Bagi pemain sepakbola, kaki berbakat dan terlatih bukanlah segalanya. Di perempat final Piala Dunia Mexico, Maradona tak mungkin menjadi Tuhan, el Dios, tanpa tangan kirinya. Sementara bagi Inzaghi, hidung bisa dipakai untuk mencetak gol di malam final Liga Champions. Anda juga pasti tahu, mulut dan seringai sama penting bagi para kiper macam Oliver Khan dan Peter Schmeichel.
Lebih-lebih bagi para bek, keterampilan menggunakan lengan seringkali lebih menentukan daripada keahlian mengayunkan kaki kiri dan kanan. Simaklah riwayat sepakbola John O’Shea, Nemanja Vidic, atau Paolo Montero—bahkan bek-bek setingkat Alessandro Nesta dan Franco Baresi. Menarik kaos, mengapit langan, meletakkan siku di dagu lawan adalah skill utama untuk mencegah gawang kebobolan.
Bek tanpa keahlian menggunakan tangan dan bagian tubuh lain untuk bermain bukanlah bek yang hebat. Dalam pengertian ini, Franz Beckenbauer, atau punya kita Hery Kiswanto, bukanlah bek yang hebat. Mereka bek yang luar biasa, tentu saja, tetapi lebih mudah kita anggap bek yang brilian dalam membangun serangan daripada bek yang tangguh mencegah kiper kemasukan.
Anda harus bisa memundurkan pantat ala Fabio Cannavaro sebagai cara untuk mengubah arah lari penyerang, atau menggunakan mulut untuk memprovokasi, seperti yang dilakukan Marco Materazzi, agar seorang pemain jenius seperti Zinedine Zidane kehilangan akal sehatnya. Atau yang masih hangat, Anda bisa memakai tips dari Gonzalo Jara: saat wasit sedang sibuk, masukkanlah jari tengah Anda ke lubang dubur lawan.
Keahlian memakai siku, pantat, bahu, dan kepala, jelaslah bukanlah bakat alami. Di era sepakbola industri (dan televisi), keahlian itu ditempa oleh kemampuan menguji kejelian mata para wasit, meraba hawa pertandingan, atau menghitung keberadaan kamera. ‘Psikopat’ buas macam Pietro Vierchowood atau Martin Keown memang tidak diproduksi lewat akademi atau lahir begitu saja dari latihan ekstra, tetapi kebinatangan Pepe di setiap El Classico jelaslah lebih merupakan hasil game-plan yang terperinci dan taktik penuh kalkulasi daripada talenta yang dibawa dari bayi.
Dan untuk urusan taktik penggunaan tangan dan siku inilah, kita perlu angkat topi bagi Real Madrid kontemporer. Kurang lebih dalam satu dekade terakhir, kita disuguhi kemampuan Pepe dan Sergio Ramos menggunakan kaki dan lengan sama baiknya untuk menghalau serangan dan menakut-nakuti lawan.
(Konon, bek Madrid era Camacho atau Juanito lebih brutal di era 1980-an, tapi saya tidak pernah melihatnya langsung, sementara ingatan remaja saya tentang Madrid 90-an lebih banyak didominasi oleh keanggunan Fernando Hierro dan Aitor Karanka).
Sejak paruh 2000-an, terutama dalam setiap pertandingan emosional melawan Barcelona atau Atletico Madrid, Real selalu berhasil membuat bek-beknya merentangkan lengan, mengacungkan jari, atau meruncingkan lutut dan mengasah dahi. Ada banyak video di media sosial untuk melihat bagaimana Ramos mengarahkan sikunya ke pelipis Falcao, atau Pepe menggeser panggulnya untuk menghalangi laju Messi.
Yang lebih hebat lagi, mereka berhasil melatih bagaimana mengacungkan jari ke atas langit atau mengangkat tangan untuk mencegah gol. Bukan, tujuannya bukan untuk menahan bola atau memperlambat gerak penyerang. Itu terlalu kasar, mencolok, dan risikonya terlalu besar. Mereka lebih pintar daripada bek manapun. Caranya? Mengetes emosi pertandingan dengan terus memaksa penjaga garis menaikkan bendera atau menuntut wasit memberi pelanggaran.
Keterampilan mengangkat tangan itu secara sempurna dipraktikkan oleh bek Real dalam El Classico, Minggu dini hari lalu. Penonton yang jeli pasti mengenali apa yang dilakukan Ramos, Varane, dan Danilo, ketika Rakitic atau Iniesta mencoba umpan terobosan. Daripada mengejar laju Neymar, memotong bola atau berusaha menerjang Suarez dengan tekel mematikan, mereka lebih memilih menghentikan langkah secara mendadak, memipihkan badan dan mengangkat tangan lalu melihat ke arah pengadil pertandingan.
Gol pertama: alih-alih menyiapkan perangkap, Danilo justru mengikuti aliran bola dari kaki Roberto. Ketika bola sudah masuk ke jala, Danilo dengan enteng mengangkat tangan. Gol kedua: giliran Ramos yang mengerem langkah dan mengacungkan jari sambil melirik ke arah pengadil, bahkan sebelum Neymar berancang-ancang menyambut umpan Iniesta. Tak berhenti di situ, Ramos dan Varane serentak, dan bersamaan, mengangkat tangan dan melihat hakim garis daripada memotong lari Suarez di gol keempat.
Dengan mengingat tensi pertandingan, bisa saja acungan tangan pemain Real mampu mempengaruhi wasit untuk membuat keputusan melawan umpan-umpan penuh akal dan daya khayal Barca. Sejak era Jose Mourinho, taktik ini sudah menjadi bagian dari skema dan rencana pertandingan. Dalam banyak momen, keterampilan itu berhasil memberi keuntungan.
Yang membedakan kenapa taktik itu tidak berhasil malam itu adalah karena pemain Madrid kurang agresif mengkonfrontasi keputusan wasit, dan Benitez tidak punya nyali membicarakannya pada saat jumpa pers. Andai saja hal ini terjadi di era Mourinho, keterampilan bek Madrid untuk menggunakan tangan dalam usaha mempengaruhi hasil pertandingan barangkali jauh lebih banyak menjadi topik perdebatan daripada kualitas umpan terobosan Sergio Roberto atau kelihaian pengambilan posisi Suarez.
Jadi, sepakbola, terutama Real Madrid, selalu merindukan sosok Mourinho untuk membuat permainan indah ini tidak sekadar adu keterampilan gelandang mengirim umpan atau persaingan para striker melewati lawan. Ia adalah, barangkali, satu-satunya orang yang membuat keterampilan mengangkat tangan, mengoleskan dahi ke kepala dan meruncingkan siku sebagai bagian penting dari teknik dan taktik sepakbola.