnya: Ada seekor sapi yang tiap hari mengetahui jika ada Pak Tani datang maka ia akan diberi makanan. Bukan berarti kedatangan Pak Tani itu datang untuk memberi makan seperti yang diyakini sapi. Karena pada suatu hari Pak Tani datang untuk menjagalnya.

Equivocation

Berasal dari kata “equal” dan “voice”. Menyamarkan sebuah argumentasi yang mengarah ke satu titik, padahal maksudnya ke arah lain. Contoh: janji para politisi.

Sering kelihatannya ke satu arah, padahal maksud aslinya bukan itu.

Personal Incredulity

Karena kita tak bisa memahami sesuatu, maka kita meyakini bahwa argumentasi itu pasti keliru. Padahal, ketidakmampuan kita memahami sesuatu, bukan berarti membuat sebuah argumentasi jadi keliru.

Misalnya, Einstein mengatakan bahwa tidak ada benda yang bisa bergerak melewati kecepatan cahaya. Namun, dalam prinsip mekanika kuantum ada bukti bahwa interaksi seketika kerap terjadi antara dua molekul.

Jadi, meski tidak ada satu ilmuwan pun yang bisa memahami mekanika kuantum, bukan berarti teori itu keliru.

Burden of Proof

Menyatakan bahwa orang lain lah yang harus membuktikan suatu klaim, bukan si pembuat klaim.

Contoh: Buzzer pemerintah Charles John Anthony mengklaim bahwa kesalahan Gubernur Anies Baswedan sajalah yang membuat Covid-19 di Indonesia menjadi parah. Karena tidak ada yang menyanggah (bisa saja karena malas), dia mengklaim bahwa argumentasinya benar.

The Fallacy Fallacy

Karena seseorang menggunakan kesalahan atau sesat logika dalam argumentasinya, maka pendapat itu pasti keliru. Padahal, jika seseorang keliru menggunakan data dalam argumennya, belum tentu substansi pendapatnya keliru.

Contoh: Seorang anak Jurusan Filsafat mengkritik langkah Pemerintah dalam mitigasi Pandemi Covid-19. Namun, ia keliru dalam berargumentasi dan bilang karena Presiden Jokowi itu tukang mebel makanya Presiden tidak ngerti soal penanganan pandemi.

Argumentasinya jelas keliru, namun bukan berarti mitigasi Covid-19 di Indonesia menjadi baik karenanya.

***

Nah, itu sejumlah sesat pikir ala anak Jurusan Filsafat yang kerap terjadi di Indonesia. Bukan hanya dalam sekadar bermedsos saja, tetapi celakanya juga dalam menentukan kebijakan Pemerintah. Yang mutakhir, adalah Kemendagri meminta agar pengunggah NIK Presiden Jokowi untuk diproses hukum.

Yang bikin sistemnya ya Pemerintah, yang tidak peduli dan care terhadap data penduduknya itu ya Pemerintah, yang memaksa menggunakan ya Pemerintah, tapi begitu rakyat memberitahu ada yang salah dengan penyimpanan data selama ini, eh… rakyatnya yang mau dipenjara.

Sudah begitu, rakyatnya disuruh membiayai Pemerintah pula (lewat pajak-pajaknya). Kalau sudah begitu, kira-kira beliau-beliau yang ada di posisi kayak gitu masuk fallacy yang mana?

BACA JUGA Lulus S2 Filsafat Harus Siap Nganggur karena Dianggap Cuma Bisa Mikir atau tulisan Kardono Setyorakhmadi lainnya.

Exit mobile version